Rate

Prolog

Romance Series 1569

Jika ada yang bilang kalau dunia ini sempit, gue mungkin orang pertama yang menolak mentah-mentah pernyataan itu. Karena sudah lebih dari tiga bulan, gue nggak pernah ketemu lagi sama cowok yang udah bawa buku catatan berharga gue. Dan yang jadi masalah... gue nggak kenal sama itu cowok!

Kalau aja gue sempat kenalan atau cipika-cipiki, kan, detik ini gue nggak perlu gelisah galau merana memikirkan nasib buku berharga gue itu. Ini semua gara-gara Feyza yang telepon gue tiba-tiba. Sampai gue nggak sadar, itu cowok udah pergi dan membawa totebag gue yang ukuran dan motifnya nggak sengaja sama kayak punya dia!

Sejak kasus hilangnya-buku-keramat gue itu, dunia gempar, bumi bergejolak, seluruh stasiun televisi menayangkan tentang hilangnya buku tersebut. Tapi sayangnya, gue bohong. Hehe.

Di hari hilangnya buku itu, gue langsung pulang ke rumah dan nangis-nangis di depan bunda. Sementara bunda cuma bisa bilang: "Sabar ya, nanti kita beli lagi, ya?"

Wahai bundaku tersayang... oke, Karin paham buku itu harganya nggak seberapa. Tapi isinya itu lohhhhh. Astaga, bunda. Karin rasanya mau nangis aja, deh.

Nggak tau dari kapan, tiba-tiba Feyza sudah duduk di sebelah gue aja. Emang suka ngagetin. "Masih mikirin 'Buku Keramat' lo itu?" tanya Feyza sambil membuat tanda kutip di udara menggunakan kedua tangannya.

"Sumpah, itu cowok nyebelin banget!" jawab gue dengan kesal. Sedikit melenceng dari pertanyaan Feyza, sih. Tapi topiknya masih sama, kok.

Feyza terlihat sedikit menyernyit lalu menempelkan punggung tangannya di dahi gue. Dikira gue sakit kali, ya?

"Kar! Gimana caranya lo bisa nilai itu cowok nyebelin sementara lo baru ketemu sekali... ditambah lagi, itu tiga bulan yang lalu." Feyza terlihat ingin menertawakan gue sesaat lagi. Tapi cepat-cepat gue berdecak, biar dia nggak jadi ketawa. Biar sekali ini aja gue benci sama suara tawanya Feyza yang bisa menggelegar ke seantero kamar gue ini.

"Feyza Andria sahabatku tersayang... kalau dia nggak nyebelin, pasti dia udah bawa balik buku gue." Jawab gue semakin mengada-ada. Bagaimana bisa menilai seseorang dengan cara seperti itu? Tapi, biarlah. "Selama limabelas tahun gue hidup, dia adalah cowok pertama yang bikin gue nangis, Feyzaaaaaa!"

Feyza menutup kedua telinganya menggunakan bantal kecil milik gue. Seseram itukah suara gue sampai Feyza tutup telinga begitu? Gue rasa nggak segitunya. Feyza aja yang lebay, alay, norak.

Setelah membuka kedua telinganya, Feyza berdeham agar suaranya kembali. "Jadi maksudnya... lo nangisin cowok itu!?" pekik Feyza dengan histeris. Mengapa tak kau pecahkan saja gelasnya? Karena kau tahu, suara pecahnya gelas bahkan lebih merdu dibanding dengan suaramu yang memekakkan telinga!

"Gue nangisin buku berharga gue! Bukan nangisin cowok sialan itu!" sanggah gue dengan cepat. Kalau tidak, Feyza bisa berpikir yang macam-macam. "Tapi, Fey..., gue curiga kalau isi di buku itu udah digunain sama cowok itu buat hal yang nggak 'iya-iya', deh."

"Wohoho! Tolong berpikir jernih, Karina. Gue masih heran sama lo. Emang isi itu buku apaan, sih? Nama-nama mantan lo? Atau barisan nama calon gebetan lo? Bisa jadi... nama orang yang akan lo jadiin tumbal? Gila!"

Gue mendengus kesal. Enak aja, Feyza mikir kayak gitu. "Pertama! Gue nggak perlu nulis nama mantan gue karena gue inget nama-nama semua mantan gue. Kedua! Gue nggak tertarik buat nulis nama calon gebetan. Kalau gue suka, tinggal pepet aja kali! Hmm... untuk yang ketiga kayaknya bisa juga. Soalnya, di buku itu tertulis nama Haikal Iskandar, Devano Saputra, dan yang terakhir...," gue sengaja menggantung kalimat gue supaya Feyza penasaran.

Dan benar saja, gadis itu malah memaksa gue biar cepat-cepat menuntaskan kalimat sialan itu. "Yang teakhir siapa, Kar? Jangan bilang Melvano Fahrizal!"

"No... no... no.... Vano itu mantan terindah gue!" elak gue dengan kesal. Dasar kurang asem. Yakali gue jadiin mantan teridah gue sebagai tumbal, sih?!

"Lagian tadi lo nyebutin nama mantan lo, sih." Feyza juga nggak mau kalah. "Jadi... yang terakhir siapa?"

Masih penasaran juga ternyakta. "Yang terakhir adalah... Steffani Feyza Andria." Sengaja gue tekankan biar suasana semakin menegangkan.

"Durhaka lo! Masa sahabat sendiri mau dijadiin tumbal!"

?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience