Masa Lalu Terungkap

Family Series 4281

Aku tengah menyiapkan teh saat Kenzi ikut bergabung bersama kami di ruang makan.

"Hoah." Bocah itu menguap. "Dedek masih ngantuk, Bun."

"Loh, emangnya dedek tidur jam berapa tadi malam?" tanya bu Alya.

"Jam sepuluh. Sampe di sini dedek langsung tidur."

"Terus kenapa masih ngantuk?" tanya kakek.

"Itu, Kek. Tadi malam ... Kak Andin tiba-tiba ngigau manggil-manggil mama dan papanya." Kenzi menatapku dengan lugu.

Mendengar ucapan bocah itu, hampir saja aku menjatuhkan cangkir keramik yang sedang aku pegang.

"Gue ... ngigo?"

Kenzi mengangguk. "Iya. Kak Andin sampe nangis segala. Dedek jadi takut, makanya nggak bisa tidur."

Kakek menatapku dengan sedih. "Andin, kamu kenapa nggak cerita sama kakek kalo kamu masih trauma dengan kejadian itu?"

Aku berusaha tersenyum. "Aku udah nggak apa-apa kok, Kek. Jangan terlalu khawatir."

Aku memutuskan duduk di samping kakek, menghindari tatapan penuh tanya dua orang dewasa di sebelah Kenzi.

"Kalau boleh tahu, apa yang terjadi, Pak Brata?" tanya bu Alya pada kakek.

Kakek menatapku sebentar, sebelum akhirnya mulai bercerita. "Enam tahun yang lalu, orang tua Andin meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat. Saat itu usianya sama dengan Kenzi. Andin merasa sangat kehilangan."

Bu Alya menatapku dengan tatapan prihatin. "Ibu dan bapak turut berduka, ya Andin."

"Its ok, Bu. Aku udah nggak apa-apa, kok." Aku tersenyum tipis sembari memainkan sendok di cangkirku.

"Jenazah keduanya hingga saat ini tak pernah ditemukan. Sejak saat itu, Andin selalu bermimpi buruk. Tanpa sadar, dia selalu memanggil orang tuanya. Itulah mengapa saya tak pernah membiarkannya tidur sendirian. Biasanya ada bi Ani yang menemaninya. Tapi sekarang, keadaan sudah sangat berbeda," lanjut kakek. Pria tua itu mengusap sudut matanya yang basah.

Aku bangkit, lalu memeluk kakek dari belakang. "Ayolah, Kek. Aku sudah nggak apa-apa. Aku baik-baik aja, kok. Kakek nggak perlu khawatir. Aku bisa tidur sendiri mulai sekarang."

Aku melihat Kenzi ikut menatapku sedih. Mata bulatnya mengerjap pelan. "Dedek mau kok nemenin Kak Andin tidur, biar nggak sedih lagi."

"Uhuk." Tiba-tiba, pak Bagas tersedak teh panas yang sedang diminumnya. "De-dedek ngomong apa barusan?"

Bu Alya melotot mendengar ucapan Kenzi. Bola matanya hampir keluar menembus kacamata. "Dedek ngomong apaan, sih?"

"Dedek cuma mau nemenin kak Andin tidur, Bunda. Kasian kak Andin kalo tiba-tiba nangis sendirian di kamar."

Aku setengah mati menahan tawa. "Nggak usah sok-sok mau nemenin gue, deh. Lo aja penakut plus cengeng. Yang ada kalo gue tidur sama lo, gue harus dengerin tangisan lo tiap malam karena rindu sama bonyok lo."

"Bonyok? Apa itu, Kak?" Kenzi menatapku tak mengerti.

"Bokap, nyokap. Dih, nggak gaul lo."

PLETAK!

Sebuah sendok kayu melayang ke kepalaku.

"Kakek! Ish, sakit tau!" Aku meringis mengusap ubun-ubunku yang sakit.

Kakek menatapku sewot. "Nggak usah ngajarin bahasa gaul sama Kenzi. Ngomongnya juga jangan pake elo gue, elo gue."

"Terus gimana? Pake aku kamu, apa pake sayang-sayangan?"

Kakek kembali melempar garpu kayu ke kepalaku. "Nih, anak. Kan kakek sudah bilang harus bisa jadi contoh yang baik buat Kenzi. Sekarang kamu jadi kakaknya. Ngomong jangan pake elo gue, tapi pake kakak adek. Paham?"

Aku menolak. "Nggak, ah. Bukan Andin namanya kalo ngomong pake kakak adek, apa lagi dedek-dedek." Aku melirik Kenzi dan bocah itu menunduk malu.

"Oke. Kalo kamu nggak mau ngomong seperti itu sama Kenzi, mulai hari ini uang jajan kamu kakek potong 70%."

"Eh, eh. Jangan dong, Kek." Aku merengek. "Oke, dah. Oke."

Pak Bagas tersenyum lebar. "Kalau begitu, mulai sekarang Nak Andin juga jangan panggil kami bapak dan ibu lagi. Panggil saja ayah dan bunda, sama seperti Kenzi."

"Iya. Lebih enak seperti itu. Iya kan, Dek?" tanya bu Alya pada Kenzi.

"Iya, Bun. Kak Andin mulai sekarang panggil orang tua dedek ayah dan bunda, ya?"

"Iya. Bawel banget, deh."

"Andin ...." Kakek melirikku sambil mengangkat tatakan gelas yang entah sejak kapan sudah di tangannya.

"Iya, Kek. Iya." Aku mengangkat kedua tanganku, melindungi kepala. "Dedek, mulai sekarang kakak akan panggil ayah dan bunda, ya! Oke?"

Kenzi tertawa. "Oke, Kak."

Siang itu, kami menghabiskan waktu dengan suasana yang terasa lebih hangat dari pada mentari di luar sana. Aku merasa, baru kali ini aku bisa membuat kakek tertawa lepas untuk pertama kalinya. Bukan karena saham di perusahaannya melonjak naik. Bukan juga karena dirinya berhasil memenangkan tender besar di negara lain. Tapi karena dia bahagia melihatku mulai memperbaiki hidupku yang berantakan.

"Jadi, apa Kak Andin boleh tidur sama dedek?"

Pertanyaan Kenzi yang tak kunjung mendapatkan jawaban sukses membuat ayah bundanya kembali terdiam. Mereka berdua saling pandang, lalu melirik kakek untuk meminta bantuan.

"Kenzi." Kakek berkata dengan hati-hati. "Kak Andin boleh tidur sekamar dengan Kenzi, tapi tidak boleh satu tempat tidur, ya!"

Kenzi mengerutkan keningnya, tanda tak paham.

"Begini loh, Sayang. Kenzi kan udah besar. Kan Andin juga gitu. Jadi, kalian tidur di tempat tidur masing-masing. Kenzi cukup jagain kak Andin dari jauh. Kalo kak Andin mulai nangis lagi, Kenzi cukup bangunin aja. Gimana?"

Tampaknya penjelasan dari bu Alya membuat bocah itu sedikit mengerti.

"Oke, deh. Dedek paham."

"Kalo gitu, gimana kalo kalian pindah ke kamar tengah aja. Kakek rasa kamarnya lebih luas, jadi bisa dipasang dua tempat tidur di dalamnya."

"Ide bagus, Pak. Tuh, bunda setuju sama saran kakek. Dedek setuju, kan pindah ke bawah?"

Kenzi mengangguk, lalu matanya meminta persetujuanku.

"Aku terserah kakek aja. Tapi, Kek lebih baik aku tidur sendiri. Gimanapun, aku harus bisa ngatasin traumaku sendiri, kan? Sampai kapan aku harus bergantung dengan orang lain terus?"

Kakek tampak manggut-manggut. "Jadi, kamu nggak mau sekamar sama Kenzi?"

Aku menggeleng. "Lagi pula aku perlu belajar giat untuk mengejar nilaiku yang anjlok."

"Baiklah kalo gitu. Berarti kamu tetap di atas dan Kenzi pindah ke bawah?" tanya kakek.

"Eh, nggak bisa, dong," seru bunda Kenzi tiba-tiba.

"Lah, kenapa, Bun?"

"Kalo jarak kamarnya terlalu jauh, nggak bagus juga. Kalo malam tiba-tiba dedek butuh sesuatu, gimana?"

"Sudahlah, Pak Brata. Biar mereka berdua sekamar saja. Sesuai rencana kita yang tadi. Saya takut terjadi apa-apa kalo kamar mereka tidak berdekatan. Bisa saja Kenzi tengah malam terbangun ingin minum dan sebagainya, tapi takut sendirian ke kamar mandi."

Kakek mengangguk setuju. "Gimana, Andin? Kakek rasa nggak apa-apa kalau kalian tidur sekamar."

Aku menyerah. "Oke, terserah kakek saja." Dalam hati aku merutuki pilihan kakek. Maksudnya, aku disuruh jadi babysitter si Kenzi, gitu?

"Ya sudah. Ketentuan pertama sudah ditentukan. Kalau begitu, kita akan beralih ke ketentuan selanjutnya." Bunda Kenzi menatapku seraya tersenyum penuh arti.

Apa? Masih ada ketentuan lain? Bakal serumit apa hidupku setelah ini?

To Be Continued

Hope you will enjoy this story. Ciao.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience