Apakau kau ingin tahu tanda harga kesetiaan di mata manusia ciptaan Tuhan bernama wanita? Bagi seorang wanita, apalagi yang sudah pernah merasakan melahirkan seorang jabang bayi, bahkan hingga berlusin-lusin anak. Harga sebuah kesetiaan bagi mereka ialah sama halnya dengan harga kematian. Nyawa dibayar dengan nyawa, perselingkuhan dibalas dengan perselingkuhan, pengkhianatan merupakan hal yang patut dibayar mahal bagi sang pelaku.
Sepele saja jika perselingkuhan hanya dibalas dengan hal yang sama.
Kerana fenomenanya saat ini, perselingkuhan banyak yang dibayar dengan
nyawa. Pembunuhan menjadi kasus yang lumrah di zaman sekarang, bukan
hanya bagi mereka yang sudah bertahun-tahun menjalani hidup bersama,
tetapi ada juga yang masih pacaran, ketahuan kekasihnya main serong,
maka seketika itu juga nyawa akan sebegitu murah harganya.
“Rumput tetangga memang lebih hijau,” begitu kata Maher . Lelaki
berusia 45 tahun yang sudah dikaruniai empat orang anak. Sudah 25 tahun
dia membina rumah tangga dengan seorang gadis desa, yang dulu merupakan
sosok tercantik di kampungnya.
“Ayederma , isteriku. Sekarang sudah tak cantik lagi seperti dulu. Lihat
saja, setiap hari memakai daster. Lemak di tubuhnya sudah menjalar
dimana-mana. Aku ingin cari daun muda, Bar !”
Barden , teman dekatnya sejak SMA tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan
Maher . Kopi yang hendak diseruputnya batal ia minum, diletakkannya
lagi di atas meja.
“Kau tidak takut kualat, Par?” tanya Barden , tangannya meraih kembali
gagang cangkir kopi yang tadi batal diminum.
“Maksudmu kualat bagaimana?” Maher ikut-ikutan menyeruput kopi yang
tinggal setengah cangkir.
“Risikonya besar, Par. Kalau isterimu sampai tahu, bisa dicerai kau
nanti,” Jawab Barden .
“Oh ya? Tapi kuperhatikan kau aman-aman saja, Bar. Isterimu sudah dua,
dan sekarang kau masih main daun muda, apa mereka juga tidak marah?”
Maher menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Barden kembali tertawa terbahak-bahak.” Itu kerana mereka perempuan yang
penurut, Par. Dirayu saja pakai uang, perhiasan, serta janji-janji
palsu, mereka sudah bertekuk lutut.”
Maher hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Barden . Temannya yang
satu ini memang pandai menaklukkan hati wanita.
“Aku sudah lama memendam rasa tapi yang sebenarnya, aku ingin seperti kau, Bar! dapat menaklukkan hati dan dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik dengan tubuh yang penuh ghariah. Aku bosan dan muak dengan benjolan lemak-lemak di tubuh Ayederma , juga bauan tubuhnya yang ku labelkan ‘minyak wangi’ diperbuat daripada segala jenis bawang yang setiap kali ku kucup saat pulang kerja. Adakalanya dia yang berlari mendapatkan ku, aku seboleh-bolehnya mengelak kerana aku dahlah pening, stress balik dari kerja, datang pula makhluk penuh aroma menjengkelkan, bertambah semak hidup!”
Barden menepuk pundak sahabatnya. Ia membisikkan sesuatu di telinga
Maher . “Jangan sampai telat ya, Par. Gunakan pakaian terbaikmu,
belilah kau parfum, jangan bau bawang pula kau nanti.” Ucap Barden seraya
beranjak meninggalkan kedai.
Maher bersungut-sungut dikatakan bau bawang, tapi dalam hati ia amat
senang. Mulai malam ini kehidupannya yang membosankan akan segera
berubah 180 derajat.
Malamnya Maher menepati kata-kata yang diucapkan siang tadi di kedai
kopi. Ia mengenakan kemeja berwarna abu-abu gelap, celana panjang hitam,
dan sepatu kets, sudah mirip seperti anak muda lagi. Rambut yang
biasanya dibiarkan kering dan kusut, kini sudah disisir rapi lengkap
dengan minyak rambut aroma buah leci. Sudah lama sekali ia tak merasa
setampan ini. Lalu ia berpamitan pada sang isteri, mengatakan bahwa malam
ini ia akan bertemu orang penting untuk urusan bisnis menjanjikan. Tentu
saja kedua bola mata Ayederma bersinar layaknya bulan purnama, padahal
malam itu sedang bulan sabit. Mendengar kalimat suaminya barusan, ia
senang bukan kepalang. Dirapikan kerah baju Maher berkali-kali,
memastikan bahwa suaminya sudah tampil sebaik mungkin.
Tepat pukul delapan, mobil Barden sudah terparkir di halaman rumah
Maher . Tanpa rasa curiga sedikit pun, Ayederma mengantar kepergian sang
suami.
Mobil yang dikendarai Barden melaju pelan, menembus jalanan kota yang
macet. Sesekali Maher bercermin merapikan rambut klimisnya. Barden hanya
tertawa melihat tingkah laku Maher , ia masih terlalu lugu untuk urusan
satu ini.
Sesampainya di sebuah kafe, mobil tersebut berhenti. Maher celingukan,
melihat banyak pasangan berlalu-lalang di hadapannya.
“Bar, kau tidak salah mengajakku ke sini? Aku kan tidak membawa
pasangan,” kata Maher .
“Tenang saja, Pardi. Tidak lama lagi kau juga kan dapat pasangan yang
jauh lebih cantik dan seksi daripada isterimu Ayederma ,” Barden meraih
ponsel di sakunya. Menelepon seseorang, menanyakan keberadaannya. Tak
lama kemudian Barden mengajak Maher masuk ke dalam kafe.
Share this novel