Hakuna Matata

Drama Series 387

"Ar, Ar... Lo dengerin gue kan?" Cilla menepis lamunan ku, menggambarkan ciri-ciri siswa yang di maksud Cilla, kemudian aku menyamakannya dengan Kalvin. Semuanya sama persis dengan sang mantan. Dan sekarang gejolak rasa gugup tengah melanda ku. Oke setelah ini aku akan menemui cinta monyet ku.

"I-Iya, Cil. Gue denger," ucap ku.

"Malah ngelamun. Jadi kenapa bisa?"

Pertanyaan Cilla membuat ku dua kali gugup. Masa aku harus mengakui bahwa baru saja aku mengalami potongan adegan drama korea, dimana pemain utama sedang terjatuh kemudian di tolong oleh sang pujaan hati tanpa sengaja, akhirnya berujung ke hal yang seharusnya romantis. Tapi apa, ini bahkan bukan drama. Ini kesialan yang berkali-kali aku rasakan. Aku juga malu kalau mengakui Kalvin adalah mantan pacar ku. Yang ada Cilla akan membuat kehebohan setelah aku bercerita.

Aku pun berpura-pura bodoh saja, agar Cilla gak banyak tanya. "Apanya yang kenapa bisa?"

"Yassalam, dia gagal fokus pemirsa. Penonton kecewa!" ucapnya dengan mengambil napas panjang kemudian melanjutkan pertanyaannya.

"Yang gue maksud, kenapa bisa Kalvin ngambil tas lo, Argenta LOLA?" tanya Cilla dengan menekan kata lola alias lemot.

Binggo. Jadi benar itu Kalvin. Akhirnya tanpa aku harus bertanya siapa nama siswa itu agar tidak di kira kepo dan lebih antusias dibandingkan Cilla, terbukti juga itu Kalvin dari mulut Cilla. Karena aku tidak ingin membuat Cilla semakin ingin tahu tentang hubungan ku dengan Kalvin. Aku harus menceritakan kejadian itu sewajar mungkin tanpa dibumbuhi kisah SMP ku.

"Oh, Kalvin. Iya dia temen SMP ku dulu. Jadi gini lo Cil," tegas ku kemudian menceritakan kejadian yang tadi siang terjadi setelah mengantarkan tugas teman-teman kelas ke ruang guru kemudian aku terjatuh dari tangga, ketemu Kalvin dilanjutkan dengan adegan kebaikan Kalvin membawaku ke UKS, dan aku minta tolong pada Kalvin lagi untuk izin ke guru bahwa aku tidak ikut kelas yang kebetulan itu jam kosong. Karena Kalvin baik, dia sekalian mengambilkan tas ku di kelas karena tepat di jam itu merupakan jam pelajaran terakhir.

Yup, dengan tanpa ragu Cilla paham tentang cerita ku. Diapun tidak banyak tanya lagi. Meskipun ada sedikit pertanyaan yang sebenarnya malas aku jawab. Cilla memaksa ku untuk menjawab semua pertanyaannya tentang Kalvin di masa SMP yang aku tahu. Bagaimana tidak malas, dengan begini sama saja memaksaku untuk menberi pendapat tentang Kalvin secara tidak langsung.

Aku berusaha menghilangkan semua tentang Kalvin dari zaman aku masih kelas dua SMP hingga masuk SMA. Sekarang dihadapan Cilla, aku harus memberi tanggapan tentang Kalvin? Yang benar saja Cilla, jangan membuat ku mengingat kembali. Meskipun itu bukan tentang kisah ku bersama Kalvin, tetap sama saja itu akan membuat ku memikirkan sikapnya dan aku mengutarakanya ke Cilla.

Dengan berat hati, sekarang aku menjadi ahli berbohong. Aku berkata kepada Cilla bahwa Aku dan Kalvin di SMP tidak begitu dekat. Kami sekedar mengenal.

Kemudian kami masing-masing saling say good bye, karena mobil jemputan Cilla sudah di depan gerbang sekolah. Dan itu artinya aku bisa menghirup napas segar atas kebebasan ku terperangkap pertanyaan dari Cilla.

Aku kemudian kembali berjalan menuju tempat parkir sekolah. Cerita ku bersama Cilla membuat ku lupa jika saat itu aku sedang ditunggu seseorang. Ya, aku kembali gugup. Gugup menerima kenyataan bahwa orang yang gak aku ingin temui, lagi-lagi ingin ditemui. Kalvin.

Keadaan sekolah sekarang mulai sedikit sepi. Aku melihat dari arah kejauhan, siswa laki-laki berada didepan pintu parkir sekolah duduk di atas motor sporty hitam, mengenakan helm berwarna hitam juga senada dengan motornya melihat ke arah ku.

Aku masih dengan langkah kaki yang sedikit pincang, mendekatinya. Semakin dekat, semakin juga rasa gugup ku menyeruak dari ujung kaki ke pucuk kepala. Apa yang harus aku katakan pertama kali? Apa harus aku pura-pura tidak tahu siapa yang mengajak ku bertemu di sini. Saat itu raga ini ingin sekali pergi dari badannya. Ini akan baik-baik saja, pastinya.

Setelah aku berada di depan si mantan. Kalvin pun membuka helmnya, melihat ke arah kaki ku. Sepertinya dia ingin memastikan apakah kaki ku baik-baik saja.

"Masih sakit tuh kaki?" tanyanya tiba-tiba.

"iya," jawab ku menggantung. Padahal aku ingin sekali berbasah-basih bertanya apa benar dia yang meletakkan tasku di UKS, dan meninggalkan sebuah pesan singkat? Tapi pertanyaan itu aku urungkan, karena aku terlewat bodoh kalau masih bertanya seperti itu yang jelas-jelas hanya seorang Kalvin berada di tempat parkir sesuai petunjuk pesan singkat.

"Sorry, gue ngambil tas lo lancang. Gue pikir biar lo gak bolak-balik dari UKS ke kelas, kemudian pulang," ucapnya lagi terdengar basah-basih.

"thanks lo udah baik." hanya itu yang bisa aku ucapkan tanpa memandang wajahnya. Saat itu aku merasa motif di jalan tempat parkir yang sebenarnya monoton bentuknya kotak-kotak lebih menarik dari pada wajah mantan yang aduh gak tau harus di kata apa. Jadi posisi ku merunduk gak mau ke arah yang lain

"Lo balik naik apa?" tanyanya lagi.

"Naik gojek," jawab ku memaksakan berucap, dari pada harus ketahuan Kalvin jika aku salting alias salah tingkah.

"Lo makin gak sopan ya sekarang," tegurnya terang-terangan setelah melihat ku bersikap tidak sopan. Memang benar ini perilaku buruk. Kita tidak boleh berkata tanpa melihat lawan bicara kita. Itu dinamakan kurang sopan. Tapi bagaimana lagi, semua karena kepepet. Kepepet biar gak kelihatan salting.

Kali ini membuatku langsung melihat wajah Kalvin yang sedang menatapku angkuh. "eh so-sorry, gak-gak ada maksud. Gu-gue naik gojek online," jawabku terbata-bata.

Wtf. Apa yang aku ucapkan tadi semoga tidak menjelaskan ke Kalvin bahwa aku gugup. Aku malu sekali. pasti dia sadarkan bahwa aku sedang gugup.

"Lo bareng gue aja," JRENGGGG ajakan apa ini.....

Bahkan aku tidak berharap apapun. Aku hanya berpositif thingking menghilangkan semua dugaan-dugaan bahwa siswa itu bukan Kalvin, awalnya. Nyatanya, itu Kalvin dan sekarang ini dia mengajak ku untuk pulang bareng? What the hell.

"Tapi, tapi gue udah pesan gojek!" ucap ku tegas berusaha menolak ujungnya membuat alasan palsu. Mana ada aku pesan ojek online. Akhir-akhir ini memang iya aku naik ojek online karena sekarang aku belum menemukan antar jemput sekolah yang baru. Tetapi aku saja belum memesan apapun di aplikasi ojek online.

"Batalin aja," ucapnya sambil memakai kembali helmnya, kemudian dia menawarkan sebuah helm lain kepadaku.

"Tapi Vin," sebelum aku menolak lebih jauh lagi, dia semakin menyodorkan helm itu kemudian mengulurkan tangannya seolah-olah ada sesuatu yang dia minta kepada ku.

"Apa?" tanya ku.

"Smartphone lo," ucapnya.

"Buat apa? " tanya ku lagi makin bingung. Kenapa dia juga meminta smartphone-ku.

"Batalin gojek! Tadi pesan ojek online kan? Sini gue yang batalin," Kalvin menegaskan disambung pertanyaan yang berhasil bikin aku kalang kabut. Inilah hasil berbohong, skak mat. Aku bingung harus menyerahkan smartphone-ku atau tidak. Aku berpikir kalau aku menyerahkan smartphone-ku berarti aku tertangkap basah berbohong.

"Gak!" tegasku balik.

Kalvin mengernyitkan dahi bingung melihat tingkahku. Aku bisa membaca mimik wajahnya yang berpikir keras 'kenapa lo gak bisa santai, gue cuman bantuin lo doang batalin pesanan gojek'.

Persetan apapun yang Kalvin akan pikirkan tentang aku. Aku harus berusaha menolak memberikan smartphone-ku.

"A-aku aja yang batalin sendiri," ucap ku gugup. Bodoh sekali aku hari ini. Dengan berucap seperti itu berarti aku mengiyakan ajakan Kalvin untuk pulang bareng. Ingin ku berkata kotor. 'kotor-kotor-kotor'

"Oke, buruan naik." ucapnya. Kalvin sudah siap melajukan motornya. Sedangkan aku dengan muka asam, terpaksa menerima ajakannya. Aku memakai helm yang diberikan Kalvin. Aku menaiki motor sportynya, kemudian motor ini berjalan sesuai tujuan pengendaranya, rumah ku.

Seiring perjalanan mata Kalvin tidak henti-hentinya mencuri pandang ke arahku lewat spion. Aku yang diperlakukan seperti itu lantas risih. Seolah ada sesuatu yang aneh di wajah ku sehingga sekarang objek penglihatan Kalvin berubah curi-curi pandang. aku yang dengan sadar mengetahui tingkahnya hanya pura-pura tidak tahu.

Sesampainya di rumah, aku menyerahkan helm entah milik siapa. Kapan dipersiapkannya saja aku gak tahu karena yang aku tahu Kalvin mengendarai motornya sendiri. Jadi pasti helmnya juga dia bawa untuk dirinya sendiri.

"Makasih," kataku.

"Sama-sama. Yaudah gue duluan. Salam buat mama lo," ucapnya.

Terakhir kali Kalvin kesini, kita masih bersama. Setiap kali kesini pun dia diwajibkan mampir ke rumah oleh Mama. Karena aku anak tunggal, dan anak Mama Papa cewek seorang, Kalvin dianggap anaknya sendiri. Mama juga gak sadar jika pada saat itu aku dengan Kalvin ada hubungan cinta-cintaan. Pertama kali Kalvin mengantar ku pulang, Mama hanya beratanya 'itu siapa? Kasih dia uang upah antar kamu pulang sekolah, kasihan bensinya.'

Lucukan? Begitulah Mama ku, gokil. Di iyakan saja dari pada mama akan mengintrogasiku lebih lanjut. Masih teringat sekali pada saat aku memberikan uang upah antar pulang sekolah yang diperintahkan Mama, Kalvin linglung bingung gitu. Dia berkata pelan kepada ku 'apaan ini, Ar? Gue gak minta upah. Minta di sayang aja.'

Duh zaman yang alay gak perlu di ingat. Namanya mantan ya mantan. Jangan diingat, apalagi di harap. Kisah itu gak akan kembali. Bahkan gak perlu kembali juga, karena akhirnya bakal berujung yang sama. Seperti pernyataan beberapa orang bahwa yang sudah pergi jika dipaksakan kembali akan berujung yang sama, dia akan pergi juga.

Setelah Kalvin gak terlihat lagi karena belokan jalan di daerah rumah ku, aku masuk ke rumah. Seseorang di dalam sedang memperhatikan ku dari balik jendela. Sepertinya seseorang itu sudah lama di sana. Mama.

Aku bersiap-siap mendapatkan pertanyaan yang mengintrogasi dari orang dewasa ini. Benar saja, baru saja aku masuk ke rumah dan menutup pintu rumah ku, mama beraksi "siapa tadi, Kak?"

"Kebiasaan, mama gak sopan!" ucap ku malas.

"Kamu yang gak sopan, orangtua bertanya malah jawabnya gitu. Sini cium tangan dulu," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Akupun mendekati mama dan mencium punggu tangannya dengan wajah cemberut. Aku juga punya rasa malu jika ketahuan diantar Kalvin ke rumah. Sudah lama tidak ada yang antar jemput aku lagi. Bahkan aku selalu diantar jemput oleh mama semasa SMP. Sedangkan sekarang mama menyuruhku untuk mandiri. Dia sama sekali tidak khawatir tentang pemberitaan akhir-akhir ini tentang pelecehan seksual dengan jasa transportasi online. Jika ditanya seandainya terjadi apa-apa denganku, jawaban mama 'mustahil, gak ada untungnya nyulik anak bebek kayak kamu. Dilecehkan? Berani lecehin anak mama, mama potong jadi daging cincang kemaluannya'

SADISSSSSssssss... Beda bangetkan sama orangtua-orangtua di luar sana yang memiliki anak semata wayang.

"Mama tadi nanya, itu siapa?" tanya Mama ulang.

"Kalvin, Ma." ucapku ketus.

"Kalvin? Namanya kayaknya gak asing ya Kak," ucap mama sambil menebak-nebak pikirannya.

"Gimana gak asing, itu temen kakak yang dulu waktu SMP suka anter-jemput, terus Mama kasih upah itu," terangku.

"Oh, iya-iya Mama inget. Kok gak di suruh mampir?" tanya Mama lagi-lagi.

Ya LORD... Ada apa dengan hari ini, sepertinya hari ini penuh dengan tema Kalvin. Apakah aku harus berbohong lagi buat ngeles pertanyaan Mama? Tapi harus cari alasan apa? Dia kebelet pipis mangkannya keburu-buru, atau dia bosan ketemu Mama, atau anak kucingnya lagi beranak emergency. Gak ada jawaban yang bagus untuk pertanyaan ini.

"Dia keburu-buru, Ma. Dia mau jemput Mamanya. Jadi gak mau disuruh mampir," lagi-lagi aku menambah dosa berbohong di hari ini. Maafkan Baim Tuhan, Aim udah boong.

"Oh gitu, tapi udah lama banget ya Kak dia gak kesini lagi?" tanya Mama lagi. Apa lagi yang bisa aku perbuat untuk pertanyaan ini. Dari pada aku menambah dosa, aku menghindar saja dari pertanyaan ini.

"Kakak mules, Ma. Udah gak tahan, ke kamar mandi dulu ya, Ma."

Tanpa menunggu respon Mama, aku berlari menuju kamarku tanpa mempedulikan kakiku yang awalnya memang sakit banget. Untung saja kamar mandi rumahku di dalam kamar sendiri-sendiri. Aku tidak perlu berhadapan dengan Mama untuk menghindar jika dari kamar mandi luar.

Aku segera berganti pakaian, kemudian mengambil wudhu untuk menjalankan sholat 5waktu. Setelah itu Aku berbaring santai di atas kasur. Melelahkan sekali hari ini. Aku berniat tidur sebentar, satu setengah jam cukup untuk beristirahat kemudian bangun, mandi sore, sholat lagi dan siap belajar. Ini kegiatanku sehari hari. Aku terlelap dengan seiringnya waktu.

19.00 WIB.
Setelah belajar, aku berniat ingin menonton TV tapi ku urungkan karena kakiku ngilu lagi. Seseorang di balik pintu mengetuk pelan pintu kamarku.

"Kak, Kakak sudah selesai belajarnya?" suara Mama.

"Sudah, Ma."

"Mama boleh masuk?" tanya Mama masih di balik pintu.

"Boleh," kataku.

Setelah membuka pintu, Mama mendekatiku yang sedang rebahan di atas kasur. Tangan Mama membawa obat merah. Melihat ke arah kakiku Mama kemudia mengelus betisku lembut. Aku hanya terkekeh cengengesan.

"Habis atraksi dimana?" tanya Mama.

"Atraksi?" tanyaku balik.

"ini lutut kenapa luka?" ucap Mama sambil menunjuk kakiku.

"Habis salto di tangga, Ma. Lagian Mama kok tahu kakiku luka?" tanyaku balik.

"Gimana gak tahu, Kakak tadi pas lari kebelet buang air besar larinya pincang gitu. Mau mama tanya eh kabur duluan," ucap Mama menerangkan.

Aku hanya terkekeh. Jurus 'shunshin no jutsu' ala-ala naruto aku gunakan saat itu. Tahu film jepang naruto kan? Ya, Jurus ini membuat pengguna dapat berpindah tempat dengan jarak relatif tidak terlalu jauh.

"Kakak jatuh ma dari tangga, kakinya terkilir. Bangun tidur makin bengkak kaki Kakak." gumamku sambil mengelus-elus betis. Memang benar, setelah bangun tidur daerah mata kaki sebelah kiriku bengkak meskipun agak memar sedikit tapi timbul memarmya juga baru saja setelah bangun tidur.

"yasudah lukanya diobatin pakek ini, terus mama ambilkan balsem dulu buat bengkaknya ya, sekalian di urut dikit," ucap mama sambil menyodorkan obat merah.

Diapakan saja aku mau asal jangan di urut. Aku paling tidak tahan di urut. Pasti sakitnya bukan main. Tanpa di urut saja hanya sekedar di gerakkan kakiku sakit sekali. Apalagi di urut? Bisa teriak macam singa kelaparan meraung pakek toa masjid.

"Jangan di urut, Ma. Please, jangan di urut. Di rendem air hangat aja ya, jangan di urut," teriakku memelas.

"Kalau gak di urut kapan sembuhnya? Nurut sama Mama, gak sakit kok," gerutu Mama.

"Gak, Ma. Kakak gak mau," aku langsung menangis menolak karena memang itu sangat sakit.

"Apa sih, Kak. Malah nangis, belum diapa-apain juga. Yaudah, besok Mama mampir ke sekolah minta izin kamu gak masuk kelas, terus itu di rendem air hangat. Oh iya, izinnya buat besok aja ya, gak boleh manja!" gerutunya. Memang mamaku yang terbaik dari yang terbaik.

Masih dengan mata berkaca-kaca sisa memelas, aku mengambil obat merah di tangan Mama. Mama pun langsung pergi dari kamarku mengambilkan air hangat untuk merendam kaki, setelah itu membiarkanku istirahat.

Ku tetesi luka di lutut dengan obat merah, kaki ini aku rendam di air hangat. Aku membiarkan kaki ini beberapa menit di dalam air hangat rasanya nyaman sekali.

Gak lama kemudian smartphone-ku berbunyi sebuah notifikasi pesan whatsapp masuk.

081223xxxxx
Gimana sama kakinya?

Ini nomer siapa? Aku membuka foto profil dari si pemilik whatsapp messager. Gak ada angin, gak ada hujan, Kalvin mengirimkan pesan. Rasa apa yang harus aku utarakan saat ini akupun gak tahu, yang jelas aku bingung kenapa dia ada inisiatif untuk mengirimkan pesan.

Belum juga aku balas, sepertinya Kalvin tidak sabaran menunggu balasanku, kemudian dia mengirimkan pesan lagi lebih panjang.

081223xxxxx
Tadi bukannya lo pesan gojek ya? Sampai sekarang gojeknya sudah di batalin belum? Gue pikir belum. Sampai rumahpun gak ada tanda-tanda pegang smartphone kesayangan lo.

Doorrrr, mati di tempat saat itu juga. Berasa pemburu sudah menemukan mangsanya kemudian melepaskan pelatuknya dan mangsapun tewas. SKAK! Smartphone-ku kembali berbunyi.

081223xxxxx
Atau jangan-jangan lo bohongin gue?
Ping
P P
P P
P!!!!!!!! Jangan di read aja. Di balas!

NB : Hakuna Matata adalah pengertian dalam bahasa swahili yang artinya jangan khawatir.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience