Rate

BAB 1

Drama Completed 324

Tahukah kau sudah berapa banyak lilin yang aku tiup? Dan jawabannya sudah sangat banyak sampai aku tak dapat menghitungnya. Pasti kau menganggapku seperti orang gila bukan? Tapi ini memanglah aku, yang selalu meniup lilin setiap hari dan mengucapkan harapan konyol yang tak mungkin terkabul kerana semuanya itu sudah takdir dari Tuhan dan tak dapat diubah.
Dengan lilin-lilin itu aku bisa menumbuhkan semangat yang membara walaupun harapan itu kapan saja bisa menghempaskanku begitu saja dan kapan saja. Setiap lilin-lilin itu mewakili sebuah harapan dalam hatiku.

CKLEK
Bunyi itu membuatku memalingkan pandangan yang semula kosong memikirkan apa yang sebentar lagi terjadi dalam hidupku dan sekaligus menjadi kenyataan pahit.
Sesosok pria tampan bermata elang dan berkulit putih tampak masuk ke dalam ruanganku dengan membawa sebatang lilin dan sekotak korek api. Langkah kakinya semakin dekat denganku. Ia meletakkan lilin dan sekotak korek api itu di sebuah meja didekatku. Tangannya memegang telapak tanganku dan menciumnya lembut kemudian berlanjut mengecup keningku.
Aku bisa melihat cahaya terang dari tubuhnya yang memancarkan harapan besar untukku. Setiap aku berada di dekatnya kurasa kedamaian dan ketidaktegaan padanya setelah takdir itu terjadi padaku.

Pria tadi mengambil lilin dan korek apinya kembali. Ia menyalakan korek api itu. Bara api di korek itu di dekatkan ke sumbu dan membuat lilin itu menyala terang dan mendekatkannya kearahku.
“Ko,” panggilku pada pria yang ada diruanganku. Endriko Pratama. Kekasihku yang selalu menemaniku melewati hari-hari yang kelam ini.
“Iya, Ilyani .” Jawabnya sembari meletakkan lilin yang menyala itu kembali ke atas meja dan tangannya mengusap dahiku perlahan.
“Ko, kenapa kamu masih terus melakukan kebiasaan ini untukku? Harapanku sudah patah. Aku gak mau kamu termakan harapanku yang terlalu tinggi. Aku takut nanti kamu terhempas, sakit dan perih yang mendalam.” ucapku sembari menatap Endriko lekat-lekat.
Endriko meletakkan telunjuknya dibibirku dan aku bisa melihat ujung matanya yang basah. Aku mengerti apa yang dia rasakan kerana aku juga merasakannya bahkan lebih pahit lagi.
“Ssstt… kamu gak boleh berkata seperti itu, bukannya mimpi bisa jadi kenyataan? Dan mimpi itu dimulai dari sebuah harapan?” tukas Endriko .
“Tapi, aku bukan gadis pemimpi. Aku hanya gadis tak berguna dan tak bisa berbuat apa-apa.” Ucapku dan tak kusangka sebutir air mata keluar dari pelupuk mataku. Jemari lembut Endriko langsung mengusap mataku perlahan.
“Siapa bilang kau tak berguna dan tak bisa berbuat apa-apa? Bagiku kau adalah pelita dalam hatiku yang mampu menerangi dan mewarnai hariku.” ucap Endriko dan tangannya mulai meraih lilin yang tergeletak di atas meja itu lagi. Dengan susah payah aku berusaha mendudukkan tubuhku.
“Ilyani , Believe in all that can be. A miracle start whenever you dream and now, say your wish for today.” perintah Endriko .
Aku menutup kedua kelopak mataku dan menghela nafas sebelum aku benar-benar mengcapkan wish untuk hari ini.
“My wish for today, aku ingin orang-orang yang ada di sekitarku tetap tersenyum dan bahagia. Aku tak ingin melihat mereka menangis tanpa atau adanya aku.” ucapku lirih.
“My wish for today, aku ingin wanita disampingku ini selalu ada untukku dan menjadi milikku sampai aku menutup mata dan selalu tersenyum di setiap harinya.”
FIUH… Secara bersamaan ku tiup lilin itu hingga padam. Tangan Endriko mendekap erat tubuhku sehingga aku hampir kehilangan nafas. Namun, dekapan itu membuatku nyaman. Aku bisa mencium bau musk yang menyeruak ditubuhnya dan bau sampo yang ia gunakan untuk mengeramasi rambutnya.
“Ko, aku mau ke taman dekat sini, kamu mau kan mengantarkanku?” tanyaku di dalam pelukannya.
Endriko menganggukkan kepalanya dan melepaskan pelukannya. Ia berjalan mendekat kearah kursi roda yang ada di sudut ruangan kemudian, ia mendorongnya ke samping katil ku. Dia membantuku duduk di kursi roda dan memindahkan kantung infus ke tiang besi yang ada di kursi roda itu. Ia mendorong kursi rodaku keluar dari tempat yang setiap detik berbau obat.

Segar itulah yang kurasakan saat ini. Menghirup udara bebas yang sudah lama aku tak merasakannya. Hembusan angin yang semilir itu membelai rambutku yang tinggal beberapa helai saja.
Kini aku sudah tepat berada di sebuah taman dengan sekumpulan anak-anak kecil yang berlari kesana kemari, tertawa, dan merasakan kebebasan. Endriko bertekuk lutut dihadapanku dan memegang kedua tanganku yang kini tinggal tulang dan kulit. Aku menatapnya dengan pandangan sendu.
“Maafin aku, aku sudah merepotkan kamu.”
“Ilyani , kamu gak pernah ngrepotin aku. Dan aku minta kamu jangan berkata seperti itu lagi. Kamu harus kuat dan punya semangat. Mana Ilyani yang dulu aku kenal. Ilyani yang semangat dan ceria.” ucap Endriko menyemangati.
“Tapi, kenyataannya aku memanglah bukan Ilyani yang dulu yang selalu ceria dan semangat. Namun kini, aku hanya seseorang yang rapuh.” ucapku putus asa.
“Stop Ilyani aku tidak mau denger kata-kata itu lagi. Ilyani tunggu sebentar ya! Jangan kemana-mana.”
Aku menganggukkan kepalaku dan Endriko melangkah pergi. Sorotan mataku terus memandangi anak-anak yang sedang bermain bola dan tak disengaja bola itu mendarat dipangkuanku. Seorang anak laki-laki berumur 6 tahun berlari mendekatiku dengan sedikit ketakutan. Ia langsung membawa bola itu pergi dan tidak meminta maaf padaku tapi, Ia malah langsung bergerombol dengan kelompoknya yang lain.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience