“Lari Vil, Shel!” Gio berteriak histeris. Lemparan batu sebesar kepalan tinju orang dewasa hampir saja mengenai mereka bertiga. Ini hari ketiga pacu jalur di Taluk ditahun 2016. Avil dan Shela terengah-engah. Mereka sudah berada ditempat yang aman dan jauh dari lemparan batu.
Avil membungkuk sembari menghembuskan nafas. “Kok bisa gitu? Kenapa jalur dari I*****n itu nggak terima dengan kemenangan Sijontiok?”
Gio mencoba mengatur nafasnya yang masih tersenggal-senggal. “Itulah yang nggak aku ngerti. Seharusnya pacu jalur ini semakin mempererat tali silaturrahmi antar atlet dari berbagai daerah, tapi ini malah rusuh. Mereka nggak mau nerima kekalahan.”
“Di desa kita sejak kecil diajarkan tentang solidaritas. Diajarkan rasa terbuka untuk menerima kekalahan, apa mereka tidak diajarkan seperti itu? Merusak kearifan local saja!” Shela ikut berkomentar gemas.
“Yang diajarkan nenek moyang kita tentang kearifan local sudah benar. Semua kita diajarin, termasuk mereka, kejadian ini kembali ke individu masing-masing, apakah masih mau mempertahankan ajaran nenek moyang atau tidak.” Gio berujar bijak, membuat Avil dan Shela berbarengan mengangguk setuju.
“Ya, semua itu kembali ke individu masing-masing.”
“Vil, kamu nggak papa? Ada yang luka?” Avil menoleh kesumber suara, lalu kemudian sedikit terkejut saat menatap sipemilik suara. “Rico? Ngapain disini?”
Share this novel