Keberhasilanku hari itu tak lepas dari usaha Suni. Setidaknya dia sedikit cemburu ketika Roger menciumku. Dia selalu bertanya, "Siapa ciuman pertamamu?" Dan aku tak pernah menjawabnya.
Hari ini aku penuhi janjiku untuk kencan dengan Suni. Betapa senangnya dia. Paling tidak misi berikutnya belum ada dan komandan sangat puas dengan hasil kerjaku. Nama Lucifer pun sekarang menjadi nama yang misterius, dia tidak diketahui wajahnya, siapa dia, maupun apa motifnya.
Ini pertama kali aku kencan dengan seorang lelaki. Sejak aku sekolah, aku tidak pernah kencan dengan cowok. Tak pernah pacaran dengan lelaki. Aku terlalu sadis bagi mereka. Tidak pernah satupun dari cowok-cowok di sekolahku berusaha mendekatiku. Mereka terlalu takut. Ada banyak alasan.
Pertama aku selalu menjadi juara satu kejuaraan beladiri taekwondo. Kedua, aku pernah menghajar klompotan gang yang menggangguku seorang diri. Ketiga, aku tak pernah menundukkan pandanganku terhadap siapapun. Mungkin karena itulah tak ada orang yang berani mendekatiku. Dalam usia yang relatif muda aku sudah lulus akedemi, menjadi agen rahasia dalam usia 22 tahun. Ini adalah sebuah rekor. Rata-rata agen rahasia berusia 25 tahun ke atas. Tapi tidak untukku. Walaupun usiaku sudah 22 tahun, aku masih kelihatan seperti anak SMA. Pantas semua orang menyangka aku lebih mirip personil girlband daripada seorang agen rahasia.
Aku memakai gaun hitam. Aku tutup tubuhku bagian atas dengan blazer. Sepatu hak tinggi berwarna hitam kupakai. Pistol kecil Socom aku taruh di tas merah. Dompet dan ponselku kutaruh juga di sana. Setelah itu aku berangkat. Tak lupa aku memakai parfum. Sialan Suni, benar-benar membuatku feminim.
Ketika aku keluar apertemenku, dia sudah ada di sana. Di halaman apartemen dengan mobilnya. Dia terlihat sangat necis. Kemeja putih dengan jas abu-abu.
"Hai?!" sapanya.
Aku tersenyum, "Hai"
"Makasih mau keluar bersamaku malam ini," katanya.
"Sejujurnya, aku tak pernah kencan dan aku tak tahu apakah bajuku ini pas," kataku.
"Tidak, tidak, tidak. Itu sudah cukup. Kamu terlihat mempesona malam ini."
Tiba-tiba dadaku berdesir. Entah kenapa aku sepertinya suka dipuji olehnya. Dia kemudian memberikanku sesuatu. Bunga mawar??
"Moon, aku suka kamu," katanya.
"Apaan sih?" kataku.
"Aku tahu hidup sebagai seorang agen rahasia sangat berat. Tapi, bukan berarti kamu tak bisa mencintai seseorang. Dengan segala resikonya, aku ingin menjadi orang pertama yang mencintai dirimu," kata Suni. Lagi-lagi dadaku berdesir. Wajahnya entah kenapa malam itu menjadi wajah yang paling tampan yang pernah aku lihat seumur hidupku. Senyumnya.....oh, kenapa aku ini?
Aku hanya bisa tersenyum. Sebenarnya aku bingung. Memang aku tak pernah didekati oleh lelaki sebelumnya. Tapi...dia cukup berani. Ia tahu resiko menjadi seorang agen rahasia. Ia juga tahu, nyawa kami sewaktu-waktu akan melayang karena itu. Namun aku harus bisa membuka diriku kepada orang lain. Tak mungkin selamanya aku seperti ini. Aku bisa harus meneruskan kehidupanku, aku juga ingin bisa merasakan bagaimana rasanya mencintai seseorang.
"Aa..ak...aku...," aku terbata-bata.
Suni tiba-tiba memelukku. Hei, tunggu dulu aku belum bicara.
"Kau tak perlu menjawabnya. Jawab saja dengan pelukanmu," kata Suni.
Aku kemudian memeluk erat dirinya. Inilah untuk pertama kalinya aku memeluk seorang laki-laki. Dan laki-laki itu adalah Suni.
Malam itu aku habiskan makan malam bersama dia. Kami berbicara banyak hal. Mulai dari masa laluku, masa lalu dia, kesukaan kami. Dan sebagainya. Entah juga kenapa aku makin nyaman bersama Suni. Selesai makan malam, ia mengantarkanku pulang. Di halaman apartemen aku hanya bisa berdiri saja. Tak berani untuk naik ke atas. Suni masih di luar mobilnya. Rasanya momen-momen ini tak bisa aku usir begitu saja. Terlalu romantis. Oh tidak, kenapa aku jadi feminim seperti ini?
"Mau aku antar?" tanyanya menawarkan diri.
"Aku bisa sendiri," jawabku.
"Aku tahu itu, paling tidak. Itu akan membuatmu nyaman," katanya.
Aku menoleh ke arahnya. Aku mengangguk.
Aku kemudian di antar olehnya hingga sampai di depan kamar apartemenku. Tapi entah kenapa aku tak ingin masuk. Suni, jangan pergi! Aduh....apa yang terjadi denganku??
"Sampai di sini?" tanya Suni.
Aku tak menjawab.
"Moon?" panggilnya
Aku berbalik langsung saja aku menciumnya. Aku ingin menciumnya, kucium Suni. Kulumat bibirnya. Dia menerima keagresifanku. Aku mencari kunci apartemenku, lalu aku buka sambil terus berciuman dengan Suni. Lalu kubuka apartemenku dan masuk. Malam ini, iya, malam ini aku disentuh laki-laki. Aku terus menarik Suni hingga sampai di sofa. Aku lalu merebahkan diri di sana. Dia ambruk di atas tubuhku.
"Moon? kamu yakin?" tanyanya.
"Jangan sampai aku berubah pikiran!" jawabku.
Akhirnya ia menciumku lagi, aku bantu dia melepas bajunya. Kini dalam hitungan detik ia sudah tak memakai baju atas. Ohh...tubuhnya sangat atletis. Tampak beberapa bekas luka di dadanya. Tapi walaupun ada bekas luka, justru hal itu membuat ia lebih macho. Dia menciumi leherku dan ohh...tangannya yang kekar itu kini meremas dengan lembut payudara 34c-ku. Aku lalu duduk. Dia membantuku melepaskan resleting gaunku yang ada di punggungku.
Gaunku perlahan-lahan dilepas. Ia sudah menemukan kaitan braku. Dilepasnya juga itu. Kini tubuhku bagian atas sudah terekspos. Ia tak perlu menunggu lama untuk bisa menikmatinya. Aku arahkan dadaku ke mulutnya. Ia menghisap putingku, ohh...geli. Inikah rasanya dihisap oleh lelaki? Aku mendesah, melenguh, kuremas rambut Suni. Dia menikmati payudaraku. Bergantian ia menciumi kiri dan kanan. Dijilatinya puting susuku dengan lembut. Dihisapnya dan diremasnya.
Aku makin bergairah. Vaginaku benar-benar sudah becek. Kubisa rasakan gatal di sana. Suni mengetahui aku menggeliatkan pinggangku. Ia lalu membantuku melepaskan seluruh gaunku yang masih menutupi tubuhku bagian bawah. Ia juga melepaskan celana dalamku sehingga kini dia bisa melihat kemaluanku yang berbulu pendek dan rapi. Aku selalu rajin mencukurnya. Biasanya aku habiskan rambut-rambut itu, kini sedikit tumbuh.
Suni pun melepaskan celananya dan celana dalamnya. Sebuah tongkat kecil mengacung di antara kedua pahanya. Aku memang sering melihat penis laki-laki, entah kenapa melihat penisnya serasa lain. Serasa penis itu ingin aku sayangi. Aku segera bangkit dan menangkap benda berurat yang mengeras itu.
"Ohh...Mooon," katanya.
Aku ciumi kemaluannya. Kepalanya aku jilati. Suni meremas rambutku. Dia kustimulus dengan gerakan erotis lidahku, lalu kumasukkan kepala penisnya ke mulutku. Kuhisap dan kukulum. Suniku...ohh..aku inginkan dirimu. Aku kemudian mengocoknya dengan mulutku. Suni pasti sekarang ini benar-benar tak kuasa menahan diri. Aku ingin memberikan kenikmatan kepadamu. Ayo Suni, ayo! Katakanlah kalau kamu nikmat.
"Ahhh...Moon, nikmat sekali," katanya.
Aku makin bersemangat menggelitiki kepala penisnya yang makin mengeras itu. Suni lalu mendorongku. Aku melepaskan oralnya.
"Kalau kamu lakukan itu terus, aku bisa lemes," kata Suni.
Aku tersenyum. Dia lalu menubrukku lagi. Dia kemudian menciumi perutku. Ohh...tidak, geliiii...Kini dia menciumi selakanganku. Ohh...ia pasti sekarang sudah melihat kemaluanku. Kubisa rasakan hembusan nafasnya yang panas di bibir vaginaku. Dia pun mulai menggelitiki klitorisku dengan lidahnya. AAAAHHHKKK....aku tak pernah diperlakukan seperti ini. Lidahnya menari-nari di bibir vaginaku yang merah. Jangan Suni, jangan...aku tak kuat...jangan lakukan itu.
"Suni...ohhh!" keluhku.
Dia tak peduli. Dia terus mencolok-colok, menghisap seluruh cairan yang keluar dari kemaluanku. Ia menggelitiki bibir vaginaku hingga aku mulai merasa akan ada sesuatu yang meledak di bawah sana. Rasanya menggetarkan seluruh persendianku, pantatku mulai terangkat dengan sendirinya dan Suni makin menggila.
"Terima kasih Moon," katanya.
Aku menggeleng, "Aku yang harusnya berterima kasih. Aku sadar sekarang, aku mencintaimu Suni."
Aku peluk Suni erat. Hingga kemudian aku terlelap. Entah kenapa rasanya aku seperti dipeluk oleh ayahku. Mungkin kerinduanku kepada ayahku yang telah meninggal membuatku nyaman bersama Suni. Aku membutuhkan sesosok lelaki yang memang memperhatikanku.
Share this novel