Rate

PART 1

Short Story Completed 1175

#Part1
**
"Siok oh kalau ada beras jatuh dari langit! Tidak payah lagi penat-penat kerja." (Dongkor)
Dongkor menggumam seorang diri di luar rumah, sambil berbaring-baring di buaian. Ibunya menggeleng-gelengkan kepala. Ibunya tengah membersihkan mangkuk-mangkuk yang digunakan untuk menimba susu getah.
"Angan-angan saja ko ni Ongkor! Bagus ko pigi tulung kakak ko jaga padi di sawah!" (Ina)
"Malas!" (Dongkor)
"Pemalas! Sampai tualah ko begitu!" (Ina)
"Tulang sya ni nda kuat sudah bah mak, semenjak sya jatuh dari pokok timadang (tarap) waktu umur sya empat tahun." (Dongkor)
"Alasan ko saja baitu." (Ina)
Secara kebetulan, Yanak-Anak lalu di tepi rumah mereka. Yanak-Anak senyum-senyum. Terdapat parang yang terikat di pinggang Yanak-Anak.
"Pigi mana Nak?" (Ina)
"Mau pigi kasi bersih kebun mendiang mama sya, hehe." (Yanak-Anak)
"Oh, rajin juga ko arr, bukan macam si Dongkor ni." (Ina)
Yanak-Anak hanya ketawa.
"Bah, jalan dulu auntie." (Yanak-Anak)
"Bah pelan-pelan!" (Ina)
Yanak-Anak mengangguk, kemudian meneruskan perjalanan.
"Nah! Ko tinguk si Yanak-Anak, rajin! Bukan macam ko!" (Ina)
"Sampai hati betul mama kasi malu anak sendiri oh kan? Sya taulah sya ni pemalas, tapi janganlah bah kasi cerita-cerita urang!" (Dongkor)
"Mama teda niat mau kasi malu ko! Mama cuma mau ko ikut macam si Yanak-Anak yang rajin. Kalau seandainya mama sudah tiada nanti, siapa yang mau kasi makan ko?" (Ina)
Beberapa tahun kemudian, Dongkor pun berjaya mengikis sifat malasnya. Dia pun dikahwinkan dengan seorang gadis di dalam kampungnya, namanya Debita. Setelah lapan tahun mereka berkahwin, Debita mulai tidak tahan dengan perangai Dongkor yang kembali menjadi pemalas. Masa itu, mereka sedang makan malam di dapur.
"Dulu sebelum kawin bukan main lagi abang tunjuk rajin di depan sya kan? Sekarang mulai lagi balik perangai abang yang pemalas tu. Bagus-bagus bapa sudah kasi abang tu ladang dia, tidak juga abang kasi usaha tu ladang! Apa yang abang mau kasi makan sama anak-anak kita ni nanti." (Debita)
Dongkor hanya terdiam, tidak mampu berkata apa-apa. Dua orang anak mereka hanya memperhatikan mereka bertengkar dari tadi, Lina dan Rino. Lina anak perempuan sulung, Rino pula anak lelaki yang bungsu. Lina berumur enam tahun, Rino pula berumur empat tahun.
"Mama sama bapa ni malar bergaduh oh! Mama pun satu, malar kasi salah bapa!" (Lina)
Debita menghentak meja menggunakan tangannya. Lina dan Rino pun terkejut selepas mendengar hentakan tangan ibu mereka.
"Memang pun bapa kamu ni salah! Tidak layak jadi lelaki! Tidak layak jadi bapa!" (Debita)
Dongkor menggosok-gosok kepalanya menggunakan kedua-dua tangannya.
"Oklah oklah! Bisuk abang pigi ladang!" (Dongkor)
Selepas mendengar ucapan Dongkor, semua pun terdiam. Keesokan harinya, lengkap dengan sebuah barait (beg tradisional) yang disangkutkan pada kedua-dua bahunya, beserta parang yang diikatkan pada pinggang, Dongkor berjalan menuju ke ladang, yang jaraknya agak sedikit jauh dari rumahnya. Ketika Yanak-Anak sedang lewat di hadapan rumah Teresia menuju ke ladangnya, Teresia memanggil Yanak-Anak.
"Yanak-Anak! Ko pigi mana tu?" (Teresia)
"Sya mau pigi ladang gia ni auntie, hehe." (Yanak-Anak)
"Oh..." (Teresia)
Teresia adalah seorang wanita separuh tua, yang memiliki bentuk leher yang agak kurus, dan kepala yang berukuran sedikit besar berbanding kepala orang-orang di kampung itu.
"Auntie mau minta tulung ko baini! Bulihkah?" (Teresia)
"Tulung apa auntie?" (Yanak-Anak)
"Tulung cari kutu di kepala auntie, hehe." (Teresia)
"Oh bulih bah!" (Yanak-Anak)
Yanak-Anak melangkah menuju ke rumah Teresia. Yanak-Anak mulai duduk di tangga rumah Teresia, sambil mencari kutu Teresia. Kutu yang dimaksudkan oleh Teresia adalah beberapa ekor kalajengking dan gonggok, yang melekat pada rambut Teresia. Setelah selesai membersihkan rambut Teresia dari kutu-kutu sehingga tidak tersisa sedikit pun, maka Teresia mulai melangkah menuju ke kebunnya yang ada di belakang rumahnya, dan mengambil dua biji labu merah. Labu itu diberikannya kepada Yanak-Anak.
"Nah, ini ja yang auntie mampu kasi ko sebab sudah cari kutu auntie, hehe." (Teresia)
"Ndui bah, nda payah bogia ni auntie, sya ikhlas tulung auntie, hehe." (Yanak-Anak)
"Tidak apa! Terima ja! Tapi sebelum ko bawa pigi rumah, ko mesti cuci ni labu-labu di air sungai yang jernih kio! Jangan cuci di air yang kutur." (Teresia)
"Kenapa auntie?" (Yanak-Anak)
"Adalah sebab." (Teresia)
"Terima kasih auntie!" (Yanak-Anak)
"Sama-sama! Terima kasih juga sudah cari kutu auntie." (Teresia)
"Sama-sama auntie. Bah sya pulang dulu." (Yanak-Anak)
"Bah bah! Pelan-pelan!" (Teresia)
Yanak-Anak tidak jadi ke ladang, dia melangkah pulang ke rumahnya. Ketika tiba di sebatang sungai yang jernih airnya, Yanak-Anak mulai mencuci kedua-dua biji labu yang dibawanya, kemudian memasukkannya ke dalam barait yang disangkutkan pada kedua-dua bahunya. Sambil berjalan, fikirannya berjalan.
"Apa bah isi ni labu ni arr?" (Yanak-Anak)
Gumamnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience