Rate

BUKU TAMPA AKSARA

Short Story Completed 490

Wanita itu kembali dari toko buku menenteng setumpuk buku. Ia membacanya dengan kecepatan tinggi, satu per satu, selama tiga minggu. Namun begitu ia membuka buku terakhir dari tumpukan buku yang dibelinya, wanita itu mengerutkan dahi.

Semua halaman dalam buku itu kosong.

Setiap halaman. Bersih.

 *

Wanita itu kemudian membawa buku kosong tersebut kembali ke toko buku, tapi manajer toko menolak ketika wanita itu berusaha mengembalikannya.
Wanita itu mengamuk. Dia menjelaskan bahwa apabila dia tahu buku itu kosong, dia takkan membelinya. Namun si manajer tetap kukuh pada pendapatnya.

Wanita itu segera beranjak pergi dari toko buku sambil mendesah kesal.

Dilemparnya buku tersebut ke dalam tong sampah.

 *

Beberapa hari kemudian, wanita itu melihat seorang pria tengah membaca buku yang sama di dalam gerbong kereta bawah tanah. Wanita itu kontan mencak-mencak; berteriak kesal hingga didengar semua penumpang kereta—

Buku itu kosong, bagaimana kau bisa membacanya! seru wanita itu.

Tapi pria yang sedang membaca buku itu justru membela bacaannya.

Kan bisa pura-pura, ujar pria itu. Tidak ada hukum yang melarang orang untuk berpura-pura.

Kurasa kalau diletakkan di bawah lampu khusus, ada kata-kata yang akan tampak di halaman buku itu, ujar seorang wanita yang duduk tidak jauh dari mereka.

Wanita tadi juga memegang satu eksemplar buku yang sama.

Bodoh! teriak wanita itu. Bagaimana kalian bisa sebodoh itu? Kalian sudah gila semua!

 *

Di stasiun perhentian kereta, seorang polisi dipanggil untuk melerai persiteruan tentang buku tanpa tulisan itu.

Seorang kru televisi juga tiba di lokasi kejadian.

Wanita itu diwawancara. Sosoknya muncul di semua segmen berita kota.

Wanita itu mengeluh keras-keras soal buku tanpa aksara.

 *

Keesokan harinya, buku kosong itu muncul di daftar buku terlaris baik dalam kategori fiksi maupun non-fiksi. Kemarahan wanita itu pun semakin memuncak, tak percaya apa yang sedang terjadi. Dia menghubungi stasiun radio dan mengemukakan kemarahannya. Dia menelepon lagi di hari berikutnya, dan sehari setelah itu, dan sehari lagi setelahnya. Lalu dia dipanggil datang sebagai narasumber pada sebuah acara TV untuk berdebat langsung dengan pengarang buku kosong tersebut.

Buku Anda itu sampah! ujar wanita itu.

Si pengarang tak membantah, hanya duduk dan tersenyum.

 *

Wanita itu kemudian menjadi terkenal karena melawan popularitas buku kosong tersebut. Dia bahkan menulis dan menerbitkan buku yang isinya mencerca buku kosong tadi.

Gara-gara ulasannya, buku kosong itu jadi semakin tenar.

Wanita itu panik. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia merasa seperti orang gila.

Suatu hari, seorang pria meludahinya di tepi jalan.

Wanita itu hanya berdiri tanpa perlawanan—terkejut, mati rasa. Dia tidak sadar betapa besar kebencian orang-orang terhadapnya. Maka dia membalikkan tubuh dan berlari pulang sambil menangis tersedu-sedu. Setibanya di rumah, wanita itu mengunci pintu dan jatuh menangis di lantai.

Wanita itu merangkak ke dalam kamar tidurnya dan bersembunyi di bawah balutan selimut.

Wanita itu meringkuk di tengah malam gelap sambil menutupi wajah dengan kedua tangan, menangis.

*

Keesokan paginya, wanita itu mencabut kabel telepon di rumahnya. Dia tidak mau lagi menanggapi panggilan wawancara dari manapun. Dia duduk di tepi ranjangnya sesaat, lalu perlahan-lahan bangkit berdiri.

Wanita itu memutuskan untuk melanjutkan hidupnya.

Ia mengarahkan perhatiannya ke hal-hal lain.

Ia mengembangkan sejumlah hobi pribadi. Ia pergi menyelam di laut lepas.

Ia bahkan bertemu dengan teman-teman baru.

 *

Tanpa kontroversi yang disulut oleh amarah wanita itu, buku kosong tersebut perlahan-lahan mulai turun dari daftar buku terlaris. Selama berminggu-minggu, buku itu terus merosot reputasinya hingga menghilang sama sekali dari pasaran.

Buku yang ditulis wanita itu juga mengalami nasib serupa.

Tapi wanita itu sudah tidak peduli.

 *

Tahun demi tahun berlalu. Wanita itu bertemu dengan seorang pria. Ia jatuh cinta dan menikah. Ia punya anak dan membesarkan mereka dan melepaskan mereka dan menyaksikan mereka memulai keluarga mereka sendiri.

Wanita itu juga melalui masa-masa sulit bersama suaminya, namun mereka tak pernah berpisah.

Lalu, suatu hari, di usia senja, suami wanita itu meninggal.

 *

Selama berbulan-bulan wanita itu tidak bisa tidur. Dia berjalan keluar-masuk ruangan demi ruangan dalam rumahnya sendiri, layaknya orang tersesat. Dia menyalakan dan mematikan lampu seenaknya. Dia duduk, bangkit berdiri, lalu duduk lagi.

Suatu malam, wanita itu naik ke loteng untuk membereskan barang-barang peninggalan suaminya. Di sana, wanita itu menemukan sebuah buku yang sudah lama ia lupakan. Buku tanpa aksara.

Sudah bertahun-tahun ia tak melihat buku itu.

Kini dia takut untuk membuka buku itu.

 *

Wanita itu membawa buku tersebut ke bawah dan menyimpannya di rak buku. Selama berminggu-minggu, buku itu tak disentuhnya, dibiarkan berdiri begitu saja di antara buku-buku lain. Hingga suatu hari ketika cucu-cucunya tengah berkunjung ke rumah dan menginspeksi rak bukunya.

Ini apa? tanya salah seorang cucu wanita itu seraya mengangkat buku tersebut dari antara himpitan buku-buku lain di atas rak. Ketika buku tersebut diangkat, tak sengaja ada sesuatu yang terjatuh dari antara halaman-halamannya.

Wanita itu membungkuk untuk mengambil benda tersebut.

Sebuah foto lama.

*

Foto itu adalah milik dia dan suaminya, di hari pertama mereka bersua. Mereka berdiri berdampingan di tepi pantai; dan di kejauhan matahari tampak memancarkan cahaya senja yang kemerahan.

Oh, ujar wanita itu, lihat.

Dan sebuah senyuman lebar terkembang di wajahnya.

Entah bagaimana, tiba-tiba buku itu terbuka dengan sendirinya tepat di hadapan wanita itu, dan di atas halaman-halaman yang tadinya kosong kini telah tertulis cerita hidupnya. FL

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience