Rate

PROLOGUE

Drama Series 222

New York, 9/11 2001.

Awalnya, hanya sebuah tanggal biasa disuatu hari diawal musim gugur.

Tidak istimewa, bukan?

Musim gugur. Saat daun-daun pepohonan rontok, jatuh ke bumi, menambah unsur hara tanah, serta persiapan hibernasi.

Bukan rontoknya batuan raksasa dari langit, akibat dua burung besi sebesar lapangan football, menabrak dua menara kembar pencakar langit.

Membahana, suara dentuman, akibat benturan dahsyat. Tak ada yang menyangka kejadian itu. Oh, ayolah. Siapa juga yang bisa tahu, suatu musibah akan datang. Bahkan, peramal sekalipun.

Raungan sirine, para pahlawan kota datang, terlambat. Hancur, berantakan, gedung itu sudah rata dengan tanah, percuma.

Endusan anjing pelacak, hantaman pickle, mencari asa yang masih bernyawa. Damkar, polisi, ambulan, dan tim SAR. Bertindak cekatan, kesetanan. Sadar tiap detik berharga, untuk sebuah nyawa, dan harapan dalam rintih menahan lara.

Tidak, neraka itu belum berakhir. Kantong-kantong jenazah dengan isinya, diangkat dari dalam reruntuhan, sebelum terbawakan ambulan, untuk satu tujuan, Central Hospital. 

Kabar duka disebarkan keseluruh dunia. Beberapa ratus, tidak, mungkin ribuan korban, terkabar.

Semua berduka. Tidak terkecuali lima tempat itu. Bagi kedua jenazah itu, mereka adalah dua tubuh tanpa nyawa. Tidak bagi anak perempuan mereka.

Yatim piatu adalah gelar baru yang harus diterima. Kejutan yang tidak lucu, serta hadiah paling menyesakan.

Terlebih, kedua jenazah itu juga milik rakyatnya. Saat itu, secara bersamaan. Lima negara berduka, kehilangan pemimpin mereka, panutan mereka, simbol negara.

Ditempat berbeda, kelima anak perempuan itu melakukan satu tindakan yang sama.

Menangisi orang tua mereka.

***

Beberapa tahun setelahnya, monumen WTC.

Seorang anak gadis sedang duduk di dalam mobil. Antusias, memindai, membelah padatnya kota New York. Menuju kesuatu tempat.

Terhentinya mobil, gadis itu keluar, bersama satu buket bunga ditangan. Sang supir berjalan di belakang. Setelah mengaktifkan mesin parkir.

Anggun, berjalan selangkah demi selangkah, menuju pusat kerumunan. Tidak heran, monumen peringatan itu masih baru. Peringatan lima tahun setelah menara kembar itu rata dengan tanah.

"ChelseaaA!!"
Sebuah suara menghentikan langkah gadis itu. Menoleh, mencari sumber suara.

Tergesa-gesa, seorang gadis lain, berlari, mendekat padanya. Tersengal, berhenti di depan Chelsea, sebelum menunduk, memegang lutut.

Melihat keadaan gadis didepanya, Chelsea mendesis.
"Berlin, kenapa kamu harus berlarian, dan berteriak seperti itu."

Merasa cukup mengatur napas, Berlin menegakan punggung, serta meringis lebar.
"Kenapa? Aku melihatmu, meneriakimu, dan berlari kearahmu. Masalah?"

Merasa tak akan menang berdebat, Chelsea mengabaikan jawaban Berlin.
"Paling tidak, sadari posisimu. Bersikaplah seperti seorang putri."

Chelsea memperhatikan penampilan Berlin. Alisnya mengerut, dalam.
"Tunggu dulu. Mana bungamu. Jangan bilang kau lupa. Demi Tuhan, Berlin. Ini peringatan penting, dan kau lupa benda itu."
Rasanya, darah Chelsea sudah naik ke ubun-ubun. Sungguh, perlu kesabaran ekstra, bila berhadapan dengan Berlin.

