Series
7
Kabut pagi menutupi hutan lebat di tepi Desa Miraqua. Embun masih menggantung di setiap ujung daun, memantulkan cahaya matahari tipis-tipis. Suasana tenang itu seakan menyangkal kenyataan kelam yang tersembunyi di baliknya.
Di tengah kabut, seorang pemuda berdiri sendirian. Matanya tajam berwarna merah darah saat tertimpa sinar mentari. Tangannya menggenggam gagang pedang perak berkarat. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di pelipis. Pemuda itu—Riko—hanya menatap tanah basah di bawah kakinya.
“Riko!” suara seorang gadis terdengar dari kejauhan.
Riko menoleh. Dari balik pepohonan, Mira Aqualis berlari mendekat dengan napas terengah. Rambut hitam panjangnya terurai, jubah biru lembutnya basah oleh kabut. Di tangannya ada kantong air murni yang biasa ia gunakan untuk menyembuhkan luka.
“Aku sudah bilang jangan ke hutan sendirian,” katanya dengan suara lembut tapi khawatir.
Riko menghela napas panjang. “Aku… tidak bisa tidur. Mimpi itu muncul lagi.”
Mira mendekat, memegang lengan Riko. “Mimpi tentang api… dan darah?”
Riko mengangguk pelan. Sejak diusir dari Klan Lux, mimpi tentang masa lalunya terus menghantui. Dalam mimpi itu, ia melihat desanya terbakar, teriakan orang-orang, dan sesosok bayangan hitam yang tertawa di atas tumpukan mayat. Ia tidak tahu apakah itu masa lalu… atau masa depan.
“Riko…” Mira menatapnya dalam, “kau tidak harus melawan semuanya sendirian.”
“Tapi ini bukan mimpi biasa,” gumam Riko. “Aku merasa… sesuatu akan datang.”
Seketika angin berembus kencang. Dari arah barat, kabut menebal tak wajar. Daun-daun kering beterbangan, burung-burung di langit berhamburan. Suara langkah kaki berat terdengar dari dalam kabut.
Riko refleks menarik pedangnya.
---
Tak lama, sosok bertudung hitam muncul. Dua, tiga… sepuluh orang. Mereka mengenakan pakaian tempur berwarna gelap dengan lambang sayap bayangan di dada—Klan Umbra.
“Target ditemukan,” salah satu dari mereka berkata dingin.
Mira mundur setengah langkah. “Mereka… mereka menemukannya lebih cepat dari yang kita duga.”
Riko menggertakkan gigi. “Umbra.”
Pemimpin pasukan Umbra itu maju, membuka tudungnya. Wajahnya pucat, mata hitam pekat seperti langit tanpa bintang. “Putra terakhir dari Klan Sanguis… akhirnya kita bertemu.”
“Kalian…” suara Riko berat, “Kalian yang membunuh keluargaku.”
Pemimpin Umbra menyeringai. “Kau akan mengerti pada waktunya, Riko. Kegelapan tidak bisa kau hindari. Itu bagian dari dirimu.”
Riko merasakan darahnya mendidih. Aura merah pekat menyelimuti tubuhnya. Suhu udara seolah turun drastis. Dari dalam dadanya, suara seperti denyutan jantung raksasa menggema. Mira memegang bahunya dengan panik.
“Riko, jangan! Kalau kau kehilangan kendali lagi—”
Terlambat. Mata Riko berubah merah menyala, urat-urat hitam menjalar di sekitar wajahnya. Pedangnya bergetar hebat. Dalam sekejap, kabut hutan pecah oleh semburan energi darah dari tubuhnya.
---
Kael Ventra melompat dari atas pohon, mendarat tepat di depan pasukan Umbra. “Wah, pagi-pagi sudah ribut. Kalian nggak punya jadwal tidur, ya?” katanya sambil mengeluarkan dua belati pendek berlapis angin.
“Kael!” seru Mira lega.
Kael menyeringai, meski keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia tahu siapa musuhnya—Umbra bukan lawan enteng.
“Jangan terlalu lama dalam mode itu, Riko,” bisik Kael pelan. “Kita butuh kau sadar, bukan jadi monster.”
Riko hanya menggeram. Aura gelapnya semakin kuat, tapi di balik itu, ada amarah murni—bukan sekadar kutukan.
Pasukan Umbra menyerbu serentak. Beberapa menghilang ke dalam bayangan pohon, lalu muncul dari arah belakang. Kael berputar cepat, melepaskan sabetan angin yang menghantam dua musuh. Mira membuat pusaran air, membentuk perisai cair yang menahan serangan belati hitam.
Namun pemimpin Umbra melangkah pelan ke arah Riko, seolah menikmati pemandangan itu.
“Lihat dirimu,” katanya dengan nada mengejek. “Kau sama seperti kami. Kegelapan mengalir dalam darahmu.”
“Tidak…” Riko menggeram.
“Ya. Cepat atau lambat, kau akan menjadi milik Umbra. Klan Lux menyingkirkanmu karena mereka tahu… kau berbahaya.”
Riko menggenggam pedangnya lebih erat. Tangan kirinya berdarah, tapi ia tak peduli.
“Aku…” Riko menunduk, bahunya bergetar. “Bukan… milik kalian.”
Tiba-tiba, semburan energi darah meledak dari tanah. Gelombang kejut menghantam pepohonan dan membuat beberapa anggota Umbra terlempar. Mata Riko menyala terang. Pedangnya berubah warna menjadi hitam-merah, aura kutukan mengalir deras.
---
Leon Fulmer muncul dari balik kabut dengan petir menyambar di sekelilingnya. “Aku telat dikit, dan kalian udah bikin pesta!” teriaknya.
“Leon!” seru Kael lega.
Tanpa basa-basi, Leon menghantam tanah dengan kepalan tangannya yang berlapis petir. Ledakan listrik menghancurkan barisan depan Umbra. Suara jeritan musuh terdengar di seluruh hutan.
“Riko, sadar!” teriak Leon. “Kalau kau benar-benar hilang kendali, kita semua yang celaka!”
Riko menatap mereka—Kael, Mira, Leon. Tiga orang yang tak pernah meninggalkannya, meski seluruh dunia menyebutnya kutukan. Cahaya merah di matanya bergetar… dan perlahan mulai meredup.
Pemimpin Umbra mendesis marah. “Kau akan menyesal menolak takdirmu.”
Dia mengibaskan tangannya, dan tubuhnya perlahan larut ke dalam bayangan. Sebelum menghilang sepenuhnya, suaranya menggema di udara.
“Cepat atau lambat, darahmu akan memilih sisi yang benar.”
---
Hutan kembali hening, hanya terdengar napas berat Kael, Mira, dan Leon. Riko terjatuh ke tanah, keringat dingin membasahi tubuhnya. Mira berlari menghampiri dan berlutut di sampingnya.
“Riko, kau baik-baik saja?” Mira menempelkan air murni ke luka di tangan Riko. Luka itu menutup perlahan.
Kael menjatuhkan diri duduk di akar pohon besar. “Astaga… tiap pagi sama kau, selalu hampir mati.”
Leon mengibaskan petir di tangannya, lalu melirik Riko. “Kita nggak bisa terus begini. Mereka semakin dekat. Kalau Umbra berhasil menangkapmu—”
“—aku akan menjadi senjata mereka,” potong Riko lirih. “Aku tahu.”
Mira menggenggam tangan Riko dengan kuat. “Tapi kau bukan sendirian. Kami tidak akan membiarkan mereka menguasaimu.”
Angin pagi mulai berembus lagi. Kabut perlahan menipis. Cahaya matahari pagi menyinari wajah Riko yang pucat. Dalam matanya, masih ada bayangan kegelapan… tapi kini juga ada kilatan kecil harapan.
Riko menatap langit. “Aku tidak tahu bagaimana akhir cerita ini… tapi aku tidak akan membiarkan darah ini menentukan siapa diriku.”
Mira tersenyum tipis. Kael mengangkat tangan, “Wah, itu tadi kalimat keren. Simpan buat pidato perang, ya.”
Leon mendengus, tapi mulutnya juga melengkung kecil. “Kalau mau perang… kita mulai latihan lagi sore ini.”
Riko mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama… ia merasa tidak sendirian.
---
> “Mereka menyebutku kutukan. Tapi aku akan menunjukkan… kutukan juga bisa menyelamatkan dunia.” Riko
Bersambung
semoga kalian menikmati
Share this novel