Hujan turun deras, membasahi jalan-jalan berbatu di Palermo. Melalui kabut, kota itu berdengung dengan kehidupan, tetapi di balik bayang-bayang, ada dunia lain yang bersembunyi—dunia kekuasaan, pengkhianatan, dan darah.
Alessia Romano duduk di belakang sebuah kereta hitam yang mewah, tangannya sedikit gemetar saat dia memandang kota yang berlalu dengan cepat melalui tingkap gelap. Malam ini adalah malam yang akan mengubah segalanya. Dia sudah mengetahuinya saat dia dipanggil—dipanggil ke jantung kekaisaran yang dibangun ayahnya, batu demi batu, kesepakatan demi kesepakatan, mayat demi mayat.
Dia bukan gadis yang naif. Tumbuh sebagai satu-satunya anak perempuan dari keluarga kriminal terkenal, Romano, dia telah melihat kegelapan yang menyelimuti kehidupan mereka. Tetapi dia selalu dijaga dari jarak, dilindungi oleh sangkar emas yang dibangun ayahnya di sekelilingnya. Hingga malam ini.
Kereta itu melambat saat mereka mendekati perkarangan, gerbang besar dari istana Romano tampak di depan mata. Tempat itu adalah benteng, bukan hanya dari segi desain tetapi dari apa yang diwakilinya—sebuah kekaisaran yang telah menguasai jalanan tanpa tandingan selama beberapa dekade. Namun, Alessia lebih tahu daripada siapa pun bahwa kekuasaan selalu rapuh, dan malam ini, retakan-retakan itu mulai terlihat.
Saat kereta berhenti dan pintu terbuka, dia melangkah keluar, bunyi ketukan tumitnya menggema di atas jalanan basah. Pengawalnya, Matteo, berdiri di sisinya, ekspresinya tidak terbaca di balik wajahnya yang dingin. Dia lebih dari sekadar penjaga—dia adalah bayangan, selalu ada, mengawasi, melindungi, dan kadang-kadang, mengingatkannya tentang kehidupan yang tidak bisa dia lepaskan.
“Kamu sudah siap untuk ini?” Suara Matteo yang dalam memecah keheningan, meskipun dia tidak memandangnya.
Alessia menelan ludah, tenggorokannya kering. Siap? Tidak. Tapi dia tidak punya pilihan.
“Aku tak punya pilihan,” dia berbisik, menggema dalam pikirannya.
Bersama-sama, mereka berjalan menuju rumah besar itu, pintu beratnya terbuka seolah-olah rumah itu sendiri sudah menunggunya. Di dalam, udara tebal dengan ketegangan. Pria-pria dengan setelan rapi berjejer di sepanjang lorong, percakapan mereka teredam, mata mereka melirik ke arahnya dengan rasa ingin tahu, dan sesuatu yang lain—ketakutan.
Di pusat semuanya berdiri ayahnya, Luca Romano, seorang pria yang namanya menginspirasi rasa hormat dan teror dalam ukuran yang sama. Matanya menatapnya, dingin dan penuh perhitungan, tetapi ada sesuatu yang lain—seberkas putus asa, tanda bahwa bahkan sang raja pun bisa merasakan jeratan tali yang mengencang.
“Alessia,” sapa ayahnya, suaranya selembut biasanya, tetapi dia bisa mendengar ketegangan di baliknya. “Waktunya sudah tiba.”
Dia mengangguk, jantungnya berdegup kencang di dadanya. Inilah saatnya—momen di mana dia akan sepenuhnya ditarik ke dalam dunia yang selalu dia jaga dari kejauhan. Dunia kejahatan, rahasia, dan warisan yang ternoda oleh darah.
Tetapi apa yang tidak mereka ketahui adalah bahwa malam ini, segalanya akan berubah. Karena di balik bayang-bayang, seseorang sedang menunggu. Seseorang yang telah memperhatikannya, menunggu saat yang tepat.
Dan segera, Alessia akan mendapati dirinya terjebak dalam permainan berbahaya—sebuah permainan yang akan membuatnya mempertanyakan segalanya yang selama ini dia yakini tentang kesetiaan, keluarga, dan cinta.
Sebuah permainan yang bisa mengorbankan segalanya.
Share this novel