Menunduk, melihat kedua tangan., kosong. Chelsea benar. Berlin melupakan itu.

Baiklah, jurus berikutnya. Senyuman tanpa dosa ke arah Chelsea, sebelum berbalik, berteriak.
"MarkussS, ambilkan bungaku di mobil. Aku lupa membawanya. Cepat, ya."

Tak ada sikap Markus selain mengangguk. Pria setengah baya, berbalik ke mobil, mengambil buket bunga yang tertinggal. Bagi Markus, sang putri selayak anak perempuan, baginya.

Membelakangi, Chelsea melihat punggung Berlin. Peringatanya tak mempan, gadis itu berteriak, barusan.

"Tenang young lady. Berlin memang seperti itu."
Seseorang berbisik, dekat ditelinga, merangkul pinggang, dan mencium pipi Chelsea.

Paham akan tabiat itu, Chelsea tak bergerak. Erat menggenggam buket bunga. Matanya masih menatap hal yang sama, punggung Berlin.
"Victoria, kau datang seorang diri?" Chelsea berkata, pelan.

Melepas rangkulan, menjauh dari Chelsea, sedikit.
"Tidak, aku bersama Medina."

"Dimana dia?"

"Di belakang. Eh, sudah, ya. Aku sapa Berlin dulu."
tanpa persetujuan, kaki Victoria melangkah, mendekati Berlin, dan melakukan persis seperti itu, lagi. Chelsea menoleh. Benar, itu Medina. Datang kepadanya, mendekat. Berjalan anggun, satu langkah demi satu, sembari memasang senyum.

Chelsea membuka tangan, Medina menyambut, mereka berdua saling berpelukan.
"Medina, bagaimana kabarmu."

"Baik, seperti yang kau lihat sendiri. Bagaimana kabarmu?"
Rangkulan terlepas, kedua putri saling lempar pandang.

"Aku juga baik. Seperti yang kau lihat."
Senyum terkembang Chelsea, merekah.

Victoria masih merangkul pinggangnya saat Berlin menerima buket bunga dari Markus.
"Terima kasih, Markus."

Badan berlin berbalik, Victoria juga. Mereka berdua menghadap Chelsea, dan Medina. Dua sahabat lain. Berjalan mendekat, setelahnya. Erat, Berlin memeluk Medina. Menatap, Berlin menemukan, mata biru gelap Medina. Mereka saling sapa, dan melempar kabar.

Berpikir sejenak, Berlin teringat suatu hal.
"Bagaimana dengan Sidney. Kenapa belum datang. Apa dia terlambat?"

Senyum tertahan, Chelsea, serta Medina. Tawa Victoria, pecah.

"Berlin, apa yang kau bilang, tadi."
Victoria kembali memeluk pinggang Berlin.
"Apa kau lupa. Memangnya, menurutmu. Apa yang bisa dilakukan, maniak tepat waktu seperti dia, selain datang lebih awal."
Mengangkat satu alis, menatap Berlin, dan keningnya seolah tertulis, Berlin, please.

"Oh, my." menutup wajah dengan satu tangan, menunduk, dan menggeleng. Seolah tersadar satu hal.
"Bagaimana aku bisa lupa. Victoria, kau benar. Sidney, pasti sudah menunggu."

Aroma sedap, mahkota yang mekar, warna dalam kelopak bunga. Tergenggam erat, buket bunga ditangan mereka, melangkah dari tempat berdiri. Empat gadis muda, berjalan lebih kedalam, mendekati sekumpulan orang, disana. Beberapa pengawal pribadi, setia. Mengikuti langkah di belakang. Menebar waspada, mengedar pandang, siaga untuk yang terburuk, dan semoga jangan.

Area disekitar, lambat laun, menjadi ramai. Beberapa orang berdatangan. Mobil-mobil berhenti, dan parkir dengan rapi. Dengan buket bunga ditangan, mereka keluar, dan memasuki area lebih dalam, berjalan.

