Dia orangnya sangat nakal, sering mengusil dan menggangguku. Membuatku hidupku jadi tak tenteram. Huft! Tapi kenapa setiap kali ia tak datang ke sekolah, aku merasa ada yang kurang. Anak yang nakal, tapi kenapa bikin kangen? Dan sikapnya yang acuh memberikan pesona yang bikin jantung deg-degan.
Eits! Mikirin apaan sih kamu! Dia kan musuh terbesar kamu! Aku menggeleng sembari menatap sekilas ke arah Nunu yang tengah duduk di meja depan sambil jari-jarinya memainkan senar gitar dan menghasilkan bunyi yang sangat merdu. Sekilas mata kami bertemu dan ia tersenyum, cepat-cepat kualihkan pandanganku ke arah lain dan cepat-cepat menguasai hatiku sebelum jatuh dalam lubang yang tak mungkin dapat aku keluar dari dalamnya.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan keluar dari kelas dan pergi ke ruang OSIS. Aku lewat di depannya. Ingin sekali aku lihat wajahnya dan menyapanya, tapi entah mengapa pikiranku berkata untuk tidak menoleh padanya. Maka kubiarkan hatiku menangis kerana tak dapat memandangnya dari dekat.
Aku mendesah pelan. Seolah ada sesuatu yang mencekat di dalam kerongkonganku. Seperti ada godam berat yang menjatuhi kepalaku, rasanya sakit sekali dan membuatku hampir terhuyung dan jatuh pingsan. Tapi, tiba-tiba tubuhku menegang, begitu kurasakan sebuah tangan menahan lengan kananku. Spontan aku berbalik dan menatap tajam pada sosok yang tersenyum jail, namun matanya selalu terlihat teduh dan membuat hatiku berdebar-debar hebat.
“Ada apa?!” tanyaku ketus.
“Nggak. Cuma mau bilang, tolong beliin minuman di kantin.” jawabnya enteng dan tentunya dengan senyum usilnya.
“Emang gue pembantu elo apa?” kataku masih dengan suara ketus.
“Iya. Elo emang kacung gue.” sahutnya tenang.
“Sejak kapan gue jadi kacung elo? daftar aja gue nggak ngerasa tuh!” kataku masih ketus dan cuek bebek.
“Sejak detik ini.”
“Emangnya siapa elo, berani-beraninya nyuruh gue dan ngaku-ngaku gue kacung elo?!”
Ini benar-benar keterlaluan. Aku tak dapat lagi menahan emosiku. Kalaupun kami berkelahi dan dipanggil BP aku tak merasa apa, kerana dia duluan yang menyulut emosiku. Tiap harinya seperti tak ada hari yang damai tanpa pertengkaran kami. Hingga anak-anak yang lain merasa bosan untuk melerai kami.
Tanpa kuduga tubuh Nunu mendekat. Bikin jantungku mau copot aja. Aku tahu ia tersenyum senang, kerana sudah membuatku berdebar dan pipiku memerah. Namun ternyata ia membisikan sesuatu di telingaku.
“Kerana gue adalah hujan dalam hati elo. Dan elo nggak dapat membiarkan gue mati dalam hati elo. Jadi elo akan ngelakuin apa aja biar gue tetep hidup di hati elo. Dan elo jadi deh kacung gue.“ Nunu menjauh dariku dan tersenyum jahil.
Aku pasti menunjukkan wajah yang bego, sampai-sampai. Nunu mentertawakanku. Langsung saja kupasang wajah galakku. Bukannya takut, Nunu malah tertawa terpingkal-pingkal sampai memegang perut dan matanya berair.
Bengang ! Tentu saja aku SANGAT BENGANGLL!!! Dengan perasaan dongkol, aku langsung beredar meninggalkan Nunu yang masih tertawa terbahak-bahak.
“Hey! Mau ke mana? Gitu aja ngambek!” serunya dari belakangku. Namun aku tak memperdulikannya. Aku tetap berjalan meninggalkan satu manusia menyebalkan itu dengan sejuta kedongkolan.
Share this novel