Chaper 2

Others Completed 362

Ujian Akhir Nasional telah berakhir sudah lama. Kini menantikan saat-saat yang paling menegangkan yaitu menunggu detik-detik kelulusan. Semua anak kelas tiga sudah berkumpul sejak jam 9 pagi tadi. Kepala sekolah belum juga mengumumkan hasil kelulusan itu. Tampak mereka sedang kasak-kusuk di tengah aula yang teduh. Anak-anak tersebut menantikan waktu-waktu yang akan mengejutkan jantung agar tidak terlalu menegangkan. Mereka ribut sendiri dengan aktifitas masing-masing. Ada yang berwajah pucat pasi. Ada yang bersikap santai dan tenang tanpa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ada yang sudah menangis duluan sebelum pengumuman kelulusan diumumkan karena takut tidak lulus. Ada yang berwajah ceria. Bermacam-macam variasinya dan sangat menarik untuk ditonton. Di tengah lautan manusia yang sedang sibuk sendiri itu, Sarah dan Ana sangat panik jika tak lulus. Sesekali Ana memegang kedua tangannya yang menggigil dan terasa dingin seperti hidup di kutub utara. Pucat pasi dan sayu kedua mata menemani. Sarah juga takut membayangkan dia tidak lulus karena selama ini banyak masalah yang menimpa dirinya dan keluarganya.

“Lama amat pak kepala sekolah mengumumkan hasil kelulusan. Pegal kakiku duduk di lantai aula ini,” ucap Ana yang langsung blak-blakan.

“Iya.. kita udah tunggu sejak jam sembilan pagi. Sekarang sudah jam dua belas siang. Capek aku jadinya,” sambung Sarah yang tidak sabar.

“Kalau sampai aku tidak lulus, aku akan bunuh diri.”

“Hush.. apa-apaan sih katamu itu, Ana? Jangan pesimis begitu dong… Kita semua pasti lulus.”

“Habis… aku ini merasa sangat bodoh.”

“Nggak kelihatan begitu kok, kamukan sudah berusaha untuk belajar selama ini. Kan, kamu bilang kemarin, kamu sukses menjawab semua soal ujian itu tanpa merasa kesulitan sedikitpun. Ingat nggak…”

“Oh… iya…,” Ana manggut-manggut.

“Kenapa bilang mau bunuh diri? Kalau kamu bilang seperti itu sama saja kamu berdoa yang bukan-bukan. Kata-kata itukan bisa menjadi doa.”

“Ya… karena kalau aku nggak lulus. Orang tuaku pasti marah. Akukan bisa jadi stres bila orang tuaku marah. Aku takut membayangkan itu.”

“Janganlah bersikap seperti itu, semangat dong..”

“Hm… Iya… sih… Baiklah.”

Ana tidak merasa linglung lagi. Tiba-tiba dia mau bilang bunuh diri jika dia tidak lulus SMA di tahun ini. Benar-benar putus asa dan prasangka buruk kepada keadaan. Lama sekali mereka mengobrol hingga Kepala Sekolah datang menghampiri aula yang dipenuhi lautan manusia tersebut. Kepala sekolah memberikan kata sambutan terlebih dahulu dan memberikan nasehat-nasehat yang baik untuk anak-anak kelas tiga itu. Kemudian pada ujung yang paling menegangkan, dari kata-kata Kepala Sekolah yang siap mengancam jantung untuk siap terkejut. Hasil pengumuman kelulusan akan diumumkan.

“Dari apa yang telah Bapak sampaikan kepada anak-anak sekalian. Semoga kalian menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Setelah Bapak mengumumkan hasil kelulusan ini, Bapak harapkan anak-anak sekalian dengan lapang dada menerima hasil keputusan tersebut. Hasil pengumuman kelulusan hari ini semuanya……..”

Kata-kata Kepala sekolah terputus mendadak dan Beliau memperhatikan wajah-wajah pucat dari para siswanya. Tanpa menunggu lama, Kepala Sekolah melanjutkan kata-katanya.

“Bapak mengumumkan semua anak kelas tiga yang Bapak sayangi ini… SEMUANYA LULUS SERATUS PERSEN!!!”

“Hore… kita lulus!” seru semuanya kompak kegirangan.

Mereka saling berpelukan dan jingkrak-jingkrak gembira. Sebagian sujud syukur. Ada yang berteriak senang. Ada yang menangis bahagia. Warna-warni ekspresi kegembiraan menambah semarak haru biru suasana kelulusan. Ana dan Sarah saling sujud syukur. Riski juga sujud syukur bersama Andi. Mereka sangat bahagia karena sudah lulus. Kehidupan baru akan mereka jelajahi demi masa depan yang cerah benderang.

“Oh ya… Sar.. kamu mau lanjutkan kemana sudah lulus ini?” tanya Ana sambil tertawa lepas.

“Ah… aku nggak tahu,” jawab Sarah dengan wajah yang berubah menjadi kusut.

“Lho.. Kenapa nggak tahu?”

“Kayaknya aku nggak bisa kuliah di tahun ini.”

“Kenapa?”

“Nggak ada biaya, makanya aku harus cari kerja dulu untuk mengumpulkan biaya kuliah sendiri.”

“Kasihan kamu Sar…” kedua mata Ana tampak berkaca-kaca.

“Ya… mau bagaimana lagi… Oh ya… kamu mau kuliah di mana An…?”

“Aku mau kuliah di padang. Nama universitasnya aku tak tahu. Pokoknya aku mau menjadi seorang dokter. Kan, orang tua aku tinggal di padang sekarang.”

“Kita berpisah dong…”

“Hm… Tapi, kita tidak boleh putus komunikasi. Kita selalu sms-an ya…”

“Oke..”

Sarah tertawa renyah bersama Ana. Di tengah-tengah manusia yang saling meluapkan kebahagiaan, Riski memandang Sarah dari kejauhan. Sementara Andi yang berada di sampingnya sedang berbicara dengan teman-teman lainnya. Riski merasa bahagia melihat senyuman bahagia dari sang pujaan hatinya. Hatinya mulai tergerak untuk segera menyatakan cinta yang telah lama ia pendam sejak kelas satu SMA. Riski ingin melaksanakan aksinya. Langkahnya mulai ia majukan. Tiba-tiba ia melihat wajah sedih dari Sarah yang tampak mendung dan kusam. Riski membatalkan niatnya untuk menyatakan cinta kepada Sarah karena suasananya saat ini tidak tepat. Tapi, perasaannya menggebu-gebu ingin segera keluar untuk menjemput perasaannya yang lain. Riski menjadi tak enak hati. Hingga Andi memanggilnya untuk berkumpul dengan teman-teman yang ingin segera pergi konvoi dengan sepeda motor masing-masing untuk merayakan kelulusan yang terasa besar ini.

“Ris… jadi nggak kita keliling kota Pekanbaru dengan motor nih…? Semuanya sudah menunggu,” seru Andi melambaikan tangannya di kejauhan bersama teman-temannya.

“Iya… Jadi, aku segera ke sana,” balas Riski dengan berteriak keras.

“Cepetan dong…”

“Iya…,”

Riski segera berlari-lari kecil. Sempat juga ia memandang sebentar ke arah Sarah yang mulai bergerak meninggalkan aula bersama Ana. Semua orang segera meninggalkan aula. Sebagian menyalami para guru yang sudah ikhlas memberikan ilmu-ilmunya untuk murid-murid tanpa mengenal lelah sedikitpun. Sebagian berhamburan ingin konvoi keliling kota Pekanbaru. Sebagian lagi langsung pulang karena tidak sabar untuk memberitahukan kabar baik ini kepada orang tuanya.

Riski menghampiri Andi. Andi langsung memeluk pundaknya dengan erat. Teman-teman segera melangkah cepat ke arah parkiran sepeda motor. Riski berwajah mendung. Andi yang selalu tersenyum seperti orang gila itu langsung merasakan perubahan wajah Riski yang mendadak menurun drastis itu.

“Kenapa, kamu Ris?” tanya Andi.

“Ah…” Riski mendongak seperti orang bodoh.”Nggak ada apa-apa.”

“Terus mengapa wajahmu nggak senang gitu?”

“Suer… nggak ada apa-apa..” Riski menggeleng-geleng.

“Masa???”

Andi berkerut. Dia tidak percaya Riski tidak mengalami yang macam-macam. Tapi, wajahnya masih suram. Seperti orang sedih begitu. Andi berpikir kenapa sobat kentalnya itu berwajah seperti itu. Setelah lama berpikir, tak terasa langkah kedua kaki sudah sampai di parkiran sepeda motor. Teman-teman sudah mulai menunggang sepeda motor masing-masing. Andi mendadak menghentikan langkah Riski yang hendak mengambil sepeda motornya.

“Tunggu dulu, Ris.. aku mau bicara sebentar.”

“Apaan?”

“Kalau kamu merasa gelisah, segera nyatakan cintamu kepada Sarah. Aku merasa kamu sedih karena itukan? Karena kamu belum juga menembak Sarah untuk mengungkapkan perasaanmu itu.”

“Ah…” Riski berkerut.

Teman-teman yang sudah menunggangi motornya masing-masing keheranan melihat Riski dan Andi kelihatan tegang. Salah satu dari mereka tidak sabar dan ingin segera cepat berangkat.

“Woi… Bro.. Kok malah ngomong terus dari tadi? Kapan kita berangkatnya. Apalagi nih sudah jam satu lewat. Yang lainnya sudah duluan daripada kita. Bagaimana nih?”

“Sssst… kayaknya Riski lagi ada masalah dalam menembak cewek. Si Andi berusaha menyemangati dia agar segera menyatakan cintanya kepada cewek yang ia sukai,” jawab dari seorang lagi.

“Wah.. nggak apa-apa.. biar kita tunggu saja.”

Andi dan Riski saling bicara terus. Hingga Andi memegang bahu Riski dengan wajah yang tegas dan bijaksana. Biasanya dia berwajah polos dan agak bodoh dalam menanggapi suatu perkataan. Kini tiba-tibanya ia menjadi dewasa begitu.

“Ayo… cepatlah.. Nyatakanlah cintamu kepada Sarah. Kami akan menunggumu sampai kamu membawa Sarah agar ikut bersama kita keliling kota Pekanbaru.”

Riski menganga karena mendengar kata-kata teman tulalitnya ini sudah mulai menyambungkan tiap perkataan yang terlontar dari mulutnya. Tumben si Andi ngomongnya mantap, seru Riski di dalam hatinya.

“Baiklah, aku akan pergi mencari Sarah,” Riski mengangguk pasti.

Teman-teman yang mendengarkan ikut campur juga untuk mendorong Riski.

“Ayo… Ris.. cepat kejar cewekmu itu sebelum dia pulang ke rumahnya.”

“Ini saat yang tepat untuk mengungkapkan cintamu.”

“Iya..”

“Betul… Betul… Betul…”

“Kayak Upin dan Ipin dong… Betul… Betul… Betulnya.”

“Nggak nyambung.”

Begitulah seruan mereka yang membuat Andi dan Riski menoleh ke arah mereka dengan tertawa terkekeh-kekeh. Mereka pun juga ikut tertawa. Riski pun mengacungkan jempolnya untuk mereka.

“Oke… Bro..”

“Lets go..” seru mereka kompak.

Riski tersenyum. Dia segera berlari-lari cepat menyusuri sekolah yang mulai sepi. Ia mencari Sarah secepat mungkin sebelum ia benar-benar sudah pulang bersama Ana. Dia terus mencari di berbagai sudut sekolah tapi Sarah tidak kelihatan. Apakah Sarah sudah pulang? Sudah berkali-kali Riski mencari dan bertanya kepada teman-teman yang tahu tentang keberadaan Sarah saat ini.

“Nggak tahu, nggak kelihatan. Mungkin sudah pulang sama Ana.”

“Tadi, barusan aku nampak dia lagi jajan di koperasi di depan sekolah sama Ana. Lihat aja di sana.”

Informasi terakhir itulah yang didapatkan oleh Riski. Dia sudah ngos-ngosan mengejar bayangan Sarah yang menghilang mendadak. Ia melangkahkan kakinya menuju koperasi yang berada di luar sekolah. Koperasi mulai sepi. Masih juga ada beberapa cewek-cewek yang berdiri sambil berceloteh di depan koperasi itu. Tapi, sosok Sarah tidak tampak. Angan-angan kosong tidak dapat diraih. Riski mulai putus asa. Sepertinya Sarah sudah pulang bersama Ana. Riski ingin mengejar Sarah sampai ke rumahnya. Dia juga tidak tahu di mana Sarah tinggal selama tiga tahun ini. Dia tidak pernah berbicara sedikitpun dengan Sarah. Untuk mendekatinya pun tidak berani ia lakukan.

Riski kehilangan jejak Sarah. Koperasi pun ia tinggalkan dengan tangan kosong dan hati yang kecewa. Ia pun menuju ke tempat parkiran di mana semua temannya menunggu dengan sabar. Riski berjalan dengan gontai dengan wajah yang tertunduk lesu. Harapan untuk menembak Sarah hari ini gagal total. Seperti tidak ada hari yang lain. Riski sangat kecewa.

Setiba di parkiran, Andi yang menunggu keheranan melihat Riski berjalan dengan lesu seorang diri tanpa ada sosok Sarah yang berjalan di samping Riski. Teman-teman yang lain pun juga keheranan dan menganga dengan mulut yang selebar-lebarnya. Riski mendekati mereka. Lalu Andi memegang bahu Riski dengan wajah iba.

“Kenapa wajahmu lesu begitu, Ris? Apakah Sarah menolakmu?”

Riski masih diam. Wajahnya mendongak ke atas langit biru yang penuh awan-awan putih yang berjalan berdampingan. Napasnya sangat berat. Kemudian ia menghela napas dalam-dalam.

“Sarah tidak menolakku. Tapi, Kayaknya Sarah sudah pulang bersama Ana. Aku terlambat menemui dia dan mengungkapkan perasaanku kepadanya.”

Andi tersenyum penuh arti. Teman-teman yang menunggangi sepeda motor masing-masing itu merasakan suasana yang sangat hambar. Riski tidak jadi mengungkapkan perasaannya kepada Sarah.

“Tenang saja, kan masih ada hari esok. Kitakan besok mengambil ijazah. Kamu masih bisa menyatakan perasaanmu itu kepada Sarah. Betulkan teman-teman?”

“Betul… Betul… Betul…,” sorak semuanya.

Mereka tertawa dengan terkekeh-kekeh. Karena mereka mencoba menghibur Riski yang sedikit gundah gulana akhirnya membuat Riski ikut tertawa juga. Pada akhirnya Riski mencoba menghibur hatinya sendiri. Hingga ia memutuskan untuk berangkat konvoi keliling kota Pekanbaru bersama teman-temannya. Karena keadaan Riski yang belum stabil. Andi yang menunggangi sepeda motor milik Riski. Mereka bersiap menginjak pedal gas motornya masing-masing.

“Go… Go keliling Pekanbaru!!!”

Bruuuumm…!!!

Semua sepeda motor langsung melaju. Meninggalkan sekolah yang mulai sepi. Perasaan yang belum terungkapkan makin terasa mendalam di hati. Apakah perasaan itu akan bersatu? Entahlah yang pasti masih ada esok harinya. Perasaan itu ingin keluar menjemput perasaannya yang lain. Allahlah yang tahu akan masa depan yang sebenarnya untuk memastikan kejadian yang akan berlangsung. Riski belum menyatakan perasaannya kepada Sarah. Sarah belum mengetahuinya. Betapa Riski sangat mencintainya. Perasaan itu pasti akan sampai kepada Sarah. Sarah akan mengetahuinya. Pasti akan mengetahuinya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience