Laki-laki itu memperlakukanku seperti putrinya sendiri. Ia merawatku sejak usiaku sebelas tahun, sejak ia menemukanku nyaris diperkosa dua lelaki mabuk di dekat sebuah club malam.
Aku, tidak tau siapa ayahku. Karena ibuku melahjrkanku tanpa seorang suami di sisinya. Ya, aku biasa disebut teman-teman sepermainanku anak haram.
Masa kecilku sangat dekat dengan dunia malam. Tentu saja. Ibuku salah sam wanita penghibur di sana. Dan malam itu adalah malam dimana aku kehilangan ibuku. Kematiannya yang mendadak membuatku limbung, tidak tau harus bergantung hidup pada siapa. Hingga dua laki-laki menjijikkan itu menemukanku terisak di depan lorong club, tempat biasa aku menunggu ibuku pulang.
Kedua laki-laki itu menggerayangi tubuhku tanpa aku bisa berontak dan hanya bisa menjerit ketakutan dan menangis.
Lalu, laki-laki tinggi besar itu datang, menyelamatkanku dari tangan-tangan kotor pemabuk itu.
Delapan tahun berlalu. Aku memanggilnya Daddy Damian. Dan aku mencintainya. Mencintai sejak usiaku sebelas tahun. Sejak lengan kuatnya memelukku. Sejak tangan besarnya mengusap air mataku. Sejak ia membiarkan bahunya hasah oleh air mata dan ingusku.
Aku mencintai seorang pria yang berusia delapan belas tahun di atasku. Aku mencintai Daddy Damian. Perasaan yang berkembang dengan subur setiap harinya.
*****
"Aku menagih janjimu, Dad!" kupandang tubuh tegap berbalut kemeja putih halus yang berdiri dua meter dariku.
"Boleh. Kau mau hadiah apa? Melanjutkan S2 Atau berlibur ke Paris? Terserah kau saja," senyum Daddy melebar. Ia sibuk memasang dasinya.
Aku mendekat, mengambil alih tugas kedua tangannya sambil berjinjit.
"Merunduk Dad! Kau tinggi sekali," perintahku menarik dasi yang menggantung di lehernya.
Daddy terkekeh, merundukkan tubuhnya, meraih pinggangku dan menaikkanku ke kursi rias. Kini tubuhku lebih tinggi darinya.
"Daddy curang! Kalau begini, aku yang harus merunduk! Punggungku bisa patah!" protesku merajuk.
Lagi-lagi Daddy hanya tertawa. Aku memakaikan dasinya dan mengecup bibirnya. Sebuah kebiasaan sejak usiaku sebelas tahun. Tidak! Bukan Daddy yang membiasakannya. Tapi aku!
"Selesai!" aku melompat turun dari kursi.
"Jadi, kau mau hadiah apa?" tanya Daddy kembali ke topik awal. Ia memang menjanjikanku hadiah apapun yang kuminta jikaaku bisa lulus S1 dengan cepat. Tidak sia-sia aku belajar keras demi menagih janjinya.
"Aku ingin liburan berdua saja dengan Daddy," sahutku ragu.
Daddy sangat sibuk. Tapi meskipun begitu, ia tidak pernah mengabaikanku. Ia sangat perhatian padaku.
Daddy menghentikan gerakannya memakai jas dark grey-nya, lalu memutar tubuhnya menghadapku.
"Liburan berdua? Dengan Daddy? Sweetheart, kau tau Daddy sibuk akhirakhir ini. Ada proyek besar yang harus Daddy tangani. Kenapa tidak ambil S2mu saja?" tanyanya menawar.
"Itu juga, Dad! Tapi yang utama, aku mau berlibur bersama Daddy! " ujarku keras kepala.
Daddy tampak berpikir sebelum mengangguk kecil.
"Baiklah. Tapi tidak dalam waktu dekat ini. Daddy akan usahakan untuk menyelesaikan proyek ini dengan cepat," katanya melirik rolex-nya.
"Yaaah... baiklah," anggukku lesu, menghempaskan pantatku ke pinggiran ranjang Daddy.
Daddy membungkuk, mengusap kepalaku. Wajahnya sejajar dengan wajahku.
"Princess Daddy kok cemberut? Daddy
janji memenuhi keinginanmu secepat Daddy bisa, Sweetheart," bujuknya lembut.
Aku mencebik. Sudah lama aku memimpikan pergi berdua saja bersamanya. Tapi kesibukan Daddy selalu membuatku gagal mewujudkan impianku.
"Bagaimana kalau sementara menunggu proyek Daddy selesai, kau mengajak Sam dan Jenny ke Villa?" tawarnya melihatku masih diam.
Aku mendongak membulatkan mataku menatap mata abu-abu gelapnya.
"Boleh?"
"Boleh. Tapi Uncle Andrew yang akan mengantar kalian bertiga," Daddy mengangguk tersenyum melihatku kembali bersemangat.
"Apakah Uncle Andrew akan ikut tinggal?"
"Tidak! Kali ini kalian boleh menginap tanpa Uncle Andrew. Bersenangsenanglah," senyum Daddy melihatku tertawa senang.
"Yeeeay.... You're the best, Dad!" aku melompat menubruknya.
Daddy refleks menangkapku. Seperti anak kecil aku digendongnya. Kulingkarkan lenganku di lehernya, kukecup bibirnya bertubi-tubi sampai Daddy kewalahan menghadapi seranganku.
Harum musk tubuh Daddy selalu membuatku ingin tetap memeluknya. Harum yang membuatnya nampak makin seksi dimataku.
*****
"Ayahmu sangat mempesona, Rin," Samantha memainkan bibirnya.
Daddy mengantar kepergian kami ke Villa di depan rumah. Uncle Andrew menjemput Sam dan Jenny terlebih dahulu sebelum akhirnya menjemputku untuk membawa kami liburan di Villa selama seminggu ke depan.
Ya, Daddy menjanjikanku liburan hanya berdua dengannya minggu depan, setelah ia selesai mengurus bisnisnya.
"Benar. Aku juga menyukainya," sahut Jenny tersenyum. Tatapannya menerawang.
Heh! Enak saj a! Mana bisa? Daddy hanya milikku!
"Kenapa kau diam saja? Biasanya kau selalu antusias jika membicarakan Daddy-mu," tegur Samantha melihatku bungkam.
"Ya Airin, aku serius. Aku bisa menjadi istri ayahmu yang sangat hot itu kan?" sambung Jenny mengedipkan mata dengan genitnya.
"Ayah Airin pasti tidak suka dengan waj ah kekanakan sepertimu, Jen. Ia pasti suka wajah dewasa sepertiku," ujar Samantha mencibir, mengibaskan rambut pirangnya.
"Ah, belum tentu. Siapa tau selera Ayah Airin itu wajah-wajah imut sepertiku," timpal Jenny tidak mau kalah.
"Huh, aku yakin Ayah Airin akan lebih menyukaiku daripadamu," seru Samantha dengan sangat percaya diri.
Keduanya masih saling mencela memperebutkan Daddy. Aku kesal. Daddy milikku! Milikku! Kenapa mereka berdua jadi berebutan begitu? Kuharap Daddy tidak menyukai mereka atau salah satu dari mereka. Aku akan benar-benar marah dan memusuhi mereka dan Daddy jika apa yang mereka ributkan terjadi.
"Mana bisa Jen? Cowok sekeren dan seusia Ayah Airin pasti lebih suka cewek yang dewasa dan anggun. Bukan waj ah anak kecil sepertimu!"
"Jangan salah! Jaman sekarang banyak Om Om yang lebih suka gadis-gadis berwajah imut dan kekanakan!"
"Bagaimana kalau kita bertaruh?" tantang Samantha percaya diri.
"Siapa takut? Eh, Rin, kau memih‘h siapa diantara kami untuk menjadi ibumu?" tanya Jenny tiba-tiba menoleh hertanya padaku.
"Tidak ada!" sahutku ketus.
"Hei! Apa maksudmu tidak ada? Kita bisa terus bersama," Jenny mendekat dan memandangku.
"Benar! Dan sebaiknya kau memilihku saja," ujar Samantha duduk di sebelahku.
"Dengar! Aku tidak akan memilih salah satu diantara kalian! Kalian berdua menyebalkan! Tau begini aku tidak akan mengajak kalian menginap bersamaku!"
Sam dan Jen saling pandang, lalu melihatku dengan tatapan menyelidik.
"Hmm... jangan bilang kau menginginkan Daddy-mu untukmu sendiri," desis Sam mendekatkan wajahnya.
"Jangan katakan kau menyukai Daddymu," mata Jen menyipit ikut mendekat.
"Ish! Kalian ini kenapa?" seruku salah tingkah.
"Jujur saja, Airin. Lagi pula, tidak apaapa kan? Dia bukan ayah kandungmu ini. Iadi, bagaimana? Kita bersaing?" tanya Jen menyeringai.
"Mana bisa? Airin tidak bisa diikutkan! Dia kan tinggal serumah dengan Daddy-nya. Menang banyak dia!" protes Sam mencibirkan bibirnya.
"Hei dengar! Daddy milikku dan aku tidak ingin punya ibu tiri!" seruku cemberut.
"Bilang saja kau mau menguasai dan memiliki Om Damian sendiri!" Jenny balas berseru.
Aku hanya meleletkan lidah, masuk ke kamar, meninggalkan keduanya yang meributkan Daddy.
*******
Aku memasang telinga baik-baik. Kenapa Sam dan Jenny tidak terdengar suaranya? Padahal keduanya sangat berisik.
Kemana mereka berdua?
Ini hari keenam aku berada di Villa. Besok Uncle Andrew akan menjemput kami bertiga. Liburan bersama Sam dan Jen kali ini sangat menyebalkan. Hmm.... aku sangat
Daddyku.
Penasaran dengan keheningan, aku membuka pintu kamarku perlahan. Samar-samar kudengar orang berbicara. Seperti tidak asing dengan suara berat itu. Sangat familiar. Bergegas aku keluar mencari tau.
Benar! Itu Daddy! Dan....
Astaga! Kenapa Sam dan Jen menggelayuti kedua lengan Daddy? Ini tidak bisa dibiarkan!
Aku membanting pintu kuat-kuat. Aku yakin mereka diluar sana pasti Suara ketukan di pintu terdengar. Nah, benar bukan?
"Airin? Buka pintu," suara Daddy bersamaan dengan ketukan yang tidak terhenti.
Aku hanya diam memandang pintu tertutup sambil bersedekap, bersandar pada kusen pintu balkon.
Aku sengaja tidak mengunci pintu.
Ini siasatku. Aku mau Daddy memperhatikanku saja. Hanya aku.
Clek!
Pintu terbuka, Daddy melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Matanya menemukanku.
"Hey baby, kau baik-baik saja bukan?" Daddy melangkah lebar menghampiriku.
Aku melengos.
"Sweetheart? Kau kenapa?" Daddy meraih lenganku dan menghadapkanku padanya.
"Kenapa Daddy kemari?" tanyaku menyipitkan mata.
"Bukankah kau bilang ingin liburan bersama Daddy? Karena itu Daddy kemari. Liburan bersama kalian di akhir pekan ini," sahutnya tersenyum mengusap rambutku.
"Daddy! Yang aku mau liburan berdua saja dengan Daddy!" seruku menghentakkan kakiku dengan kesal.
"Airin, Daddy masih belum bisa. Proyek baru ini masih memerlukan perhatian dan
fokus Daddy," ia mencoba membujukku.
Aku cemberut memunggunginya.
*****
Rasanya aku ingin menangis meraungraung. Daddy benar-benar tidak bisa memenuhi keinginanku.
Yang membuatku makin kesal, Daddy malah mengenalkanku pada mitra bisnisnya.
Hmm, aku curiga. Mitra bisnis Daddy kali ini pasti punya maksud dibalik perjanjian bisnis mereka.
Kalian tau? Mitra bisnis Daddy kali ini tubuhnya berlekuk, tidak kekar dan berotot. Bibirnya sensual dengan lipstik merah menyala. Pakaiannya selalu kurang bahan, bukannya setelan jas lengkap seperti pakaian Daddy setiap ke kantor.
Iika mitra bisnis Daddy yang sudahsudah berambut pendek, cepak malah beberapa dari mereka ada yang botak, tapi tidak kali ini. Rambutnya tebal berwarna coklat kemerahan, berkilau dan panjang hingga sepunggung. Namanya Tante Camilla.
Usianya sekitar 26-30 tahunan. Wajahnya cantik. Matanya kecoklatan berbinar-binar setiap berbicara dan memandang Daddy.
Dada besarnya yang membuatku iri, seringkali tanpa Daddy sadari, dengan sengaja digesekkan ke lengan Daddy. Ih! Benar-benar menyebalkan!
Aku mengacak rambutku menumpahkan kekesalanku.
"Kau kenapa, Baby?"
Aku menoleh, melongo menyadari aku masih berada diantara mereka. Dan saat ini keduanya sedang menatapku heran.
Astaga! Apa yang kulakukan?
"Mungkin Airin bosan dengan pembicaraan kita, Damian," suara lembut Tante Camilla membuatku tanpa sadar mencibir.
"Hmm, kau bosan Baby? Atau kau mau pulang saja? Biar Uncle Andrew mengantarmu," suara lembut Daddy dibarengi sentuhannya merapikan
rambutku yang sekarang seperti singa karena tadi kuacak-acak tanpa sadar.
Aku menggeleng keras. Aku tidak akan membiarkan Tante itu mendekati dan merayu Daddy!
"Lalu kenapa kau seperti tadi?" Daddy mengerutkan keningnya menatapku.
"Liburanku hampir habis, Daddy. Kalau Daddy tidak mau memenuhi janji Daddy, aku tidak mau meneruskan sekolah!" Kucebikkan bibirku merengut, merajuk pada Daddy.
Daddy tertawa kecil, sementara Tante Camilla tersenyum dipaksakan.
"Kau ini sudah besar Sweetheart. Kenapa masih suka merajuk seperti ini?"
"Memangnya apa yang kau janjikan padanya, Damian?" suara Tante Camilla sedikit mendesah terdengar menjijikkan ditelingaku.
"Oh, aku janji akan mengabulkan apapun permintaannya jika ia bisa menyelesaikan Sl-nya dengan cepat. Dan yah, dia memang pintar. Diusianya sekarang, ia sudah lulus S1 jelas Daddy dengan nada bangga.
"Memang berapa usianya?" dasar tante-tante kepo! Ia mencoba menarik perhatian Daddy!
"Sembilan belas. Airin ikut akselerasi sampai dua kali dan ia berhasil!
Dia benar-benar pandai bukan?" jawab Daddy lagi-lagi dengan nada bangganya.
"Oh ya? Wow, itu pasti karena kau sudah mendidiknya dengan hebat, Damian," ia memuji Daddy dengan matanya yang berbinar. Uh! Aku tidak suka!
"Aku tidak melakukan apa-apa,
Camilla. Airin melakukannya tanpa kusuruh. Aku hanya mendukung semua aktifitasnya
sahut Daddy merendah.
Hei! Kenapa aku merasa diabaikan sekarang?
"Dan, apa yang dimintanya?"
Aaaargh! Bisa tidak kalau ia tidak kepo begitu? Aku ingin menjambak rambutnya sampai rontok
ia dengan antusias mendekatkan tubuhnya hingga dada besarnya lagi-lagi menyentuh lengan Daddy.
"Airin ingin liburan bersamaku sebelum ia melanjutkan S2-nya," Daddy menjelaskan sambil terkekeh mengacak poniku.
"Hmm, kenapa kau tidak mengabulkannya? Kita bisa liburan bertiga. Aku juga sedikit jenuh dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya ini. Kurasa berlibur sebentar tidak akan apa-apa, Damian," usulnya membuatku tersedak.
Tidak! Aku tidak mau ia ikut berlibur bersamaku dan Daddy!
"Hmm... boleh juga. Bagaimana menurutmu, Baby?" Daddy menoleh padaku.
Aku menatap Daddy. Bukankah sudah kubilang kalau aku hanya ingin berdua dengan Daddy saja? Apa ia lupa? Atau memang ia melupakannya begitu saja? Dan, apakah aku mengatakan ketidak setujuanku sekarang? Apakah Daddy tidak akan marah? Apakah Daddy tidak akan menganggapku tidak pengertian? Ataukah Daddy memang ingin berlibur bersama Camilla? Kenapa Daddy langsung mengiyakan usulan Camilla sementara jika denganku ia harus herpikir ribuan kali dan pada akhirnya dengan sangat menyesal ia tidak dapat memenuhinya?
Aku berdiri dan berjalan cepat keluar dari cafe tempat kami makan siang tanpa menjawab pertanyaan Daddy. Rasa kesal menyesaki dadaku. Kenapa hanya dengan beberapa kalimat bujukan dari Camilla, Daddy langsung
menyetujui usul liburan bertiga itu? Sedangkan aku? Aku membujuknya berkali-kali. Dan satupun tidak ada yang mempan!
******
Berhari-hari setelahnya, Camilla makin gencar mendekati Daddy. Daddy-pun terlihat menikmati kedekatan mereka yang berkedok bisnis.
Aku menolak usulan Camilla untuk liburan bertiga.
Penolakan Daddy atas permintaanku mungkin masih bisa kumengerti jika saja Daddy tidak mengiyakan keinginan Camilla. Akhir pekan yang seharusnya bisa kugunakan untuk bermanja-manja pada Daddy, justru menjadi milik Camilla.
"Ini tidak adil, Dad! Kenapa Daddy lebih mementingkan Camilla daripada aku?"
"Baby, Daddy ada kerjasama dengan perusahaan Camilla. Dan akhir pekan ini rencananya kami akan meninjau lokasinya. Ini proyek besar, Baby. Daddy harap kau mengerti," bujuk Daddy.
"Tapi ini akhir pekan, Dad!"
"Airin, bukankah Daddy sudah mengajakmu dan kau menolaknya."
Tentu saja aku menolak. Aku tidak mau melihat tante rempong itu berusaha merayu Daddy. Aku cemburu! Daddy milikku!
Aku baru saja akan menjawab ketika suara genit yang sedikit mendesah menginterupsi kami berdua.
"Damian, kau sudah siap?"
"Oh Camilla! Kau sudah datang? Ya
ya ya... aku sudah siap," jawab Daddy tersenyum menarik kopernya.
"Dan kau anak manis, benar kau tidak mau ikut? Kau bisa bermain di sana sementara kami bekerja," kata Camilla tersenyum melihatku.
Senyuman yang bagiku seperti ejekan, kemenangannya akan kekalahanku.
"Tidak! Aku tidak suka berlibur dengan wanita genit sepertimu!"
"AIRIN! JAGA BICARAMU! BERSIKAPLAH YANG SOPAN! SEKARANG MINTA MAAF PADA CAMILLA!"
Aku terlonjak mendengar bentakan
Daddy.
Sepanjang aku bersamanya, ini
kali pertama Daddy membentakku. Wajahnya mengeras. Sorot matanya menampakkan kemarahannya. Daddy
murka. Kepadaku.
Aku tidak akan pernah minta maaf pada perempuan itu. Tidak! Ia sedang berusaha merebut Daddy dariku. Kenapa aku harus minta maaf?
Aku berlari ke kamarku tanpa mempedulikan teriakan Daddy.
to be continued *
Share this novel
Kami juga menyediakan cerita dewasa seperti drama ibu dan anak , jangan sampai ketinggalan , kunjungi website.ceritazeks.wordpress.com
kok belum ada kelanjutannya ya.. ayo Thor lanjutkan, ceritanya seru.