Rate

Bab 1

Horror & Thriller Series 219

UNTUK kesekian kalinya malam itu kusingkirkan selimutku lalu duduk tegak di tempat tidur.Kali ini aku yakin aku mendengar sesuatu.Dan yang jelas, bukan suara angin.Aku selalu mendengar bunyi-bunyi aneh.Tapi apa pun yang kudengar, Ibu selalu kata, "Itu cuma suara angin, Cooper. Bukan suara apa-apa." Tapi suara angin kan tidak seperti suara langkah di atas daun-daun kering. Dan itulah yang kudengar kali ini. Sungguh.Aku berjalan ke jendela kamarku dan berhenti di sampingnya.Kemudian aku membungkuk dan mengintip ke luar. Suasananya memang menyeramkan.
Kupicingkan mataku agar dapat melihat lebih jelas dalam kegelapan.Jangan membungkuk terlalu jauh, aku mengingatkan diriku. Jangan sampai terlihat oleh siapa pun atau apa pun yang ada di luar sana.Pandanganku menyapu seluruh pekarangan belakang. Aku mengangkat kepalaku sedikit—dan melihatnya.
Berjarak beberapa meter saja dariku.tangan-tangan yang besar, hitam,dan mengerikan.Menggapai-gapai untuk menjangkauku.Siap menyambarku dan ohh!.Ternyata cuma dahan-dahan pohon ek tua di pekarangan:Hei,jangan ketawa! Aku kan sudah kata kalau di luar gelap. Aku kembali memantau pekarangan belakang. Suara itu.Oh, itu dia! kali ini Serta-merta aku merunduk. Kurasakan kakiku gemetar ketika berjongkok di samping jendela. Keringat dingin mengucur di tubuhku.
Krekkk.Krekkk
Lebih keras dari sebelumnya. Aku hanya menelan air liur ketika mendengar bunyi cakaran tersebut.Sekali lagi aku mengintip ke luar.Ada sesuatu yang bergerak dalam kegelapan.Di bawah pohon ek. Aku menahan napas.
Krekkk.Krekkk,krekkk.
Dahan-dahan bergoyang-goyang karena tiupan angin.
Krekkk,krekkk,krekkk.
Bunyi menakutkan itu semakin keras. Dan semakin dekat dengan rumahku.Dengan waswas aku mengintip ke luar. Tiba-tiba kulihat sepasang mata dalam kegelapan.Nafasku tersekat dan tak mampu untuk bersuara.Mata itu menyala-nyala.Kali ini lebih dekat lagi. Persis di depan jendelaku.Menatapku.Menghampiriku. Sosok gelap tersebut mulai terlihat lebih jelas dan yang mendekatiku itu
ternyata seekor kelinci??
Aku mengembuskan nafas lega.Ini,malam pertama aku di rumah kami yang baru dan rasa takutku masih saja sama dengan sebelumnya.Aku pergi ke kamar mandi untuk mengambil handuk.Sambil menyeka keringat di keningku, kuamati bayanganku di cermin lemari.Setiap kali aku ketakutan, bintik-bintik di wajahku selalu kelihatan jelas sekali. Seperti sekarang. Ada jutaan bintik memenuhi wajahku.Kuusap rambutku yang panjang dengan sebelah tangan lalu kembali melihat cermin.Rambutku sengaja kubiarkan tumbuh panjang untuk menutupi telingaku yang besar dan seolah-olah bergantung.Dari kecil, telingaku sudah besar.Ibu selalu kata aku tidak perlu risau Katanya lagi, kalau aku sudah besar telingaku akan bertukar normal. Tapi umurku sudah dua belas sekarang, dan belum ada perubahan apa-apa. Telingaku tetap saja besar. Besar dan terlihat bergantung.
Untuk membantu menyembunyikan telingaku, aku hampir selalu memakai topi. Topi favoritku yang bertuliskan tim baseball favoritku—Red Sox.Jadi aku tidak keberatan memakainya.Seekor kelinci, aku bergumam sambil menatap bayanganku di cermin.Aku ketakutan gara-gara seekor kelinci. Aku berhasil melewati satu hari tanpa merasa ketakutan. Bagiku, itu prestasi yang patut dibanggakan.
Di tempat tinggalku sebelum ini—di Boston, Massachusetts—aku punya dua sahabat karib, Gary dan Todd, dan mereka selalu menertawakan aku. "Cooper," mereka sering bilang, "kau akan mati disebabkan bayanganmu sendiri pada malam Halloween." Mereka benar. Aku memang penakut.Ada orang yang lebih mudah takut berbanding orang lain. Dan aku termasuk kelompok ini. Contohnya waktu aku pergi berkemah musim panas yang lalu. Aku tersesat di hutan waktu menuju ke bilik air.Apa yang kulakukan? Aku tidak melakukan apa-apa.
Aku cuma berdiri seperti patung sehinggalah aku akhirnya ditemukan oleh rakan-rakanku yang satu khemah denganku, seluruh badanku gemetar. Aku hampir menangis.Padahal, selama itu aku ternyata cuma beberapa langkah dari ruang makan.Oke,Kuakui terus terang. Dalam hal keberanian, aku bukan tandingan Indiana Jones!
Waktu aku diberitahu orangtuaku bahwa kami akan pindah dari bandar ke sebuah rumah di tengah hutan, perasaanku langsung agak tegang.Mungkin boleh dikatakan agak janggal.Aku janggal meninggalkan apartemen tempat aku tinggal dari kecil.Aku janggal membayangkan bahwa aku akan tinggal di tengah hutan.
Dan kemudian aku diberitahu bahwa rumah kami terpencil, di daerah Maine. Jaraknya bermil-mil dari kota terdekat. Seumur hidup aku baru dua kali membaca buku seram.Kedua-duanya berkisah tentang peristiwa yang terjadi di Maine. Di tengah hutan.Tapi aku tidak punya pilihan. Kami pasti akan pindah.Ibu dapat pekerjaan baru di Maine, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku keluar dari kamar mandi, kembali ke tempat tidur. Papan-papan lantai berderit-derit setiap kali aku melangkah. Agak sulit bagiku untuk membiasakan diri dengan bunyi itu. Aku juga sulit membiasakan diri dengan bunyi-bunyi aneh lainnya di rumah tua ini.Paip-paip yang berkertak-kertak. Daun jendela yang bergesek-gesek. Belum lagi bunyi berdebum yang terdengar setiap jam. Pada waktu makan malam, ibu cuma bilang bahwa rumah kita sedang "turun". Entah apa artinya.
Masih untung dia tidak bilang, "Itu cuma suara angin, Cooper." Aku naik ke tempat tidur dan langsung kutarik selimutku sampai ke dagu. Setelah itu kutepuk-tepuk bantalku dua atau tiga kali untuk membuatnya lebih nyaman. Aku merasa lebih aman di tempat tidur. Aku mencintai tempat tidurku. Sebenarnya ibu sudah mau membuangnya waktu kami pindah. Dia bilang aku butuh tempat tidur baru. Tapi kubilang "jangan". Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun sampai tempat tidurku betul-betul pas untukku, tidak terlalu empuk dan tidak terlalu keras. Aku memandang berkeliling di kamarku yang baru. Rasanya aneh sekali melihat barang-barangku di tempat yang asing. Ketika para tukang angkut membawa masuk perabotku tadi pagi, kusuruh mereka mengaturnya persis seperti di kamarku yang lama.
Di seberang tempat tidurku ada rak yang ayah buatkan.Rak itu dilengkapi lampu dan aku memakainya untuk menyimpan koleksi snow dome—kubah kecil dari kaca yang kalau dibalik bisa meniru hujan salju di dalamnya. Aku sudah tidak sabar untuk membongkar koleksiku dari kardus.Aku punya 77 biji dari seluruh dunia—bahkan dari Australia dan Hong Kong.Nah, aku sudah mulai rileks sambil membayangkan koleksi—ketika tiba-tiba terdengar bunyi lain. Bukan bunyi krekkk berulang-ulang kali seperti tadi tapi bunyi krekkk yang panjang sekali. Aku langsung tegak di tempat tidur. Kali ini aku yakin sekali. Seratus persen. Seseorang—atau sesuatu—sedang mengendap-endap. Persis di depan jendelaku! Serta-merta kusingkirkan selimut. Kemudian aku turun ke lantai dan merangkak ke jendela. Pelan-pelan sekali. Dengan hati-hati aku berdiri dan mengintip ke luar.
Apa itu? Seekor ular? Kubuka jendela. Kuraih bola softball dari lantai, lalu kutimpuk ular itu. Kemudian aku segera kembali berlutut dan memasang telinga. Hening. Tak ada suara lagi. Lemparanku kena.Bagus! Aku bangkit dan mencondongkan badan ke luar jendela. Aku merasa bangga sekali. Bagaimanapun juga, aku baru saja menyelamatkan keluargaku dari ancaman maut. Aku baru saja membantai—slang air! Aku menghela nafas dan menggelengkan kepala. Dasar penakut, aku berkata dalam hati. Seandainya Gary dan Todd ada di sini, mereka pasti tertawa terpingkal-pingkal sambil mengejekku. "Hebat juga, Coop!" Gary pasti berkata. "Kau telah menyelamatkan keluargamu dari slang air beracun!" Dan Todd akan mencelah "Yeah. Super Cooper beraksi lagi!" Aku kembali ke tempat tidur. Sekali lagi kutepuk-tepuk bantalku. Kemudian aku memejamkan mata serapat mungkin. Cukup, aku berkata dalam hati. Aku tidak mahu bangun lagi. Aku tak peduli lagi pada suara apa pun yang kudengar. Aku tidak mau bangun lagi. Apapun yang terjadi. Dan seketika aku mendengar suara lain. Suara yang berbeda. Suara yang membuat jantungku berdegup-degup di dalam dada. Suara tarikan nafas. Suara tarikan nafas yang mendesis-desis. Di kamarku.Di bawah tempat tidur!

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience