4. Playboy Duren Tiga

Humor Completed 2699

4. Playboy Duren Tiga

TENGAH hari bolong. Anak-anak kelas I A2 sedang dilanda kantuk yang luar biasa. Siang-siang begini memang lebih enak tidur, ketimbang dengerin guru Bahasa Indonesia yang asyik dengan gaya bahasanya. Yang dengan genitnya mencontohkan, bagaimana seseorang bergaya bahasa itu.

Tetapi anak-anak tetap tak berminat.

Apalagi di deretan bangku belakang. Tak ada tanda-tanda kehidupm di sana. Cuma Boim yang tampak asyik main ramal-ramalan dengan Heru- moko. Heru, yang bawaannya ngamuk melulu, membiarkan si Boim meramal setiap sidik jari dari telapak tangannya. Dia sendiri sudah dari setengah jam yang lalu terbang dengan mimpi indahnya.

Lupus, yang duduk di sebelah Boim, mendekat. Penasaran kepingin diramal juga. Lupus segera menyodorkan tangan kanannya. Boim meneliti. Berlagak mikir. Lalu dengan meyakinkan, dia bersabda, "Kamu panjang umur. Dan garisgaris keberuntunganmu juga not so bad. Bolehlah. Tapi ini, lho, garis yang paling atas .... " "Kenapa garisnya?" Lupus penasaran.

"Tidak seperti saya punya. Arah dan garisnya jelas. Sedang kamu tidak .... "

"Saya kenapa?"

"Ini garis jodoh. Kalau saya ketauan, jodohnya jelas. Lihat aja sendiri. Dan bukti nyata kamu sudah tau, kan? Nah, kalau kamu... ah!"

"Kenapa jodoh saya?"

"Berantakan .... "

"Sialan!" Lupus menarik tangannya. Boim memang suka sok tau. Anak itu nama sebenarnya Imbauan. Baginya tak ada yang lebih berharga di dunia ini selain cewek dan cewek melulu. Dan ceritanya sudah setinggi langit kalau dia bisa jalan bareng dengan primadona-primadona SMA Merah Putih ini. Ge-er-an memang. Entah karena dia

memproklamirkan dirinya sendiri atau ada bebe- rapa temannya yang iseng, dia sering dijuluki playboy. Ganti-ganti pasangan terus. Tapi si Boim ini cuma playboy cap duren tiga. Mau nampang modalnya cuma geretan merek duren tiga. Rokok aja nebeng melulu. Kaus kakinya juga nggak pemah ganti. Habis pake langsung dijemur. Pernah sekali waktu sembahyang jumat di sekolah, dia membuka sepatu. Baunya, bujubune .... Membuyarkan konsentrasi sembahyang.

Dan seminggu sekali, setiap malam minggu, dia patah hati. Herannya dia nggak pernah kapok. Pernah sekali dia naksir si Elsa. Cewek jet-set yang cakepnya nggak ketulungan. Kontan saja cintanya ditolak. Berhari-hari dia langsung nggak nafsu makan. Semua unek-uneknya ditumpahkan kepada Lupus.

Dan nasihat Lupus cukup sederhana, "Sudah- lah, Im, nggak usah frustasi. Ditolak kan belum tentu diterima .... "

***

Akhirnya bel tanda sekolah usai berdentang. Anak-anak seperti tersengat. Semangat hidup yang hampir sirna tadi, kini kembali. Guru bahasa yang tadinya mau meneruskan beberapa bab yang tersisa (masih beberapa bab kok dibilang sisa? ), tak bisa berbuat apa-apa ketika anak-anak serempak berteriak, "S’lamat siiiang. Bu Guruuuu...!!"

Itulah anak SMA. Masuk sekolah pagi-pagi cuma mau nungguin bel pulang di siang hari. Makanya Boim yang belagu itu pernah berfilsafat (dalam hal ini, dia jelas ingin menonjolkan kemampuannya berbahasa lnggris), "You know, my friends, school is just a plaee to rest between week-ends!" Dan dia dengan bangganya tidak mengeratui bahwa semua temannya pernah membaca kata-kata itu di toko baju.

"Hei, Kucing! Kok bengong aja? Mau ikut pulang?" tiba-tiba suara cempreng menyapa Lupus yang lagi bengong di pintu gerbang. Lupus melotot dipanggil ’kucing’ begitu. Siapa lagi kalau bukan si Boim. Dia memang Iebih senang memanggil kucing daripada ‘Pus... Pus...’ begitu. Kan sama aja, katanya.

"Hayo, nungguin Poppi, ya? Saya dengar kamu ada main sama dia. Hu... kuno! Poppi sih udah bekas saya. Udah abis deh saya kerjain," sambung Boim lagi. Lupus hanya mendengus, lalu berjalan menelusuri trotoar.

"Ayolah, pulang saja. Kamu ke Grogol, kan? Ikut saya aja. Saya juga mau ke sono. Biasa, ada mangsa baru. Yuk?" Boim menarik Lupus untuk ikutan di motomya yang butut.

Tiba-tiba Poppi berlari mendekat. Lupus melepaskan cengkeraman tangan Boim. "Halo, Lupus. Sori, ya, kita nggak bisa pulang bareng. Saya dijemput sih. Mau langsung les .... " Lupus mengangguk, lalu menoleh pada Boim.

"Saya ikut kamu!" Boim ngakak.

Di perjalanan, Boim banyak cerita tentang pengalamannya. Lupus cuma jadi pendengar setia saja. Tanpa komentar apa-apa. Apanya yang mau dikomentarin kalau yang diceritakan cuma ’gom- balan’ melulu? Sampai suatu ketika dia cerita soal Irma. Anak baru pindahan dari Semarang yang kece, tapi nggak memble.

"Saya heran, kok belakangan ini mimpi-mimpi saya selalu dihadiri oleh sosok tubuh mungilnya. Kenapa itu, ya?" ujar Boim belum puas nggombal.

"Irma yang mana sih? Saya kok nggak kenal?" tanya Lupus polos.

"Kamu dasar kuper. Irma itu, Iho, yang anak baru. Masa nggak tau? Dia kan pernah bikin cowok-cowok pada ngerebutin. Yang cakep kaya Yanti lssudibjo .... " ujar Boim rada berapi-api.

"Yanti lssudibjo? Yang mana lagi, tuh? Anak baru juga?" Lupus makin bingung.

"Biang panu! Yanti itu foto model dan penyanyi yang kondang. Nah, si Irma mukanya setipe dengan dia. Kamu tau Irma nggak sih?" Boim jadi ngotot.

"Oooo, yang menang kontes kebaya kemarin itu?"

"Betul!! Akhirnya terbuka juga matamu." "

Lho, dia kan memang pernah nanyain kamu. Kapan, ya? Oya, kemarin!"

"Hah? Bener nih?" Boim mendadak girang. "Tuuh, kan, apa saya bilang. Belakangan dia memang sering saya pergokin lagi mencuri pandang ke arah saya. Dia emang naksir saya. Saya merasakan hal itu kok. Oya, Lupus, dia tanya apa aja tentang saya? Tell me, my friend, is there something I should know?" Lihat saja, kalau ada maunya dia baru manggil Lupus, bukan kucing.

"Katanya... bener nggak kamu yang waktu itu bawa motor bebek item ke sekolah .... "

"Hm, kapan, ya? Soalnya-terus terang-saya suka ganti-ganti kalo bawa motor. Tapi..., hm ya! Saya inget. Sabtu kemarin saya memang bawa motor bebek item ke sekolah. Kok dia tau, ya?" "ltulah, dia sangat memperhatikanmu. ..," sahut Lupus geli.

"Iya, ya. Betul juga. Terus nanya apa lagi?"

"Dia tanya, kamu di rumahnya buka bengkel gitu?"

"Lho, kok dia tau? Memang sih-kakak saya memang buka bengkel di samping rumah. Tapi bengkel elite lho! Kok dia tau sih? Kalo gitu dia sangat memperhatikan saya, ya? Aduh, Lupus, saya jadi utang budi nih sama kamu .... "

"Ah, biasa. Sama teman. Kalau gitu bener dong ya tebakan Irma...!"

"Lho. Irma nebak apa? Kamu bilang saya playboy, ya? Wah, jangan gitu dong, Lup. Meskipun saya, yeah-sering ganti-ganti pasang- an, saya kan bisa setia juga. Atau dia nebak motor saya suka ganti-ganti? Atau soal nama bekenku di sekolah? Ah, itu belum seberapa Iho, Pus. Kalau kamu ingin tau lebih dalam kamu bisa ke rumah saya. Saya akan senang menyambut tamu agung seperti kamu. Oya, Irma nebak apaan sih?" cerocos Boim kaya petasan.

"Enggak apa-apa. Soalnya honda bebek item yang kamu bawa tempo hari itu punya dia, yang emang lagi dibetulin di bengkel. Mungkin di bengkel kakak kamu, ya?"

Saat itu juga, Lupus diturunkan secara tak hormat di pinggir jalan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience