Rate

Prolog

Romance Series 412

Adu mulut antara ayah dan anak itu terjadi lagi. Sayangnya tidak ada pihak ke tiga yang bisa mendamaikan mereka, kalau ada pasti keributan semacam itu bisa dihindari. Sosok yang seharusnya bisa menjadi mediator di antara keduanya, telah meninggal dunia bahkan sebelum sempat melihat wajah putri yang dilahirkan.

Mungkin karena tumbuh tanpa kasih sayang dan kelembutan dari seorang ibu, membuat Anggun menjadi sosok gadis tomboi, keras kepala, dan pembangkang—yah, setidaknya itulah gambaran kepribadian sang ayah yang terefleksi dalam diri putrinya. Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, bukan?

"Pokoknya tidak mau! Lebih baik aku mengajar anak-anak TK daripada harus membebani otakku dengan urusan perusahaan yang rumit!" Gadis cantik dengan bentuk wajah oval itu berteriak dari lantai dua, berdiri di dekat pagar pembatas sedang menunduk menatap sang ayah yang berada di lantai satu, pun sedang menatapnya.

"Dasar susah diatur! Pokoknya ayah tidak mau tahu. Mulai besok kamu sudah harus bekerja di perusahaan!" Pria paruh baya berkumis lebat itu membalas dengan suara yang lebih menggelegar dan lebih tegas dibanding putrinya.

"Anggun sudah bilang tidak ... sekali tidak tetap tidak!"

"Baik, kalau begitu kamu menikah saja dengan pria pilihan ayah. Duda beranak satu. Jadi kamu tidak perlu repot-repot bekerja, cukup mengurus suami dan anak." Ada nada sarkas dalam suara sang ayah

"No way! Tidak mau dan itu tidak akan pernah terjadi, Tuan Chandra Dewantoro!"

"Ayah tidak mau tahu! Kamu tinggal pilih, bekerja di perusahaan atau menikah dengan duda beranak satu?"

Anggun pura-pura muntah, setelahnya berkata sinis, "Pilihan macam apa itu? Tidak ada bedanya, seperti memilih antara masuk kandang singa atau masuk kolam buaya."

"Pikirkan baik-baik malam ini, ayah tunggu jawabannya besok pagi," tegas sang ayah, tanpa peduli pada kemarahan putrinya.

Bersungut-sungut, Anggun beranjak dari tempatnya. Suara entakan kakinya yang seolah ingin menghancurkan lantai, terdengar oleh sang ayah. Sembari menggeleng lemah, pria itu mengembuskan napas kasar, kemudian pun beranjak. Tidak terbesit sedikit pun pemikiran negatif tentang putrinya.

Memilih salah satu dari kedua pilihan yang diajukan oleh ayahnya? Oh, tentu saja big no.

Daripada pusing-pusing memikirkan dua hal yang sama-sama tidak menguntungkan bagi dirinya. Anggun telah mengambil keputusan yang unexpected.

Gadis berambut ikal panjang tidak beraturan itu kini sedang bergelantungan; merambat turun dari jendela kamar menggunakan kain seprai yang disambung-sambung. Di punggungnya tersampir tas ransel yang terlihat berisi penuh dan padat.

Ya, dia telah memilih opsinya sendiri, yakni run away.

Keesokan paginya, kehebohan pun terjadi di kediaman Dewantoro. Ketika sang Tuan rumah memasuki kamar putrinya—berniat hendak membangunkan kerena sudah jam setengah delapan pagi, tetapi gadis pemalas itu belum turun untuk sarapan.

Mendapati kamar telah kosong. Juga menemukan tali terbuat dari beberapa kain seprai yang disambung-sambung tergantung di jendela. Pria paruh baya itu tidak dapat menahan amarahnya.
Karena tidak ada siapa pun yang bisa dijadikan pelampiasan, akhirnya....

"Aaarrrggghhh ... Angguuun! Awas, kamu bocah bandel tidak tahu diuntung!"

Pria itu berteriak sekuat tenaga hingga mukanya memerah dan berujung terbatuk-batuk.

Sementara itu, Anggun yang telah mendapatkan kebebasannya, dengan riang menapakkan kedua kakinya di atas trotoar depan salah satu Plaza di Kota Malang.

Sembari merentangkan kedua tangan, gadis itu menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu mengembuskan perlahan sambil memejamkan mata. Dia menikmati angin dingin kota pelajar yang menampar lembut wajahnya.

Akhirnya aku kembali lagi ke sini. Kota Malang yang kucinta, aku datang.

BERSAMBUNG

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience