Hari kedua...
Langit Jakarta cerah. Matahari menyengat membakar segala yang di bawahnya. Awan putih yang berarak tipis tak mampu menghalanginya. Siapapun terpaksa mencari perlindungan, menghindari teriknya.
Ratusan siswa berbaris rapi di tengah lapangan, menantang sang Surya. Mereka tak punya pilihan, hanya berteduh pada topi karton bentuk kerucut warna hitam yang hanya pas di kepalanya masing-masing.
Wajah memerah diselimuti lelah, takut, malu dan bingung. Seragam putih biru SMP, sepatu putih, tas karung di bahu, kalung tali rafia dan kardus papan nama tergantung di dada. Pita warna warni di rambut dan kerudung siswi, serta dot bayi untuk siswa. Menambah gembelnya penampilan mereka.
Mereka terpaksa menjadi insan-insan cupu, bodoh, dan manut. Mengikuti semua perintah dan keputusan para senior. Itulah tahapan yang wajib mereka jalani, Masa Orientasi Siswa sebelum resmi jadi siswa SMA Kebangkitan Jakarta.
Sudah hampir setengah jam mereka dijemur. Mengikuti berbagai kegiatan dan mendengarkan segala ocehan para seniornya. Karena didapuk menjadi Panitia, kewenangan dan kewibawaan para senior meningkat tajam. Panggilan sakral ‘Kakak’ menjadi pembatas dan pembeda segalanya.
Semua junior harus rela menjadi bulan-bulan senior. Demi mengenyam pendidikan di tempat yang termasyhur jempolan mutu pengajaran dan penerapan disiplinnya. Sekolah elite dengan biaya selangit namun tetap jadi favorit, bagi mereka yang berduit.
“Dengar kalian semua!” teriak salah seorang senior, “siapapun yang memakai sepatu hitam, silahkan maju!” lanjutnya tegas, jelas dan berwibawa.
Seluruh peserta sontak saling berpandangan, lalu menunduk melihat sepatu yang dipakainya masing-masing, sekedar meyakinkan warnanya.
Sejurus kemudian, seluruh mata tertuju pada seorang peserta yang keluar dari barisan. Melangkah ragu dan gontai dengan sepatu hitamnya.
“Cepaaat!” teriak seorang lainnya yang memakai rok abu-abu dan kaca mata minus. Peserta yang berjalan gontai, seketika mempercepat langkahnya.
“Siapa nama kamu?” tanya salah seorang panitia yang di dada kirinya tertulis nama Kelvin Ikhsan P.
“Farrel” jawab si gontai seraya menunduk.
“Jangan nunduk! Tegap dan sebutkan nama lengkapmu dengan lantang dan tegas!” bentak Kelvin seraya mendekati Farrel yang jantungnya merdegup kencang.
“Farrel Mahardika!” jawabnya bergetar, setelah mengangkat wajahnya yang tegang.
“Farrel Mahardika!” ulang Kelvin kalem, “kemarin sudah disampaikan. Kami tidak mau tahu, mau beli, mau pinjam atau mau nyuri. Pokonya hari ini kamu harus pakai sepatu putih, Titik!” lanjutnya dengan nada lantang meninggi. Menjejalkan serapahnya pada telinga Farrel yang jaraknya tak lebih dari setengah meter.
“Emang boleh nyuri, Kak?” Farrel bertanya polos.
“Heh! Siapa yang nyuruh kamu bertanya? Makanya usaha! Dasar cupu kampungan, kamu!” bentak Kelvin makin garang dan menohok. Dunia seakan berhenti berputar. Hinaan dan cacian yang menyakitkan kembali dia dengar. Farrel bukan tak berusaha, namun dia tak tahu harus bagaimana. Tak ada seorangpun yang dikenal, kecuali pamannya. Tidak mungkin membeli sepatu baru, karena seluruh tabungan pamannya sudah terkuras, untuk daftar sekolah.
“Kenapa pakai sepatu hitam?” bentak Kelvin kemudian.
“Ma..maa... maaf Kak, saya hanya punya sepatu ini saja, be be..belum bi bi bisa beli yang putih,” jawab Farrel gagap dan tertunduk.
“Jangan nunduk! Kamu jadi cowok harus tegap! Tunjukan wajahmu yang cupu itu!” bentak Panitia yang lain, makin menciutkan nyali Farrel.
Farrel mengangkat wajah, berusaha melawan tatapan yang merendahkan dari semua seniornya. Wajah cantik dan ganteng tampak menyeramkan kaku, tegang dingin, dan bengis. Tiba-tiba terdengar gemuruh seperti suara tawon. Kalimat kecil dan tawa tak jelas keluar dari barisan peserta MOS. Farrel kembali menunduk, wajahnya panas dan tebal. Dunia sedang mentertawakannya.
“Diam semua!” bentak Kelvin menjalankan tugas utamanya berteriak dan membentak. Tubuh Farrel merinding dan lemas.
“Siapa yang nyuruh kalian ngomong! Kalian mau dihukum juga?” Senior yang di dadanya tertulis nama Ruth Shinta, ikut berteriak.
Lapangan kembali hening. Terik matahari dan teriakan para panitia, membungkam mulut peserta. Peserta lainnya tak mau ambil risiko mendapat hukuman suka-suka yang diterapkan panitia.
“Dengar kalian semua!” lanjut Kelvin seraya mondar mandir di belakang Farrel yang tertunduk. “siapapun yang melanggar, wajib menerima hukuman!”
Lapangan seketika sunyi.
“Kami sudah menyiapkan hukumannya dan tidak bisa ditolak.” Kelvin menghentikan ucapannya dengan tetap mondar mandir. “Kalau cewek yang melanggarnya maka dia harus pakai celana panjang. Dan....kalau cowok, harus memakai rok panjang! Paham!” Lanjut Kelvin dengan arogannya.
“Siaaaap!” jawab semua peserta kompak dan antusias. Farrel nyaris tersungkur tak terima dan tak bisa membayangkan bagaiman mungkin dia memaki rok panjang seharian.
“Maaf Kak, saya tidak terima!” sanggah Farrel mengerahkan seluruh sisa keberaniannya.
“What? Tidak ada yang bisa menolak! Kecuali mau dikeluarkan dari sekolah ini, atau mengulangnya tahun depan. Hahahah,” Kelvin tertawa pongah, dia bahkan mengajak seluruh panitia dan peserta untuk tertawa terbahak-bahak.
Tawa bergemuruh riuh rendah memenuhi lapangan. Hati Farrel makin teriris. Kelvin dibantu beberapa panitia, memberi sekaligus memaksan Farrel untuk memakai rok panjang hitam lusuh.
Tawa peserta makin riuh rendah, bahkan banyak yang sampai guling-guling. Sekujur tubuh Farrel bergetar, dunia seolah berhenti berputar dan gelap gulita. Dia nyaris pingsan, namun
“STOP!”
Tiba-tiba teriakan lantang menyeruak dari barisan belakang peserta MOS.
Seseorang berseragam putih hitam, berdiri menantang seraya menjinjing sepatu putihnya yang dilepas. Dia berjalan gagah mendatangi kerumuan panitia yang berdiri tertegun.
“Kalian semua biadab!” ucapnya seraya menujuk satu persatu panitia yang masih melongo.
Keadaan makin hening dan mencekam. Aura peperangan mulai tercium.
“ini sudah di luar batas kemanusiaan. Menjatuhkan martabat, pelecehan dan bullying serta perbuatan tidak menyenangkan! Kalian semua melanggar hukum!” lanjutnya sambil berdiri tegap dengan perawakannya yang sedikit lebih kecil dari Farrek. Namun terlihat besar dengan keberaniannya.
“Wah ada pahlawan nih, keren!” ejek Kelvin sambil bertepuk tangan perlahan. Tatapannya merendahkan peserta MOS sang pemberani itu.
“Ya! Gua pahlawan yang akan menendang siapapun yang merasa paling berkuasa dan melanggar hukum!” balas si pemberani lantang.
Farrel dan semua orang melongo. Tak menduga akan ada aksi teatrikal yang sangat mencengangkan.
“Oh ya! Siapa super hero kesiangan ini? hahahaha,” balas Kelvin tertawa, “terus sekarang apa yang bisa kamu lakukan? Menggantikan hukuman si Farrel atau apa? jawab!” Kelvin kian lantang berwajah garang. Tak terima ada yang berani menentang aturannya.
“Gua Ronald Prasetya. Kalau kalian mau mengeluarkan gua, silahkan! Tapi ingat, lu semua bakal nerima konsekuensinya!” Ronald lantang menantang.
“What? jadi lu nantang nih ceritanya?” Kelvin terpancing amarahnya. Ditemani dua orang senior lainnya, dia maju menghadang Ronald.
“Gua gak nantang, tapi lu jual gua beli. Paham!” teriak Ronald, hampir berbarengan dengan suara bak bik buk benda tumpul dan keras berbenturan.
“Aduh!!!” Kelvin berteriak sambil memegangi paha dan dadanya yang terkena lemparan keras sepasang sneaker putih.
“Makan tuh sepatu gua!” teriak Ronald.
“Brengseeek lu!” Kelvin meradang dan menerjang. Namun Ronald jauh lebih siap menghadang. Dia menangkis hadangan Kelvin. Tak bisa dielakan lagi mereka saling baku hantam, berduel. Ronald tampak mendominasi pertarungan.
Share this novel