BAB 71
Orang baik itu tak ada jika tak ada orang jahat, malam itu tak ada jika tak ada siang, hitam itu tak ada jika tak ada putih. jadi semuanya perlu keseimbangan. Dan memang benar, bahagia itu tak akan ada jika tak ada kesedihan, dan selama kita masih bisa bernapas, pasti kita akan mengalami apa itu yang disebut masalah.
Dan kali ini mungkin masalah yang paling berat dalam perjalanan pernikahanku dan Vian yang selama ini juga selalu saja di gelayuti berbagai masalah. Tapi entah kenapa, berondong manisku itu tetap membuatku yakin kalau badai ini pasti akan segera berlalu, aku yakin itu.
Sudah hampir satu minggu ini aku berada di Yogya, tepatnya di kediaman rumah keluarga Atmawijaya.
Evan akhirnya masih mau meneruskan kuliahnya meski sedikit kupaksa, setelah sebelumnya dia merengek ingin bekerja di kapal pesiar. Tapi setelah kemarin kuajak ziarah ke makam bunda, Evan seketika menangis dan tak mengatakan apapun.
Paginya dia sudah berpamitan ingin meneruskan kuliahnya. Papa dan mama pun lega mendengarnya, semoga adikku itu benar-benar sudah bisa move on dari Putri.
Aku sendiri, di sini diperlakukan bak seorang putri. Kavi diberi baby sitter sekaligus dua, dan aku tak boleh melakukan apapun. Mama yang sangat khawatir dengan kondisi kehamilanku bertindak sangat over protective. Pekerjaanku hanya bersantai-santai dan itu membuatku bosan. Tapi mau bagaimana lagi, mertuaku—papa dan mama memang sangat memanjakanku. Kadang aku merasa bersalah dengan suamiku, di sana dia sedang berjuang di sini aku hanya dimanjakan.
“Feyyyyyyyyy, kangeeeeeeeennnnnn!” Suara manja Vian membuatku mengulum senyumku. Baru saja ponsel kutempelkan di telinga, dan sudah terdengar suara khas Vian. Yup, tiap saat dia menelepon. Hampir sehari bisa 20 kali, menanyakan macam-macam, atau bahkan kadang minta ngobrol dengan Kavi meski Kavi hanya ber ao ao.
“Apa sih, Bee? Baru juga seminggu ditinggal ini.”
Kuusap kepala Kavi yang tengah tertidur di gendonganku. Siang ini, Kavi baru saja diajak mama berkeliling komplek, mama suka memamerkan Kavi ke tetangga sebelah, dan setelah Kavi kelelahan baru diajak pulang. Lengkap dengan dua dayang atau baby sitter Kavi yang mengawalnya. Duh, anakku jadi seperti anak orang penting saja.
“Habisnya bosen, iriiiii sama dua orang yang lagi jatuh cinta tapi telat itu,” celetuk Vian membuatku terkekeh geli, pasti yang dimaksudnya Ryan dan Sisca.
“Eh Bee, tak boleh gitu, ikut seneng dong dengan mereka berdua.”
“Diiihhh sebel, masa di tiap sudut ruangan cium-ciuman, kayakknya mereka sengaja tuh aku merana, padahal si Rasya langsung marah-marah kalau liat mas Ryan sama mbak Sisca mesra-mesraan, Rasya juga merana tuh ditinggal maminya.”
Dan tawaku berderai mendengar ucapan Vian, tak bisa membayangkan wajah Ryan dan Sisca yang sedang kasmaran itu.
“Duuuhh, kaciaaann sini sini kupeluk dan cium,” kucoba merayu Vian yang kini mulai merajuk.
“Tuh Fey, kau ini malah menyiksaku, alamat nanti mandi air dingin nih.”
“Dasar deh mesum larinya ke situ pasti.”
“Aline, makan siang dulu nih Mama udah buatin sup daun katuk ...” Mama tiba-tiba sudah berada di depanku.
Kuanggukan kepala, dan Mama tersenyum wajar saat melihatku memegang ponsel.
“Suruh pulang aja tuh si adek, kalau kangen, gangguin kamu terus.” Mama kini meminta Kavi dari gendonganku.
“Mama itu pasti, gangguin aja,” kudengar Vian menjawab, mendengar mama bicara.
Belum sempat aku menjawab, mama tiba-tiba menoleh ke arahku.
“Adeeeekkk, jangan keseringan mandi pake air dingin di malam hari, ya,” teriak mama membuatku langsung menahan tawa, mengerti apa yang diucapkan Mama untuk mengejek Vian. Lalu mama mengerling ke arahku dan tertawa lalu melangkah masuk ke dalam kamar.
“Tuh kan, Fey kau suka bilang sama mama, ya, kalau aku mandi malam hari?” Vian kembali merajuk.
“Eh, eh ... mama yang denger sendiri itu, kemarin pas aku loud speaker ... kamu kan yang bilang sendiri ga bisa nahan hasrat terus mandi tiap malam.”
Kudengar kekehan Vian di ujung sana.
Aku pun ikut tersenyum, mendengar tawanya.
“Bee, sehat kan? Bee yang kuat, ya, masalah Soni masih belum ada perkembangan?” Kali ini kucoba untuk mengulik masalah ini, karena Vian tak pernah mau bercerita soal itu.
“Fey tenang aja, mas Ryan itu pengacara handal, pasti bisa menangin kasus ini, meski Fey harus terus doain, ya, karena musuh kita kali ini memang banyak duit jadi ya kita harus lebih berjuang lagi. Doain aja, Fey, percayalah Tuhan selalu bersama kita.”
Kuanggukan kepala, selalu kalimatnya itu bisa membuatku tenang. Bersyukur punya suami yang sangat dewasa meski usianya lebih muda dariku.
“I love you, Bee.”
“Love you, too, Fey ... missing you badly.”
*****
“Mbak, jangan jauh-jauh, ya!” Kulihat Sari dan Nina, dua baby sitter yang dipekerjakan mama, untuk Kavi mengangguk dan mendorong kereta Kavi dan mengajaknya berkeliling.
Setiap sore, aku selalu mengajak Kavi ke Alkid, alias Alun- alun kidul ini. Menikmati suasana di sore hari dengan keramaian di alun-alun ini.
Banyak keluarga yang senang ke sini, atau pun wisatawan yang memang sedang menikmati indahnya kota Yogya ini.
“Permisi boleh mengganggu nona manis sebentar?” Aku terkejut dan kualihkan pandangan ke arah suara yang berada di sampingku. Dan aku pun terkejut, melihat seseorang yang tengah menyodorkan es krim cone kepadaku.
“Tian????”” Kutatap Cristian yang tersenyum ke arahku dan duduk di sebelahku. Ikut berdesakan dengan pengunjung lain yang sedang menikmati wedang ronde, ataupun makanan yang tersaji di sini, dari penjual yang berjejer rapi di pinggiran alun-alun.
“Hey, kenapa ada di sini? Bukankah sudah nyaman menjadi nyonya Vian di Bandung?”
Kujilat es krim yang diberikan Tian kepadaku. Kulirik Tian yang tampak di jari manisnya melingkar cincin putih itu. Aku mengernyit.
“Kau sendiri kenapa di sini? Seingatku dulu kau tak pernah mau kuajak liat gajah di sini.”
Dan terdengar tawa Tian berderai, sampai lesung pipitnya terlihat jelas di kedua pipinya itu.
“Lagian udah gede juga masih liatin gajah kamu ini,” celetuknya sambil menjilat es krimnya juga.
“Jadi, ini beneran udah nikah?” tanyaku ragu dan menunjuk ke arah cincin yang melingkar di jarinya. Dan seketika Tian menyembunyikan jarinya.
“Maaf.” Tian menatapku sendu dan pilu. Ada kesedihan di sana.
Kutepuk bahunya dan tersenyum. “Oke, semua memang sudah digariskan.” Tian juga menatapku lagi.
“Sampaikan maafku kepada Evan, aku benar-benar tak bermaksud, memisahkan Putri dan Evan.”
Kuangguki ucapannya tapi kulihat Tian tersenyum
“Kau sendiri kenapa balik ke Yogya? Sudah bosan dengan berondongmu?”
Dan kupelototi dirinya membuatnya tergelak.
Selanjutnya, meluncurlah ceritaku dengan lancar kepada Tian. Membuatnya mengerutkan keningnya, setelah mengakhiri ceritaku Tian kini tampak berdiri.
“Antarkan aku ke Bandung sekarang juga,” celetuknya membuatku bingung.
“Buat apa?”
“Aku ingin melibas itu musuh-musuhmu.”
Aku semakin tak paham. ”Maksudmu?”
Dan kulihat Tian tersenyum, senyum yang sangat tulus.
“Akan kubantu, Line, biar hidupmu tak diganggu lagi dengan keluarga Sonia dan Soni.”
Aku kini makin tertegun, tapi kemudian Tian menepuk dadanya sendiri.
“Aku sudah menjadi milyuner sekarang, akan kutolong kalian ... tenanglah”
“Tapi, Yan, itu tak perlu.” Aku ikut berdiri, tapi Tian menggeleng.
“Aku ingin melakukan ini, biarlah ... please biarkan aku membantu.”
Share this novel