Rate

BAB 1

Mystery & Detective Completed 219

Sudah dua malam terakhir ini Marlina tidak dapat tidur tenang di bilik asrama kampus barunya itu. Bukan kerana teman sebiliknya yang sering mengigau atau suasana baru kampus. Tapi kerana sebuah bunyi yang selalu mengganggunya ketika malam tiba.

Sebuah bunyi piano terdengar selalu mengalun setiap malam, memainkan musik-musik klasik, kadang juga musik yang begitu emosional dan terdengar menyedihkan. Marlina sudah dua kali mendengarnya. Dan kejadiannya selalu setiap malam, ketika ia tidak boleh tidur saat jarum jam sudah melewati tengah malam. Siapa yang mau main piano di tengah malam buta seperti itu?

Marlina telah menceritakan perihal ini pada teman sebiliknya, Dee, disaat mereka makan siang di kantin. Tapi Dee sepertinya tidak begitu menggurbis ceritanya itu. Dee malah mengatakan bahwa mungkin Marlina hanya sedang bermimpi.

“Tidak. Aku mendengarnya.” Ucap Marlina kukuh pada ceritanya. Ia tatap dalam-dalam kedua mata Dee.

“Satu-satunya piano yang ada di kampus ini terletak di ruang seni.” Ucap Dee.
“Mustahil kau boleh mendengarnya dari bilik asrama, Marlina . Lagi pula, siapa yang gila main piano malam-malam?”

Ya. Jika difikir-fikir, lokasi asrama dengan ruang seni jaraknya hampir seratus meter. Tidak mungkin, meskipun memang ada yang main piano malam-malam, akan terdengar sampai bilik asrama. Mendengar kenyataan ini, Marlina menjadi semakin ingin tahu akan bunyi yang didengarnya itu.

Ketika malam tiba, Marlina mencoba untuk tidak memikirkan lagi bunyi piano itu. Jarum jam bergerak pada angka dua belas ketika ia mulai masuk ke tempat tidurnya. Untuk sesaat, keadaan hening.
Namun beberapa menit kemudian, dentingan bunyi piano klasik itu kembali terdengar. Lagu-lagu yang dimainkan pun selalu sama setiap harinya. Siapa yang memainkan piano itu? Dan darimana asalnya?

Marlina melompat keluar dari tempat tidurnya dan bergerak ke arah jendela.
Ia coba perhatikan, dan coba ia terka darimana asal bunyi piano itu. Tapi…, tidak. Ia tidak dapat menebakanya. Bunyi piano itu seolah berasal dari banyak tempat. Memantul pada dinding, dan tidak mungkin bagi Marlina untuk dapat memastikan darimana asal bunyi itu.

Ruang kesenian yang dimaksud oleh Dee siang tadi terlihat dari bilik yang Marlina tempati. Gedung beratap rendah yang terletak di seberang halaman kampus itu masih dalam keadaan gelap, dan tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalamnya. Tapi…, bunyi piano itu masih terus mengalun.

Marlina kembali ke tempat tidurnya dan berlindung di bawah selimut hangatnya. Entah kenapa, tubuhnya terasa begitu dingin setelah mendengar bunyi piano menyedihkan itu. Satu hal dari bunyi piano itu yang menganggu fikiran Marlina , adalah kerana adanya satu not di nada-nada piano itu yang terdengar sedikit sumbang. Marlina memang memiliki bakat dalam musik. Dan ia tahu bahwa permainan piano yang indah itu sedikit terkotori oleh adanya nada sumbang.

“Kau semakin gila, Marlina .” Ucap Dee keesokan harinya sambil tertawa mengejek. “Ya. Kau emmang pintar dalam musik, dan kau menyadari ada not yang salah dalam bunyi piano yang kau dengar itu. Oh! Mungkin memang bunyi piano itu berasal dari dalam kepalamu sendiri.”

“Tidak lucu, Dee!” balas Marlina sambil bersungut-sungut. Kenapa teman terbaiknya itu kini tidak mau mendengarkannya?

“Aku masih terus penasaran.” Ucap Marlina bersikukuh dengan ceritanya itu. “Aku akan mencari kebenarannya.”

“Kau mau jadi detektif, Nona?” balas Dee sambil tersenyum. Ia kemudian mendecakkan lidah dan berkata,

“Oke.” Ucapnya. “Aku akan memeprcayaimu kali ini. Bagaimana jika kita kunjungi ruang seni itu?”

Kedua gadis belia itu mampir ke dalam ruang seni sebelum memulai pelajaran mereka. Ruang seni itu sebenarnya sedang dalam renovasi. Sebagian besar alat musik sudah dipindahkan ke tempat lain, kecuali sebuah piano besar yang ada di tengah ruangan. Marlina yang merasa penasaran langsung menghampiri piano itu. Ia mainkan tuts-nya satu persatu dari arah kiri, hingga akhirnya…

“Ini!” teriak Marlina dengan wajah tegang dan penuh keterkejutan. “Kau dengar ini?”

Marlina menekan satu tuts hingga berkali-kali, mencoba menunjukkan pada Dee sebuah bunyi yang ia dengar setiap malam.

“Kenapa dengan…”

“Nada ini.” Ucap Marlina . “Nada ini terdengar sumbang.”

“Lalu?”

“Itu berarti…” ucap Marlina . “Bunyi piano yang setiap malam kudengar memang berasal dari tempat ini, Dee. Kau tidak…”

“Tidak mungkin!” bantah Dee. “Kau tidak lihat jaraknya? Tempat ini terletak cukup jauh dari asrama kita. Bagaimana mungkin…”

“Lalu kau boleh menjelaskan bunyi piano yang kudengar setiap malam itu?”

Dee bungkam. Memang terdengar aneh, namun ia tidak dapat menjelaskan kenapa Marlina dapat mendengar bunyi piano yang jaraknya cukup jauh dari bilik.

Perbincangan kedua gadis remaja itu harus terhenti saat seorang pria tua dalam balutan overall berwarna hijau memasuki ruangan. Marlina dan Dee tahu bahwa pria itu adalah salah satu penjaga sekolah.

“Nona-nona, tempat ini berbahaya. Kalian tidak seharusnya ada disini.”

“Kami tahu.” Balas Dee. “Maaf! Kami akan segera pergi dari tempat ini.”

Dee menarik lengan Marlina dengan paksa, meskipun sebenarnya Marlina masih ingin menyelidiki piano tua itu. Mereka kemudian bergerak cepat menuju kelas mereka ketika bel terdengar.

“Kau masih memikirkannya?” tanya Dee lirih di tengah-tengah pelajaran yang sedang berlangsung.

“Ya.” Jawab Marlina . “Bunyi itu memberikanku mimpi buruk.”

“Aku punya rencana.” Ucap Dee.
“Bagaimana jika malam nanti, saat kau mendengar bunyi nya lagi, kau bangunkan aku dan kita akan menyelidikinya bersama, oke?”

Marlina tidak punya ide yang lebih bagus. Rencana Dee itu, akhirnya ia setujui dengan satu anggukan kepala.

Malam yang ditunggu pun tiba. Setelah Marlina dan Daee menyelesaikan pekerjaan dan tugas-tugas mereka, mereka memutuskan untuk pergi tidur. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Apakah bunyi misterius dari piano itu akan terdengar kembali?
Marlina bergelung di bawah selimutnya dengan perasaan was-was. Ia belum boleh tidur, kerana ia masih menantikan kedatangan bunyi misterius itu. Meskipun ia mencoba untuk memejamkan mata, tetapi tubuhnya menolak untuk tidur. Jam telah lewat tengah malam, tapi bunyi piano itu sama sekali tak terdengar.

Marlina mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. Ia bersandar pada dinding bilik sambil memejamkan kedua matanya. Ia ingin mendengarnya. Bunyi piano itu, ya. Dan kemudian…

Marlina serentak membuka kedua matanya saat dengan perlahan ia mendengar bunyi mengalun pelan itu. Ya. Bunyi piano, yang kali ini memainkan sebuah karya dari Bach, berjudul Air. Permainannya terdengar sempurna, meski masih ada satu nada sumbang itu.

“Dee!” panggil Marlina sambil berbisik. Tiba-tiba saja temannya itu bangkit ke posisi duduk, lalu mengangguk-angguk.

“Ya. Aku mendengarnya.” Ucap Marlina .
“Ternyata kau tidak bohong.”

“Untuk apa aku berbohong?”

“Bagaimana sekarang?” tanya Dee. “Asal bunyi itu…, tidak jelas. Kita tidak tahu kemana harus mencari.”

Marlina bangkit dari tempat tidurnya, menyalakan lampu seraya meraih jaketnya yang tergantung di balik pintu. Ia berencana untuk keluar malam itu bersama dengan Dee. Meskipun sedikit takut, tapi Marlina ingin mengetahui kebenaran dari bunyi piano misterius itu. Akan tetapi…

Marlina dan Dee berdiri terdiam di luar bilik mereka, di tengah lorong yang gelap. Keduanya tidak membuat bunyi , dan keheningan melingkupi keduanya.
Mereka baru sadar bahwa bunyi piano itu telah berhenti.

“Yang benar saja!” ucap Dee. “Sebaiknya kita kembali tidur.”

Marlina dan Dee memutuskan bahwa bunyi itu telah menghilang untuk malam itu. Tapi ternyata, dugaan mereka salah. Tepat pukul satu, Marlina kembali terbangun saat mendengar bunyi piano itu lagi. Bach, Air. Musik yang sama dengan nada sumbang. Marlina dan Dee mengintip dari jendela mereka ke arah ruang seni yang ada di seberang halaman. Tempat itu masih dalam keadaan gelap.

“Sepertinya bunyi itu berasal dari asrama ini.” Ucap Dee. “Anehnya, tidak ada satupun piano di tempat ini.”

Keduanya kembali keluar dari bilik mereka untuk menyelidiki. Namun lagi-lagi, ketika mereka sampai di koridor, bunyi itu menghilang. Hal yang aneh ini membuat Dee dan Marlina mengerutkan dahi mereka.

“Apa yang terjadi?”

Marlina dan Dee belum boleh tidur, bahkan hingga pukul dua dini hari. Keduanya duduk dalam keheningan, berfikir, dan tidak tahu bagaimana cara menjelaskan bunyi aneh itu. Bunyi piano telah menghilang sepenuhnya untuk malam itu.
Hingga pagi menjelang, Marlina dan Dee tidak mendapat gangguan sedikitpun.

“Ini aneh.” Ucap Dee. “Seolah siapapun yang memainkan piano itu tahu bahwa kita akan pergi menyelidiki. Aneh, ‘kan? Bagaimana mungkin?”

“Sudah kukatakan bahwa ada yang tidak beres dengan bunyi piano itu, Dee.” Ucap Marlina . “Malam ini, aku punya satu rencana kecil.”

Seperti yang mereka lakukan di malam sebelumnya, mereka pergi tidur setelah menyelesaikan tugas-tugas kuliah mereka. Lampu bilik mereka padamkan, tetapi mereka tidak tidur, melainkan menunggu dalam keheningan. Ketika jam melewati pukul dua belas malam, keadaan asrama itu sudah benar-benar sepi.
Bilik-bilik lainnya pun sudah memadamkan lampu mereka dan tidur.
Sepertinya hanya Marlina dan Dee yang masih terjaga hingga jarum jam kini menunjukkan pukul setengah satu.
Anehnya, mereka tidak mendengar bunyi piano itu lagi.

Marlina bangkit ke posisi duduk lalu membangunkan Dee, yang ternyata juga belum tidur. Keduanya saling menggelengkan kepala tanda tidak mengerti.

“Kenapa tidak ada bunyi itu lagi?” bisik Dee keheranan. Marlina pun merasakan hal yang sama, dan juga tidak dapat menjelaskannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience