Series
99
Malam itu, udara di rumah Bu Widya terasa berat, diisi oleh keheningan yang hanya sesekali terpecah oleh gemericik air kolam ikan di halaman belakang. Di dalam kamar utama, lampu redup menerangi ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding. Bu Widya duduk di tepi tempat tidur king-size-nya, kaki yang halus dan berwarna kulit kayu manis terlipat dengan anggun di bawah tubuhnya. Kemeja tidur sutra hitam yang tipis melekat erat pada kurva tubuhnya, menyoroti lekuk pinggul yang membulat dan payudara yang montok. Rambut brunettenya yang panjang terurai bebas, beberapa helai menempel di kulit lehernya yang sedikit berkeringat. Matanya yang hazel berkilau dengan campuran antara hasrat dan kesendirian, sementara jari-jari rampingnya memegang ponsel dengan santai, meski pikirannya sudah melayang jauh.
Ponselnya menyala, tetapi dia tidak benar-benar membaca apa yang ada di layar. Pikirannya terpaku pada Rian—asistennya yang setia, tubuhnya yang atletis, dan cara pandangnya yang selalu penuh penghormatan namun tak bisa menyembunyikan nafsu. Suaminya sudah berbulan-bulan bekerja di luar negeri, meninggalkannya dengan rumah yang terlalu sunyi dan keinginan yang semakin menggunung. Dia menggigit bibir bawahnya, merasakan denyut di antara paha yang semakin mengganggu. Mungkin malam ini adalah waktu yang tepat, pikirnya, sementara tangannya tanpa sadar menyentuh dadanya sendiri, jari-jari meremas lembut melalui kain sutra.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu kamar membuatnya terkejut. "Bu, aku bawa laporan yang kemarin diminta," suara Rian terdengar dari balik pintu, rendah dan sedikit serak. Bu Widya tidak langsung menjawab. Dia membiarkan keheningan berlarut, menikmati bagaimana suaranya saja sudah cukup untuk membuat perutnya berkontraksi. Barulah setelah beberapa detik, dia mengangkat kepalanya, senyum tipis mengembang di bibirnya yang dicat warna merah anggur. "Masuk, Rian. Letakkan di sini," katanya, suaranya lembut namun penuh otoritas, sementara tangannya menunjuk ke meja kecil di samping tempat tidur.
Pintu terbuka perlahan, dan Rian melangkah masuk dengan langkah yang terukur. Tubuhnya yang atletis terbungkus dalam kaus oblong putih yang ketat, menyoroti otot-otot bahu dan dadanya yang bidang. Celana pendek hitam yang dia kenakan menempel sempurna pada pinggulnya yang ramping, sementara rambutnya yang berwarna ash brown sedikit kusut, seolah baru saja dia usap dengan jari-jari. Matanya langsung tertuju pada Bu Widya, dan dia tidak bisa menyembunyikan cara pandangnya yang melahap tubuh majikannya. "Laporan ini penting, Bu. Harus segera dicek," ucapnya, suara sedikit tersendat saat dia meletakkan berkas di atas meja. Namun, tangannya gemetar sedikit, mengkhianati ketegangan yang dia rasakan.
Bu Widya tidak langsung merespons. Dia merebahkan diri dengan sengaja di atas tempat tidur, tubuhnya terlihat semakin mengundang dengan pose yang santai namun penuh artian. Kemeja tidurnya terbuka sedikit, memperlihatkan celah di antara payudaranya yang penuh. "Nanti dulu, Rian. Aku lagi santai nih," katanya, suaranya seperti beludru yang menggelitik. Tangannya mengulurkan, jari-jari rampingnya menyentuh bahu Rian dengan lembut, seolah tanpa maksud, namun sentuhannya membakar kulit. "Kamu nggak capek?"
Rian menelan ludah. Dia merasakan panas menyebar dari titik di mana jari Bu Widya menyentuhnya. "Nggak, Bu. Aku selalu siap buat Ibu," jawabnya, suara serak dan penuh pengertian. Matanya tidak berani bergerak dari wajah Bu Widya, yang kini tersenyum dengan penuh rahasia.
Bu Widya tertawa kecil, suara yang dalam dan menggoda. "Kamu ini, selalu tahu cara bikin aku senyum. Tapi malam ini, aku pengen yang lebih dari senyum," bisiknya, sementara tangannya mulai bergerak, meluncur dari bahu Rian ke lengan, kemudian ke dadanya. Jari-jari meremas lembut otot Rian melalui kain kaus, dan dia bisa merasakan detak jantung asisten mudanya yang semakin kencang. "Kamu tahu kan, Rian, suamiku jauh. Dan aku butuh seseorang yang bisa bikin aku merasa... hidup."
Rian merasakan napasnya tersumbat. Dia tahu ini adalah momen yang sudah lama dia tunggu. "Apa yang Ibu mau? Aku siap melayani," katanya, suara penuh janji, sementara tangannya mulai bergerak, menyentuh paha Bu Widya yang halus dan hangat. Kulitnya terasa seperti sutra di bawah jari-jari Rian, dan dia harus menahan diri untuk tidak langsung merayap lebih tinggi.
Bu Widya mengangguk, matanya berkilau-kilau. "Kamu tahu, Rian. Aku pengen kamu tunjukin betapa hebatnya kamu," bisiknya, sementara tangannya menarik kemeja tidur ke atas, memperlihatkan kulit perutnya yang mulus dan pusar yang dalam. Udara malam terasa dingin di kulitnya yang panas, dan dia merasakan putingnya mengeras, menanti sentuhan.
Rian tidak bisa menahan lagi. Dia berdiri, tangan gemetar sedikit saat mulai melepas kausnya, membuka tubuhnya yang berotot dan berkeringat tipis. "Siap, Bu. Malam ini bakal jadi malam yang panas," katanya, suara penuh keyakinan, sementara matanya tidak berani beralih dari tubuh Bu Widya yang hampir telanjang di depan mata. Penisnya sudah mulai mengeras, menonjol jelas di balik celana pendeknya.
Bu Widya mengamati dengan mata yang kelaparan. Tangannya mengulurkan, jari-jari menyentuh dada Rian yang bidang, merasakan detak jantungnya yang kuat. "Aku pengen kamu mulai dari sini," katanya, sementara jari telunjuknya menyentuh bibirnya sendiri, yang sudah basah oleh lidahnya. "Cium aku, Rian. Bikin aku merasa diinginkan."
Rian tidak perlu diminta dua kali. Dia mencondongkan tubuhnya, tangan menopang tubuh Bu Widya yang kini bersandar di tempat tidur. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang dalam dan penuh hasrat, lidah Rian langsung menyusup ke dalam mulut Bu Widya, mencari dan menemukan lidahnya yang basah. Bu Widya merangkul leher Rian, menariknya lebih dekat, sementara tangannya yang lain meraba punggung Rian yang kuat, kuku-kuku mencengkeram kulit.
"Kamu jago, Rian. Aku suka cara kamu mencium," bisik Bu Widya di sela ciuman, suara parau dan penuh nafsu. Tangannya bergerak ke bawah, menyentuh pinggul Rian, kemudian merayap ke depan, merasakan kekerasan yang semakin membesar di celana pendek.
Rian mendesah, tangannya mulai bergerak dengan lebih berani, menyentuh paha Bu Widya, kemudian merayap ke atas, mendekati celah di antara kaki Bu Widya yang mulai terbuka. "Ini baru permulaan, Bu. Aku bakal bikin Ibu merem melek malam ini," katanya, suara serak dan penuh janji, sementara bibirnya meninggalkan jejak basah di leher Bu Widya, menggigit lembut kulit yang harum.
Bu Widya menggeliat, tubuhnya merespons setiap sentuhan dengan kegelisahan. "Aku tunggu, Rian. Tapi jangan lama-lama. Aku pengen lebih," katanya, sementara tangannya menarik Rian untuk merebahkannya di tempat tidur. Kini, Bu Widya berada di bawah, tubuhnya terbentang dengan indah, kemeja tidur yang terbuka memperlihatkan payudara yang montok dan puting yang sudah keras menanti.
Rian menatapnya dengan mata yang terbakar nafsu. Dia merebahkan diri di atas Bu Widya, tubuhnya menindih dengan lembut, namun cukup untuk membuat Bu Widya merasakan berat dan panasnya. "Santai, Bu. Malam ini bakal jadi malam yang nggak bakal Ibu lupa," bisiknya, sementara bibirnya mulai menjelajahi leher Bu Widya, meninggalkan jejak ciuman basah yang membuat Bu Widya mendesah.
Bu Widya menggeliat, tangannya meraba punggung Rian, kuku-kuku mencakar lembut. "Kamu nakal, Rian. Tapi aku suka," katanya dengan suara serak, sementara tubuhnya mulai berkeringat. Dia bisa merasakan kelembapan di antara paha yang semakin membasahi, dan keinginannya semakin tidak tertahankan.
Rian tersenyum, tangannya mulai membuka kemeja tidur Bu Widya sepenuhnya, memperlihatkan payudara yang sempurna, bulat dan kencang, dengan puting cokelat yang sudah mengeras. "Ini yang Ibu mau, kan?" tanyanya, sementara mulutnya langsung mengepung salah satu puting, lidahnya menjilat dengan lembut sebelum mengisap dengan kuat.
"Ahh—!" Bu Widya mengerang, tangannya mencengkeram rambut Rian. "Iya... iya, Rian. Aku pengen kamu terusin," katanya dengan suara yang semakin tinggi, sementara pinggulnya mulai bergerak sendiri, mencari gesekan.
Rian tidak berhenti. Tangannya bergerak ke bawah, menyentuh perut Bu Widya yang datar, kemudian lebih bawah lagi, sampai jari-jari merasakan kelembapan di celana dalamnya. "Siap-siap, Bu. Aku bakal bikin Ibu orgasme malam ini," katanya, sementara jari-jari mulai menggosok lembut di atas kain, tepat di atas klitoris Bu Widya yang sudah membengkak.
Bu Widya mengerang, tubuhnya mulai bergetar. "Rian... aku... aku nggak tahan..." erangnya, sementara tangannya mencengkeram seprai, kain sutra kusut di bawah genggamannya.
Rian tersenyum, tangannya sekarang sudah menyusup ke dalam celana dalam Bu Widya, jari-jari menemukan bibir vagina yang sudah basah dan panas. "Lepasin, Bu. Malam ini, aku bakal bikin Ibu merasakan kenikmatan yang belum pernah Ibu rasakan sebelumnya," katanya, sementara jari telunjuknya mulai menggosok klitoris Bu Widya dengan ritme yang tepat, sementara jari tengahnya menyusup ke dalam, merasakan dinding vagina yang sudah mengencang menanti.
Bu Widya tidak bisa menahan lagi. Tubuhnya mengejang, punggungnya melengkung, sementara mulutnya mengerang keras saat orgasme pertama menghantamnya dengan kuat. "Rian... kamu hebat... aku... aku nggak tahan..." teriaknya, sementara tangannya mencengkeram rambut Rian dengan kuat, menariknya lebih dekat.
Rian tidak berhenti. Dia terus menjilat dan mengisap puting Bu Widya, sementara jari-jari terus bekerja, memijat klitoris yang sensitif dan menyusup masuk keluar dari vagina yang sudah mengeluarkan cairan dengan deras. "Ini baru awal, Bu. Malam ini, aku bakal bikin Ibu orgasme berkali-kali," katanya, sementara dia bangkit dari posisinya, tangan mulai membuka celananya, memperlihatkan penisnya yang sudah tegang, besar, dan berdenyut, kepala yang basah oleh pra-semen.
Bu Widya menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, napasnya masih tersengal. "Aku siap, Rian. Masukkin... aku pengen kamu di dalam aku," pintanya dengan suara yang masih parau, sementara tangannya meraih penis Rian, jari-jari melingkari batang yang panas dan keras.
Rian mendesah, tangannya memegang penisnya, mengarahkan ke vagina Bu Widya yang sudah basah dan menganga menanti. "Siap-siap, Bu. Malam ini, aku bakal bikin Ibu merasakan kenikmatan yang sesungguhnya," katanya, sementara dia mulai memasukkan penisnya dengan perlahan, merasakan dinding vagina Bu Widya yang hangat dan mengencang menelan kepala penisnya.
Bu Widya mendesah panjang, tubuhnya merasakan kenikmatan yang luar biasa saat penis Rian mulai mengisi vaginanya, centimeter demi centimeter. "Rian... kamu besar... aku... aku suka," katanya dengan suara yang semakin lemah, sementara kaki-kakinya melingkari pinggul Rian, menariknya lebih dalam.
Rian mulai menggerakkan pinggulnya dengan pelan, memastikan Bu Widya merasakan setiap sentimeter, setiap gesekan. "Santai, Bu. Aku bakal bikin Ibu merasakan kenikmatan yang belum pernah Ibu rasakan sebelumnya," katanya, sementara ritme gerakannya mulai meningkat, setiap dorongan membuat tempat tidur berderak.
Bu Widya mengerang, tubuhnya mulai berkeringat lagi, payudaranya bergoyang setiap kali Rian menembusnya dengan dalam. "Rian... jangan berhenti... aku... aku pengen lebih..." pintanya dengan suara yang semakin tinggi, sementara tangannya meraba payudaranya sendiri, menjepit puting yang sudah sensitif.
Rian mengangguk, tangannya mulai meraba payudara Bu Widya lagi, menjilat dan mengisap putingnya dengan penuh gairah, sementara pinggulnya terus bergerak, penisnya menembus vagina Bu Widya dengan ritme yang semakin cepat dan dalam. "Malam ini, Ibu bakal merasakan kenikmatan yang sesungguhnya," katanya, sementara dia merasakan vagina Bu Widya mulai mengencang, menandakan orgasme kedua yang akan datang.
Dan itu datang dengan kuat. Bu Widya menjerit, tubuhnya mengejang di bawah Rian, vagina mengencang erat di sekitar penis Rian, sementara cairan panas membasahi mereka berdua. "Rian... aku... aku nggak tahan... aku... aku cum di dalem kamu..." teriaknya, sementara kuku-kuku mencakar punggung Rian.
Rian tidak bisa menahan lagi. Dia merasakan spermanya menyemprot dengan kuat di dalam vagina Bu Widya, setiap jet panas membuatnya mendesah. "Malam ini, Ibu milik aku, Bu. Aku bakal bikin Ibu merasakan kenikmatan yang belum pernah Ibu rasakan sebelumnya," bisiknya di telinga Bu Widya, sementara dia memeluknya erat, merasakan detak jantung Bu Widya yang masih kencang.
Bu Widya tersenyum lelah, tubuhnya terasa lemas namun puas. "Kamu hebat, Rian. Malam ini, aku benar-benar merasa hidup," katanya, sementara tangannya meraba dada Rian dengan lembut, merasakan keringat yang masih menempel.
Rian tersenyum, matanya memandang Bu Widya dengan penuh kasih. "Ini baru awal, Bu. Besok malam, aku bakal bikin Ibu merasakan kenikmatan yang lebih lagi," janjinya, sementara dia merebahkan diri di samping Bu Widya, tangan masih memeluk tubuhnya yang hangat.
Bu Widya mengangguk, matanya mulai terpejam. "Aku tunggu, Rian. Tapi sekarang, aku pengen tidur di pelukanmu," katanya dengan suara yang sudah tenang, sementara tubuhnya merelaksasi diri dalam pelukan Rian.
Rian menutup matanya, merasakan kehangatan tubuh Bu Widya yang menempel di dadanya. "Tidur yang nyenyak, Bu. Malam ini, Ibu sudah jadi milik aku," bisiknya, sementara mereka berdua terlelap dalam pelukan.
Share this novel