Ke empat putri berjalan bersamaan. Banyak pengunjung disekitar, berjalan dengan tenang. Sebagian menyamakan langkah, dan tak sedikit orang tergesa. Semakin lama, semakin ramai.

Berjalan beberapa langkah, memandang sekitar, dan ke empatnya menemukan yang mereka cari. Itu dia, ada disana. Anak gadis, berdiri ditempatnya, dan tersenyum manis. Ditanganya tergenggam satu buah buket bunga, dan dengan tingkat anggun setara, itupun jika tidak mau dibilang angkuh, tanganya terbuka.

Mereka berlima saling peluk!

Victoria, extra kecupan!

"Kalian terlambat, nona-nona."
Langkah mereka berlanjut, dan gadis tadi, bicara.

"Bukan kami yang terlambat, Sidney." Berlin mencoba menyanggah.
"Tapi, datangmu yang terlalu cepat, princess."

"Oh, ya. Faster is better, dan selalu ada alasan untuk bertindak sia-sia."
Senyum manis Sidney tak seperti ucapanya. Dia tidak peduli, percayalah. Saat itu Berlin sadar, percuma menyanggah Sidney.

"Masih ada waktu 10 menit sebelum acara, dan miss on time itu bilang, kita terlambat. How sad." Bisik Victoria diantara Medina, dan Chelsea.

"Hei, aku dengar itu." Sahut Sidney.

"Enough young ladies. Sebentar lagi acara dimulai, kita sebaiknya cari tempat duduk." Chelsea menengahi.

Suara bising terdengar, umpan balik dari pengeras suara dinyalakan. Tempat itu telah padat pengunjung. Gumaman-gumaman tak jelas, terdengar layaknya dengung lebah.

Ke lima putri duduk ditempatnya. Pihak penyelenggara acara menyediakan tempat duduk VIP bagi kelimanya. Sedangkan para pengawal berdiri, tak jauh dari mereka.

Saatnya, MC membuka acara. Tepuk tangan riuh, dan beberapa siulan, saat walikota diatas podium.

Beberapa kata sambutan, terucap. Sesekali, sorakan terdengar.

Monumen 9/11 terbangun atas prakarsa Kota New York, PBB, dan sebuah sebuah badan nirlaba.

"City of Angel Foundation." Walikota berujar.
"Para malaikat itu ada, bersama kita, dan inilah mereka, para pencetus, City of Angel Foundation!!!"

Sorak-sorai, siul bersahutan, dan derai tepuk tangan, bergema. Saat nama-nama itu disebut.

"Putri Medina Evangelin Voinska, dari Bosnia."
Dia berdiri, dan berjalan, naik podium. Melambaikan tangan diantara tepukan.

"Putri Sidney Vrederijka Krijg, Luxemburg. Putri Berlin Tachibana Kampf, Lichtenstein."
Berturut-turut, mereka berdua maju.

"Putri Chelsea Josephine Struggler, Scotland. Putri Victoria Adrianna Luchar, Spanyol."

Mereka berlima diatas podium, mengenang lima tahun tragedi itu dengan sebuah monumen.

Foundation yang mereka bentuk, beberapa minggu setelah peristiwa. Lewat para duta besar, mereka berhubungan, sebelum bertatap muka.

Hari ini, peresmian monumen, peringatan lima tahun, sekaligus ziarah bagi mereka yang tak dikenali. Berhembus ringan udara musim gugur. Sedikit bau pohon, dominan aroma karet ban, aspal, dan gasoline, parfum alami kota ini.

Ah, langit birunya, cerah sekali.

*****

Coba coba, ikut-ikutan, buat cerita dengan genre seperti ini, buat meramaikan aj.

Nggak tau juga dapat ide darimana atau kesambet demit dimana...

Terdedikasi untuk retnomariyati

Injak bintang di kiri bawah, boleh juga pahat koment

Sumpah aku butuh masukan

Matursembahnuwun...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience