Aku terlalu muak dengan semua ini! Terlalu muak dengan orang-orang yang selalu memakai topeng. Ah, pada nyatanya didunia ini memang tak ada manusia yang tulus. Semua busuk. Hanya mendekat disaat ada maunya saja! Merampas sesuatu yang bukan miliknya. Pengkhianat! Avil merutuk didalam hati. Berulang kali gadis berusia 21 tahun itu menghembuskan nafas, seakan ada beban berat yang tengah dialaminya.
“Hei! Kenapa lagi? Masih memikirkan kejadian itu?” Sebuah suara nan lembut mengagetkan Avil, membuat gadis itu menoleh kesumber suara. “Kita kesini kan buat refreshing. Udahlah, yang berlalu biarlah berlalu.”
source : google
“Nggak semudah itu, Shel! Nggak semudah itu ngelupain semuanya. Apa coba maksud mereka selingkuh gitu? Aini itu sahabat aku dan Rico itu pacar aku, trus kenapa mereka tega?” ujar Avil setengah emosi.
Shela menatap Avil sekilas, lalu kemudian pandangan gadis itu tertuju pada sungai Kuantan di hadapannya. “Vil, hidup itu kaya sungai, ada kalanya ngalirnya mulus dan ada kalanya pula ngalirnya tersendat. Semua itu tergantung kitanya menanggapi se—”
Avil menatap tajam kearah Shela, lalu kemudian memotong kalimat gadis bernama lengkap Shela Dinata itu. “Kamu nggak ngerti, Shel! Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain.”
Shela menghembuskan nafas, lalu menatap tepat dimanik mata Avil. “Hidup itu bukan persoalan cinta saja. Masih banyak diluar sana yang hidupnya lebih menderita dari kamu. Belajarlah untuk bersikap dewasa. Aku memang baru mengenalmu dan aku Cuma nggak ingin kamu terlalu lemah ngadepin hidup.”
Shela berhenti sejenak, lalu kemudian kembali melanjutkan kalimatnya. “Jika kamu punya 100 masalah, katakanlah pada masalah itu bahwa kamu punya 1000 alasan untuk tetap berbahagia. Masalah cintapun begitu, kamu akan dipertemukan dengan orang yang salah terlebih dahulu sampai akhirnya dipertemukan dengan orang yang tepat,” kata Shela sembari berlalu meninggalkan Avil. Membiarkan gadis berbola mata coklat itu meresapi kata-katanya.
*@@@*
“Gak bisa kaya gini Gi! Jalur kita itu harga mati, jika ada sedikit saja orang luar yang merusaknya, kita harus bertindak.” Alpa mengacungkan-acungkan parangnya dihadapan Gio. Lelaki berkulit hitam legam itu berujar dengan emosi.
Gio menatap teman seperjuangannya itu. Sebenarnya lelaki yang tengah menyelesaikan pendidikannya di Pekanbaru itu juga teramat emosi, tapi Gio masih mengedepankan akal sehatnya. “Ngerti nyo, tapi sejak dulu dari leluhur kita kan udah diajarkan dalam menyelesaikan masalah itu harus musyawarah. Harus berkepala dingin, jangan mengesampingkan emosi.”
Alpa mendelik kesal kearah Gio. “Jalur kita ditahan mereka, trus kita disini masih duduk diam? Masih bisa tenang saat sesuatu milik kita dirampas orang lain? Jalur sijontiok lawuik itu kebanggan desa kita. Kebanggaan Kecamatan Cerenti ini. Sesuatu yang harus dijaga dan dipertahankan sampai mati!”
Gio menghembuskan nafas, sedangkan teman-temannya yang lain mengangguk setuju dengan perkataan Alpa. “Sekarang gini aja, kalau kamu memang nggak mau ikut ngadepin mereka, terserah! Kami yang akan berangkat!”
Alpa berlalu meninggalkan Gio, diikuti oleh teman-temannya yang lain.
Share this novel