8.Sang Pandeka

Action Series 522

Pimpinan penyamun itu sendiri hampir tak mempercayai matanya. Dia perhatikan lelaki yang duduk di batu itu. Lelaki itu memcibir dan tersenyum.

"Hei beruk, waang yang bicara sebentar ini?" Pimpinan penyamun itu membentak dengan nyaring.

Kembali terdengar suara tawa perlahan, Lelaki itu menoleh kepadanya pemimpin penyamun.

Dan semua orang melihat, yang duduk itu adalah seorang anak muda. Masih cukup muda. Barangkali baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Berbaju putih bercelana putih. Ikat kepalanya juga putih. Hanya sebentar anak muda itu menoleh, kemudian dia menunduk lagi menggerakkan jarinya .

Kembali terdengar suaranya perlahan setelah dikatakan beruk atau monyet besar.

"Beruk memang tinggal di hutan. Saya dengar, di bukit ini memang banyak beruk tinggal. Hanya yang saya tak tahu selama ini adalah beruk yang berjenggot, berkumis dan pandai bicara." kata katanya begitu tenang.

Bukan main marahnya pimpinan penyamun itu.Tentu saja dia tahu, siapa yang dikatakan anak muda itu. Dia yang baru dikatakan anak muda itu beruk berkumis.

Mulut lelaki besar ini bergerak seperti akan memaki, menyumpah. Namun tak satupun ucapan-nya yang keluar. Hanya bibirnya saja yang komat kamit tak menentu saking marahnya.

Terdengar lagi suara anak muda yang berpakaian serba putih itu.
"Hehh, lihatlah lucunya monyet itu. Mulut nya bergerak seperti manusia. Tapi dia tak bisa bicara... heh...he." anak muda itu mentertawakannya.

Mata lelaki besar itu jadi mendelik.
"Cincang dia!" desisnya pada lelaki yang tadi siap menghantam Datuk Sipasan dengan tombak.

Lelaki itu mengerti, dia segera membidik anak muda di atas batu itu dengan tombaknya. Jarak antara mereka sekitar sepuluh tombak. Dalam jarak begitu, bagi pelempar tombak yang lihai sasaran menjadi empuk sekali. Apalagi anak muda tersebut duduk di sebuah batu yang ketinggian dengan tanpa waspada.

Anak muda itu bukannya tak tahu bahwa dia bakal jadi sasaran tombak. Namun dengan bibir yang masih tetap tersenyum dia menunduk.

Duduknya tetap menyamping pada semua orang yang baru saja berhenti bertempur. Lambat-lambat tangannya meraba pinggang. Dan saat itu tombak di tangan penyamun di bawah sana lepas dan melesat dalam kecepatan kilat ke arahnya.

Anak muda itu tak menoleh sedikitpun. Tak peduli.

Di tangannya yang tadi bergerak kepinggang kini terpegang sebuah Bansi. Yaitu semacam suling , dari bambu. Ketika tombak itu mendesis ke tempatnya, dia melekatkan bansi tersebut ke bibir. Letika lengkingan bansi itu bergema, saat itu pula tombak tadi berkelebat tak sampai sejari di sampingnya. Melesetlah sudah seperti mengelak tak sengaja.

Penyamun yang melemparkan tombak itu terheran-heran. Lemparannya tak pernah luput. Tapi kali ini kenapa anak muda itu tak kena? Suara bansi atau suling yang ditiup anak muda itu terdengar bergema perlahan.

Dia seperti tak acuh akan nyawanya.
Penyamun tadi merampas tombak sebuah lagi dari temannya. Kemudian kembali melemparkannya dengan bidikan yang cermat. Temannya tahu,dia pelempar ulung.

Namun semua penyamun yang belasan orang jumlahnya itu kembali ternganga. Tombak itu lewat dalam kecepatan kilat dua jari dari tengkuk anak muda itu. Dia sendiri tak bergerak sedikitpun. Kepalanya masih tunduk dan suara bansinya mendayu lembut dan pelan.

"Sikat dia!" Suara pimpinan penyamun itu mengguntur. Enam orang pemegang tombak segera berlarian ke depan. Dan dalam jarak lima depa dari anak muda itu mereka tegak berbaris.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience