Rate

BAB 3

Mystery & Detective Completed 306

Lagi-lagi aku diburu waktu kerana lukisanku yang kemarin belum selesai, tapi sudah ada tugas lain. Aku bertekat harus menyelesaikan tugas pak Rusdi terlebih dahulu sebelum malam, kerana aku tidak mau sendirian lagi di ruang seni. Hujan kembali turun dengan deras dan membawa hawa dingin menusuk kulit.

Selagi aku mengerjakan lukisanku, aku terkejut kerana melihat lelaki itu datang lagi. Perasaanku langsung tidak enak kerana melihat penampilannya persis sama dengan kemarin, basah kuyup dan luka-luka. Tanpa menghiraukanku, dia langsung berjalan lagi menuju gudang. Aku pun langsung menyusulkan kerana takut dia mengacak-ngacak lagi.

“Kak, jangan buat berantakan lagi. Kemarin aku yang beresin, tahu!” kataku dengan nada kesal. “Kalau Kakak cari lukisan itu, sudah aku simpan di tempat lain biar Kakak tidak bongkar-bongkar lagi.”

Tiba-tiba lelaki itu menatapku tajam sembari tersenyum menyeringai. Dia jadi tampak menyeramkan. Badanku langsung kaku dan mulutku seperti di lem. Entah kenapa rasanya kengerian menyelimutiku. Dengan langkah perlahan aku mundur dan segera mengambil lukisan tanpa wajah itu, yang kusimpan di tempat terpisah.

Begitu aku kembali ke gudang, lelaki itu sudah tidak ada. Sontak saja badanku langsung menggigil. Kurasakan ada sesuatu yang merembes di antara kedua tanganku. Dari wajah tanpa lukisan itu, mengucur deras cairan merah berbau amis yang menetes hingga ke lengan bajuku. Darah.

Aku berteriak histeri dan melempar lukisan itu ke lantai, lalu berlari terbirit-birit. Aku sudah tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rasanya air mataku ingin keluar, tapi tidak boleh .

“ Ixora , kenapa kamu teriak-teriak begitu?!”

Pak Rusdi yang kebetulan berpapasan denganku di koridor, langsung menahanku.

“Pa, Pak! Pak!” panggilku tergagap.

Aku ingin menceritakan kejadian seram yang baru saja kualami, tapi mulutku sulit berbicara. Aku seperti orang gila dan keheranan kerana darah yang mengotori bajuku tadi, sekarang tidak ada. Merasa ada yang tidak beres, pak Rusdi langsung memintaku duduk disalah satu bangku panjang di koridor. Setelah cukup tenang, aku langsung menceritakan kejadian yang baru saja kualami dan lelaki misterius itu.

“Jangan-jangan itu Anton.” tukas pak Rusdi.

“Anton?”

“Dia mahasiswa yang sudah meninggal tujuh tahun lalu.”

“Meninggal?!” pekikku tak percaya.

“Iya. Dia meninggal dalam kecelakaan motor kerana jalanan yang licin akibat hujan deras. Sebelumnya dia akan ikut perlombaan dengan menyertakan satu lukisan. Gosipnya lukisan yang dia buat adalah sosok kekasihnya. Tapi kerana dia keburu meninggal, lukisan yang belum sempurna di bagian wajah itu, tidak pernah selesai.”

“Ja, jangan-jangan dia mencari lukisan itu…

“Yah… mungkin dia ingin menyelesaikannya. Saat kecelakaan itu, Anton membawa serta lukisannya. Menurut saksi mata, dia melindungi lukisan itu agar tidak rusak.”

“Ta, tapi kenapa lukisannya boleh ada di gudang?” tanyaku.

Pak Rusdi tersenyum getir. “Teman-temannya yang membawa lukisan itu untuk kenang-kenangan. Awalnya mereka memajangnya di ruang seni untuk menghormati Anton, tapi katanya ada yang pernah lihat Anton datang dan melanjutkan lukisan itu. Akhirnya lukisan itu disimpan di gudang. Yah, mungkin dia mencari-carinya di sana.”

Otakku kembali mengingat penampilannya yang basah kuyup dan luka di seluruh wajahnya. Saat membayangkan kembali aku mengajaknya bicara, apalagi saat lukisan itu mengeluarkan darah… Hiiiiihhh….

“Bapak pikir kalau itu hanya gosip, tapi ternyata benar, ya.”

“Duh, Pak. Tas dan lukisan saya tertinggal di sana, Jadi gimana, nih?” bingungku.

Pak Rusdi hanya tertawa ringan.

“Bapak temani kamu ambil.”

Kami berdua berjalan perlahan menuju ruang seni. Kakiku tidak berhenti bergegar kerana takut membayangkan Anto dan lukisan yang berdarah tadi. Sesampainya di sana, aku tidak melihat apa-apa selain tas dan lukisanku yang masih berada di tempat semula. Lukisan tanpa wajah itu tergeletak di depan gudang. Darah yang tadi kulihat dari lukisan itu seolah menghilang tanpa bekas. Pak Rusdi langsung menyimpan kembali lukisan itu ke gudang.

“Nah, ayo cepat kita pergi.” tukasnya saat sudah selesai. Tampaknya beliau pun mulai merasa tidak tenang.

Kami segera meninggalkan ruang seni. Selama berjalan di koridor, aku berpaling lagi ke belakang. Betapa terkejutnya aku saat melihat Anton berdiri di depan pintu ruang seni yang tertutup. Dia menyadari aku melihat dirinya. Dengan tubuh basah kuyup dan luka lebam di wajah, dia tersenyum menyeringai padaku, sebelum akhirnya menembus pintu. Hii.. Pasti dia masih mencari-cari lukisan tanpa wajah itu meskipun tidak boleh lagi menyelesaikannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience