Rate

1. Pertemuan pertama

Romance Series 1945

   Jangan menunggu orang yang tepat  untuk membuat hidupmu menjadi sempurna. Lebih baik jadilah orang yang tepat  untuk membuat hidup seseorang menjadi lebih sempurna.

          Seorang perempuan melangkah turun dari sebuah taksi dengan dress hitam sepanjang lututnya. Wajah sombong nan arogant tidak terelakan lagi dari perempuan itu. Ketika ia berjalan masuk ke dalam gedung perusahaan, hampir setiap orang yang berada di lobby itu langsung menatapnya lapar. Seperti disetiap bagian tubuh perempuan itu ada hal yang begitu menarik perhatian.

    Suara heels yang mengetuk lantai granite itu berulang kali semakin menggema. Tepat dihadapan seorang receptionist tubuhnya terhenti. Mengulas senyum sekilas sebelum mengeluarkan suaranya.

    "Interview dengan bapak Anton," suaranya yang cukup berat untuk ukuran seorang perempuan membuat receptionist tersebut menahan gelak tawanya. Ia mengusap hidungnya sekilas, menyamarkan tawa gelinya itu.

    "Interview?" ulangnya seperti sebuah pertanyaan. "Atas nama siapa ya mbak?"

    "Jane,"

    "Mary Jane," ucapnya lebih jelas.

    Receptionist itu mengangguk, kemudian mencoba menghubungi bagian HRD untuk menginformasikan ada perempuan yang ingin bertemu dengan Bapak Anton di sini.

    Jane. Begitulah orang sering memanggilnya. Dia perempuan dewasa yang tengah mencoba memperuntungkan nasibnya kembali dalam melamar pekerjaan. Sudah hampir 1 tahun lamanya, dia hanya bisa keluar masuk perusahaan besar. Bukan sebagai pekerja, melainkan menjadi seorang pelamar pekerjaan.

    Sedih memang. Tapi itulah kejamnya hidup di Ibukota. Siapa yang tidak bisa bertahan, maka akan tertelan habis oleh pergerakan jaman. Terkadang otak pintar pun tidak menjamin karir yang menjadi cemerlang. Namun sedikit banyak 'jilatan' sana sini juga turut berpengaruh didalamnya.

    Bukan hanya 'jilatan' dalam konotasi negatif yang sering kali digunakan oleh kaum hawa untuk menaklukan sang boss agar bisa dipromosikan. Tetapi 'jilatan' lainnya juga sebisa mungkin dilakukan bila tidak mau tertendang dari sebuah perusahaan.

    Semua itu bukanlah hal tabu lagi. Dalam dunia pekerjaan, menyerang dari depan terlalu mainstream. Karena itu para pekerja dan pebisnis lebih suka menyerang dengan cara tenang namun mematikan.

    Begitulah yang kurang lebih Jane rasakan setahun yang lalu sebelum dirinya benar-benar tidak memiliki pekerjaan tetap sekarang. Dia mengalami pemecatan tidak hormat oleh istri boss tempatnya bekerja hanya karena gosip yang menyebar tidak wajar. Gosip itu menginfokan jika dirinya dan si boss ada affair, padahal Jane bukan perempuan murahan yang dengan mudahnya melemparkan tubuh indahnya ke semua pria.

    Dia juga punya standar tinggi untuk pria-pria lapar itu dalam mendapatkannya. Setidaknya pria itu harus sama sempurnanya dengan dia.

    Pernah ada yang bilang, jika dirimu merupakan perempuan dominan maka carilah lelaki yang lebih dominan darimu. Atau bila dirimu tidak menemukannya, maka coba untuk mencari lelaki yang bisa kau kuasai.

    Seperti itulah yang ada di benak Jane. Dia tidak suka pria-pria 'setengah jadi' yang sering kali dia temui sekarang ini. Banyak bicara dan mengumbar ke sana ke sini jelas sekali bukan tipe pria idamannya.

    Cukup diam dan tunjukan siapa dirimu sesungguhnya. Lalu buatlah Jane bertekuk lutut hingga tidak mampu untuk berdiri kembali sebelum kau yang mengembalikannya.

    "Pak Anton sudah menunggu di ruangannya. Dia ada di lantai 3, nanti mbak bisa tanya dengan orang disana sebelah mana ruangan Pak Anton," jelasnya.

    Jane mengangguk cukup paham. Kemudian dia berbalik dengan menggerakan rambut hitam panjangnya.

    Bunyi hak sepatu itu kembali beradu dengan dinginnya lantai sembari diiringi oleh cibiran khas perempuan-perempuan iri yang melihat keindahan tubuh Jane.

    "Paling semuanya palsu. Mana ada sekarang perempuan cantik tanpa oplas?"

    Jane tersenyum samar. Dia masih mampu mendengar cibiran receptionist itu. Baginya semua itu adalah lagu indah yang mengiringi hidupnya. Jane tidak akan mencibir balik, atau memaki perempuan yang melakukan semua itu padanya.

    Dia hanya tersenyum, menunduk lalu menggelengkan kepalanya. Kadang dalam hati Jane bertanya-tanya mengapa bila perempuan tersebut iri padanya harus mencibir dirinya seperti itu. Harusnya lakukan lah yang terbaik agar bisa bersaing dengan dirinya.

    Seperti yang dulu Jane lakukan.

    Dia dulu adalah anak perempuan yang buruk. Rupanya, kelakuannya, pikirannya. Tapi ketika masa kelam itu hadir bersama perkembangan hidupnya, Jane ingin membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi sosok yang sempurna.

    Bukan tanpa tujuan dia berlaku seperti itu. Karena dibalik itu semua, dia ingin mendapatkan pasangan yang tidak kalah sempurna.

***

    "Mary Jane," sapa seorang lelaki dihadapannya. Dia mengulurkan tangan kepada Jane kemudian disambut wanita itu dingin. "Saya Anton,"

    "Senang melihatmu datang hari ini," ucap Anton berbasa-basi.

    Diliriknya sekilas wajah Jane yang tidak tersenyum sedikitpun. Raut wajah yang Jane tampilkan memang benar-benar datar. Apalagi tatapan menilai Jane pada Anton membuat lelaki itu menelan air ludahnya berkali-kali.

    "Silahkan duduk dulu," ucapnya kikuk.

    Anton melepaskan satu kancing Jasnya kemudian mendudukan tubuhnya sembari manik matanya tak lepas dari wajah Jane.

    Selama hampir 5 tahun dia bekerja sebagai kepala HRD, baru kali ini Anton meng-interview pegawai yang tidak melakukan senyum sedikitpun. Bahkan wajah gugup dan keringat dingin yang biasanya sering terjadi pada pegawai yang ingin di-interview saja tidak kelihatan.

    Jane memang sangat ahli menutupi segala ekspresinya. Wajah cantik itu hanya menampilkan senyum datar tanpa bisa ditebak apa yang tengah dia rasakan.

    "Bagaimana? Cukup jauh kemari?"

    "Tidak,"

    "Oh, baguslah. Kau tahukan kerjaanmu apa disini bila nanti diterima bekerja?" tanya Anton pada tujuan.

    Dia sudah malas menghadapi perempuan aneh dihadapannya. Datar. Tanpa ekspresi. Membuat Anton enggan berlama-lama.

    "Tahu,"

    "Kau hanya melakukan pekerjaan sebagai asisten GM kita yang kebetulan baru kembali dari Jerman,"

    "Iya, aku tahu," balasnya masih sangat singkat.

    Karena tidak tahu apa yang harus dibicarakan kembali, Anton memintanya untuk menunggu sebentar. Dia ingin melakukan konfirmasi pada atasannya tersebut atas kehadiran Jane hari ini.

    Lelaki itu nampak sibuk berbicara dengan lawan bicaranya melalui telepon. Kadang kedua mata lelaki itu meneliti dirinya dari atas sampai bawah, kemudian mendesah lelah.

    Percakapan itu cukup alot sampai tidak terasa 30 menit berlalu. Jane yang mulai bosan, mengganti posisi duduknya. Menyamping namun telinganya masih terus mengamati percakapan itu. Walau setiap kata yang Anton ucapkan tidak Jane mengerti, tapi dari gestur dan cara dia menyampaikan Jane tahu apa artinya semua itu.

    Jelas saja Jane tidak mengerti, bahasa yang Anton pakai adalah bahasa Jerman sampai telinga Jane ingin pecah mendengarnya.

    "Baiklah, Mary Jane," ucap Anton pada akhirnya. Disela-sela katanya tadi, Jane bisa merasakan kekecewaan. Entah karena apa, Jane masih belum menemukan jawabannya.

    Jika karena dirinya tidak cukup mewakili seluruh klasifikasi untuk menjadi seorang asisten GM, maka biarkanlah ia pulang dan memulai semuanya dari awal kembali besok. Pastinya dengan gedung-gedung baru, orang baru dan pekerjaan baru.

    "Kau diterima,"

***

    Sepatu stiletto merah marun itu kembali melangkah dengan yakin mengiri langkah kaki sepatu hitam lelaki disampingnya. Sudut bibir Jane sedikit menampilkan senyum. Hanya sedikit namun efeknya begitu kuat sampai ada seorang pegawai hampir menabrak pintu kaca karena memperhatikan langkah Jane.

    Tepat di depan pintu kaca yang cukup besar, Anton berhenti. Dia melirik Jane di sampingnya yang sedang mengerutkan kedua alis. "Ini ruangan General Manager kita. Nanti posisimu bekerja di sana," tunjuknya pada meja dan kursi yang memang sudah dipersiapkan dengan baik.

    Jane mengangguk setuju. Tidak terlalu buruk, begitu batinnya. Semua peralatan yang dibutuhkan untuk bekerja sudah tertata rapi disana. Tinggal sosok yang mengisi di sanalah yang belum ada.

    Iya, dia yang akan disana. Menempati kursi yang terlihat empuk dengan segala peralatan canggih disekitarnya.

    Setelah Anton mengetuk pintu, dia bergerak masuk ke dalam sana diikuti oleh langkah kaki Jane. Ketika tubuhnya berhasil masuk ke dalam hal yang pertama Jane tangkap adalah ruangannya yang begitu ...simple. Dia sudah beberapa kali melihat ruangan boss di perusahaan-perusahaan besar tidak se-simple ini.

    Di dalam sana hanya ada sebuah meja besar, kursi, dan seperangkat alat perang untuk bekerja. Tak jauh dari sana, ada meja kecil dengan beberapa sofa yang mengelilinginya. Mungkin biasa digunakan untuk menjamu tamu penting.

    Tidak ada rak-rak buku yang sering menghiasai ruangan seorang boss. Tidak ada lukisan-lukisan besar di sana. Hanya membuatnya manis adalah sebuah bingkai foto kecil yang bisa Jane lihat berdiri tegak di atas meja tersebut.

    "Kau masih membuatnya berdiri," tegur sosok yang terlihat fokus menghadap layar monitor.

    Buru-buru Anton meminta Jane duduk disampingnya. Dia berdehem sejenak, sebelum menjelaskan kembali seperti apa perempuan ini.

    "Tidak perlu dijelaskan kembali," ucapnya lembut.

    Manik mata cokelat yang terbingkai oleh sebuah kaca mata berframe hitam itu melirik ke arah Jane. Melemparkan senyum hangat. Batang hidungnya yang tinggi begitu menahan kuat bingkai kacamata itu.

    "Kita bisa saling mengenal secara perlahan," sambungnya kembali.

    Anton yang duduk di samping Jane memutar bola matanya malas. Dia sudah bisa menduga, memang seperti inilah sosok boss sekaligus sahabat kecilnya sejak dulu. Auranya terlalu bersahabat, sampai terkadang membuatnya hancur karena aura baik itu.

    "Perkenalkan siapa namamu?" katanya begitu sopan.

    "Jane,"

    "Mary Jane,"

    Awalnya pria itu ingin tertawa mendengar suara yang cukup berat untuk seorang perempuan. Tetapi karena menjaga kesopanannya, dia hanya mendehem sejenak sebelum kembali menatap sosok Jane di depannya.

    "Cukup sesuai," ucapnya tenang.

    Dia kembali mengulum senyum kala menatap wajah kesal Anton. Susah payah dirinya menahan tawa karena sikap kekanak-kanakan dari kepala HRDnya itu. Andai Anton bukan sahabat baiknya dan tidak bekerja dengannya, maka bisa dipastikan lelaki itu 
akan kesusahan bertahan dengan atasannya.

    "Kamu bisa memulai bekerja mulai hari ini," tegasnya penuh wibawa. Tubuhnya mulai bangkit. Diikuti oleh Anton dan Jane yang ada di depannya.

    Dengan sebelah tangannya, dia menarik lembut jas yang nampak kusut karena posisi duduknya tadi. Kemudian setelah cukup akan penampilannya, lelaki itu mengulurkan tangan kanannya kearah Jane.

    Awalnya Jane ragu menanggapi tangan tersebut karena manik matanya dengan kurang ajar sibuk menelusuk ke dalam manik mata cokelat lelaki itu dengan tatapan tajam.

    "Senang bertemu denganmu, Mary Jane. Semoga ini adalah awal dari semuanya," ucapnya dengan senyuman.

    Ketika jemari tangan Jane menanggapi uluran tangan tersebut, seketika wajahnya menegang. Dia tahu ada yang salah dengan sentuhan ini. Tanpa tahu diri, matanya membulat besar melihat keanehan yang dia rasakan tadi.

    'Ya Tuhan. Dia....' teriak batin Jane begitu tidak percaya.

****

Continue

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience