Senja mula merangkak turun saat Medina Atalia melangkah perlahan ke arah taman mini di belakang rumah agam Mikael Lutfi. Di bawah pohon rendang.
Datin Sri Qalsum duduk bersendirian, termenung jauh. Wajahnya kosong, namun garis-garis kedut di dahi mempamerkan seribu rasa yang tersimpan.
Medina menarik nafas dalam-dalam. Perutnya yang sedang membesar sedikit tidak menghalang langkahnya untuk mendekati wanita yang suatu ketika dahulu menolaknya mentah-mentah.
Yang menganggapnya tidak layak, yang tidak pernah memandangnya lebih dari seorang perempuan entah dari mana.
"Assalamualaikum, mama," sapa Medina perlahan.
Qalsum menoleh sedikit. Tiada senyum, hanya lirikan mata yang kosong.
"Waalaikumussalam," jawabnya ringkas. Tangannya tetap bermain di celah jemari, resah yang tak terucap.
Medina duduk perlahan di sisi. Dia tahu, tiada guna lagi mengungkit masa lalu, tetapi diam juga bukan penyelesaian.
"Mama sihat?" soal Medina, memulakan bicara.
Qalsum mengangguk.
"Sihat... kalau itu yang kamu nak tahu."
"Medina minta maaf."
Kata-kata itu jatuh perlahan, tapi menggetarkan jantung Qalsum Raudhah. Dia berpaling sepenuhnya kali ini, memandang wajah menantunya yang sedang sarat mengandung, dengan mata yang jernih dan tenang.
"Maaf untuk apa?"
"Untuk hadir dalam hidup mama dan Mikael... untuk jadi seseorang yang mama tak pernah harapkan. Medina tahu mama tak pernah suka Medina. Dari dulu... mama tak pernah berpura-pura menyembunyikannya pun."
Qalsum Raudhah terdiam.
Ada satu kesakitan dalam dada yang tiba-tiba terasa berat.
"Kenapa kau cakap macam tu?"
"Medina tak simpan dendam, mama. Tapi sebagai manusia, Medina pun ada hati. Kadang... rasa juga pedih bila disisih. Bila kata-kata tajam mama masih terngiang waktu malam. Tapi Medina faham, bukan salah mama sepenuhnya. Mama hanya... mahu yang terbaik untuk Mikael."
Qalsum mengeluh berat.
Pandangannya dilempar jauh ke arah kolam kecil di hadapan mereka.
"Aku... pernah terlalu sayangkan anak aku sampai aku buta. Aku takut dia ulang sejarah ayahnya yang lalu. Lelaki yang terlalu ikut rasa, akhirnya terhukum sendiri.“
”Aku tak sangka, kamu... yang aku tentang habis-habisan, akhirnya jadi satu-satunya wanita yang benar-benar buat dia bahagia."
Medina tersenyum, walau matanya mula berair.
"Saya bukan siapa-siapa, mama. Saya tak sempurna, tak kaya, tak berasal dari keturunan besar... Tapi saya cintakan dia, lebih dari saya cintakan diri saya sendiri."
Qalsum tunduk. Perlahan-lahan, tangannya menggapai pergelangan tangan Medina. Pegangan itu tidak erat, tapi cukup membuat Medina terkejut.
"Aku tak minta kamu maafkan aku. Tapi kalau kamu sanggup... beri aku peluang kenal kamu semula."
Medina mengangguk.
Air matanya tumpah juga akhirnya.
"Medina sayangkan mama. Dari dulu... Medina harap mama akan panggil Medina ‘anak’ satu hari nanti."
Qalsum menarik tangan Medina, lalu menggenggamnya erat.
“Anak…”
Satu perkataan itu akhirnya lahir dari bibir Datin Sri Qalsum setelah sekian lama.
Beberapa Hari Kemudian…
Datin Sri Qalsum hadir sendiri membawa dulang berisi buah tangan dan sepasang kain batik cantik untuk Medina.
“Saya tahu kamu suka warna-warna lembut,” ujar Qalsum sambil menyerahkan kepada Medina.
Medina tidak mampu berkata apa-apa. Hanya senyuman dan esakan kecil menjadi balasan.
Share this novel