Rate

BAB 1

Drama Completed 293

Tanganku yang tadinya lincah melukis, kini mendadak berhenti kerana seorang telah menyentuh bahuku dengan lembut. Aku pun menoleh ke arahnya, dan ia tersenyum kepadaku. Mata onyx-nya yang menurutku indah kalau dipandang itu memandang wajahku lekat-lekat. Pemuda itu adalah teman sejurusanku di London University dulu, dan sekarang ia telah bekerja sebagai seniman terkenal di seluruh dunia.

Dan sedangkan aku, bukanlah seniman terkenal sepertinya tetapi aku adalah seniman jalanan. Demi menarik perhatian orang-orang-aku membuat sebuah stand dekat rumahku untuk melukis dan memajang semua karyaku. Levine Aleyzar namanya. Ia menyodorkan sekaleng minuman isotonik kepadaku, dan aku pun menerimanya dengan mengucapkan terima kasih kepadanya.

“Dari mana kau mendapatkan inspirasi? Lukisan ini indah sekali!” Wajahku seketika merah padam seperti ketam rebus kerana ia memuji lukisanku. Ia sedikit tertawa melihat wajahku yang sudah tak tahan. Aku mengembungkan kedua pipiku.
“Kau ketawakan aku? Dasar bodoh! Apanya yang lucu Levy?” Tanyaku sambil melanjutkan aktivitasku yang tadi tertunda. Aku iseng saja memoleskan warna merah jambu lembutpada bunga lily yang seharusnya berwarna kuning jingga untuk menutupi wajahku yang sudah malu.
“Soft pink? Bukannya itu warna yang paling kau benci Caroline ? Kau pernah bilang bahawa jika ada warna bodoh itu di lukisanmu kau tak segan-segan untuk mematahkan kayu kanvasnya. Tetapi sekarang kau lebih menyukai warna–” Aku cepat memotong pembicaraannya.
“Secara tak sadar, aku menyadari betapa miripnya aku dengan warna ini. Hm, iya memang aku membenci warna ini sangat benci malahan. Merah jambu lembutwarna pucat yang bodoh, buruk , dan juga boleh merosak lukisanku, aku sama dengan nasib warna itu. Aku bodoh, buruk dan juga boleh merosak hubungan orang. Hahaha! Diriku memang seharusnya tak menjadi pelukis” Jelasku.

Levine pun mulai bingung dan sedikit meneguk sisa minuman isotonik itu dengan habis lalu membuang kalengnya di tempat sampah dekatnya.
“Kau tidak bodoh, kau cantik. Dan apa maksudmu merosak hubungan orang?” Tanya Levine dan kembali memandangku.
“Ingatkah kau lagi? Ketika lukisanku yang ingin dipamerkan di International Painting Competition masa kita study dulu? Lukisan itu dipatahkan oleh kekasihmu. Teruk aku menangis masa tu dan kau sanggup memarahi kekasihmu demi aku, akhirnya kau dan kekasihmu hampir putus kerana aku. Dah itu kau tak rasa ke yang aku merosak hubungan orang?” Aku semakin terpuruk. Aku menunduk dan menahan air mataku agar tak jatuh sedikitpun. Levine menatapku dengan tatapan sayunya.
‘Dengarkan saat aku bicara dengan nada samar. Aku tidak akan memaksakan diri untuk menjadi kuat, tapi aku tidak akan menangis seperti itu lagi.’

Tiba-tiba handphone Levine baru saja berbunyi. Itu menandakan seorang menelefonnya. Ia menatap layar handphone-nya itu dengan kesal lalu ia mematikan dengan memencet tombol reject yang ada di layar itu.
“Kenapa kau matikan? Itu pacarmu kan, jangan segan-segan mengangkat telefon pacarmu di depanku. Aku itu temanmu Levine ” Ucapku sedikit sungkan. Dan benar saja handphone milik Levine kembali berbunyi dan kali ini Levine mengangkatnya.
“Hello?” Dia berbicara sedikit datar.
“What the hell! Yesterday you had asked me to meet my mother. And now again? Can you delay it? Now I must meet my friend she needs me more than you! You can visit my mother at her office alone!” Wajahnya mendadak berubah, lalu ia keras memencet tombol trun off the call di layar handphone itu.
“Tak baik Levine , aku tak membutuhkanmu kok. Kau boleh menemuiku nanti” Aku berusaha tersenyum kepadanya. Lalu ia mengusap lembut kepalaku dan meninggalkanku. Dadaku sesak, semakin lama semakin sesak. Kepalaku panas mendengar pembicaraannya tadi. Itu pasti dari pacarnya atau mungkin tunangannya.

Menyakiti ku secara bertahap.

Aku mendapat kabar bahawa hari ini, Levine akan menuju Tokyo untuk tinggal menetap di sana. Aku berlari secepat mungkin menuju Heathrow Airport yang tak jauh dari kediamanku. Aku pastikan pesawat yang dipakai Levine belum lepas landas. Aku berhenti di apron bandara untuk beristirahat sejenak. Napasku tersengal. Lalu ku lihat sebuah sepatu besar tepat di hadapanku. Ah! Itu kaki manusia. Ku pandang kaki itu sampai ke ujung rambutnya.
“Levine ?” Ku dekati dirinya. Wangi parfum khasnya tercium begitu menyengat.
“Maafkan aku, aku baru mengabari hal ini tadi. Oh iya, sekarang aku akan flight menuju Tokyo. Aku akan diam di sana dan menikah bersama kekasihku. Maaf, ini mendadak sekali”

Mendengarkan penjelasan Levine kali ini aku benar-benar ingin menonjoknya tetapi aku tak boleh . Mataku membulat sempurna, kelopak mataku panas dan cairan bening itu ke luar tanpa ku panggil. Ia memelukku dengan hangat. Mungkin ini perpisahan yang paling ku benci. Aku membenci ini lebih dari membenci warna soft pink.

“Jaga dirimu, Levine ! Kirimlah pesan email setiap minggu padaku. Dan aku tunggu kabar keluarga kecilmu nanti! Kirimi fotonya lewat pos ya!” Aku menyeka air mataku, aku tahu bahawa diriku hanya pura-pura tegar di hadapannya. Ku lepaskan pelukan itu dengan lembut lalu tersenyum padanya.
“Oke! Waktunya aku pergi Caroline ! Thank you for everything, i’m sorry I can’t reply it. You’re my special comrade. I Love you as my best friend. Bye!” Ku lihat punggunggnya memasuki pintu untuk check in, ku hela napas berat. Air mataku yang baru saja mengering kini kembali ke luar lagi. Ku langkahkan kakiku untuk pulang. Langit mendung menjadi saksi bahawa hari ini hari yang paling menyakitkan. Selang lima menit kemudian hujan datang dengan lebatnya membuatku menutup telinga. Aku tak peduli, ku biarkan hujan menemaniku. Bahkan bunyi hujan membuatku takut, kita bagaikan bagian dari payung.

Memoriku yang masih kuat mendorongku untuk mengingat perkataan seorang Levine pada saat kami lulus dari London University. Wajahku yang basah terlihat menyedihkan, orang-orang yang berlalu lalang menggunakan payung dan mantel melihatku iba.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience