BAB 64
“Sorry, Line, aku belum sempet ke Bandung jenguk kamu. Padahal banyak yang pengen aku ceritain, terutama soal si Tian itu. Dia bodoh sih, dari dulu itu dia cinta sama kamu, cuma bisanya dipendem gitu aja. Setelah kamu nikah, dia jadi kayak kehilangan semangat gitu.”
Kucerna ucapan Nadia di ujung sana, aku membeku,
benar-benar membeku mendengar ucapan sahabatku itu.
Tadi setelah keributan di depan restoran, kami akhirnya melanjutkan acara makan kami. Meski aku tahu semuanya tak ada yang bernafsu lagi menyentuh menu yang disajikan. Terutama Evan yang sedari tadi hanya terdiam.
Keluarga Putri dan rombongannya memang tadi langsung pergi sesaat setelah keributan terjadi. Aku tak tega melihat Putri menangis meraung-raung dan dibawa paksa oleh keluarganya.
Sedangkan Tian sendiri dia hanya mengucapkan sesuatu yang membuatku seketika menampar wajahnya. Entahlah saat itu aku, kalut mendengar ucapannya. Aku bertanya kepadanya, kenapa dia bisa bertunangan dengan Putri. Dan dia, menjawab kalau itu pernikahan bisnis. Dia telah membeli Putri dari orang tuanya yang berutang milyaran kepada keluarga Christian. Aku juga pusing, tapi aku marah saat Tian bilang tak akan melepaskan Putri. Bagaimana bisa sahabat yang sangat kukenal baik selama ini mengucapkan sesuatu seperti itu. Dia akan melepaskan Putri kalau aku bersedia menjadi pengganti Putri. Kena setan dari mana si bule itu sampai berkata keji seperti itu. Emosiku memuncak dan kutampar wajahnya, tapi setelah itu aku melihat wajahnya berubah menjadi sedih dan matanya menghunjam ulu hatiku kalau dia sebenarnya terluka. Tian pergi dariku begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Aku pusing, bingung dengan sikapnya, dan sekarang makin pusing saat mendengar penjelasan dari Nadia lewat ponsel.
“Kau jangan gila deh, Nad, Tian itu memang dari dulu sayang denganku, tapi tak mungkin mencintaiku,” jawabku menyangkal pernyataan Nadia.
“Heh, kau ini selalu ngeyel. Sejak kau menikah, Tian jadi patah hati dan kerjaannya keluar masuk club malam, gandeng cewek-cewek yang bisa diajaknya one night
stand. Dia jadi playboy kelas kakap, Line. Aku juga pusing dengan kelakuannya. Saat kutegur, dia bilang dia tak bisa mencintai lagi, karena hatinya sudah dibuang ke laut setelah kau menikah. Dia patah hati sampai mami dan papinya memaksa Tian untuk segera menikah. Kalau tidak dia tak akan mendapatkan warisan yang ratusan milyar dolar dari keluarganya di Inggris sana. Dan datanglah penawaran itu. Tian selain mengelola hotel milik keluargaku kan dia juga punya perusahaan yang bergerak di bidang industri garmen. Dan papanya Putri itu terbelit utang dengan perusahaan Tian. dan papanya dengan kejamnya menjual Putri kepada Tian. Tian yang memang sedang bingung, akhirnya menerima penawaran itu, karena sebentar lagi batas yang diberikan keluarganya untuk menikah makin dekat.”
Aku kembali terhenyak mendengar penjelasan Nadia. Kenapa menjadi rumit seperti ini??
“Besok, Line, aku ke Bandung dan kucoba bujuk lagi sepupuku itu, dia masih berada di Bandung dengan keluarga Putri sampai akhir bulan ini. Kau sabar, ya, bilang sama Evan suruh berdoa, semoga Putri tetap menjadi jodohnya ... ehhmmm Aline, aku kangen sama kamu dan pengen liat Kavi. Salam juga buat Vian, ya, berondong manismu, heeee.... udah dulu, ya aku masih harus apel nih. Bye bye.”
Tuh kan, belum sempat menjawab juga itu Nadia
selalu mematikan ponsel terlebih dahulu, dasar.
Kumasukkan lagi ponsel ke dalam saku. Tiba-
tiba kurasakan sebuah rengkuhan hangat menarikku dan kini kurasakan tubuhku semakin hangat dengan dekapan tangan milik Vian.
“Hey ... serius banget,” Vian mengecup pipiku lembut
membuatku menyandarkan kepala di dadanya.
“Bee ..., Kavi mana?” Kutolehkan wajahku ke arah Vian.
“Sama mbak Sisca diajak muter-muter belanja tuh, biarinlah mereka pengen punya bayi.”
Aku tersenyum mendengarnya. Tadi setelah makan dari Sapu Lidi, kami hanya berkeliling sebentar dan akhirnya memutuskan untuk pulang karena suasana hati kami sudah berubah. Aku sedang berdiri di taman di belakang café. Evan langsung melangkah ke arah kamarnya sejak tadi dan mengurung diri di dalam. Rasya sendiri langsung menghambur ke café, melakukan tugasnya sebagai kasir. Dia lebih fokus sekarang ini dan mulai belajar tentang manajemen café. Benar-benar titisan om Dewa.
“Ehmm habis telepon siapa?” Kurasakan Dagu Vian bersandar di bahuku. Tangannya mengusap-usap perutku yang terbungkus sweater warna pink pemberian Vian dulu saat di Glasgow.
“Nadia, aku meminta penjelasan kepadanya kenapa Tian mau dijodohkan dengan Putri,” ucapku membuat Vian kini menarikku untuk duduk di bangku taman. Hari sudah hampir maghrib. Lembayung senja sudah menghiasi langit di atas kami.
Aku suka dengan suasana seperti ini, tampak syahdu dan mendamaikan hati. Tapi kemudian Vian malah membuatku duduk di pangkuannya, bukannya mendudukkanku di sebelahnya.
“Ehm Fey, belum cerita tadi Fey kenapa menampar bule itu ...” Vian memainkan rambutku yang tergerai sebahu ini sembari menunggu jawabanku.
Kuhela napas dan mengusap lembut wajahnya yang terlihat semakin tampan dengan bulu-bulu halus yang mulai menjadi cambang menghiasi wajahnya itu.
“Kau tahu kalau Tian itu ... ehmmm mencintaiku?” tanyaku ke arahnya, dan kurasakan tubuh Vian menegang. Tapi kemudian mengusap wajahku, menelusuri tiap mata dan hidungku lalu berhenti di bibirku.
“Dulu, saat aku mengejarmu, aku pikir kau memang pacaran dengan bule itu. Aku cemburu melihat keakraban kalian, bahkan dari pertama melihatmu pulang diantar olehnya aku tahu kalau dia mencintaimu. Naluri laki-laki, Fey, makanya aku secepat kilat menikahimu takut kalau dia memilikimu.”
Kenapa semua orang sangat peka melihat keakraban kami? Bunda dulu juga pernah bilang seperti itu, kalau Tian mencintaiku. Nadia juga berkali-kali, mengatakan itu. Sedangkan aku mungkin saat itu masih tertutup perasaanku akan cinta semuku kepada Ryan sehingga perhatiannya tak kuanggap cinta.
Sentilan di hidungku membuatku tersadar dari lamunan.
“Hey, kenapa? Menyesal tak menika6h dengan bule itu?” celetukan Vian membuatku ingin menggodanya.
“Ehmmmm ... huuum kenapa, ya, dulu Tian tak mengajakku menikah langsung, lumayan dapat bule,” ucapku membuat wajah Vian makin memberengut dan kini terlihat kusut itu.
“Tak boleh, Fey itu milikku, sejak lahir pun sudah diciptakan untukku. Kau ini tulang rusukku, bukan tulang rusuk bule jadi-jadian itu,” ucapnya membuatku tergelak. Tapi kemudian kuajukan wajahku dan mengecup bibirnya yang masih mengerucut itu.
“Ecieee, cemburu, ya ... lucu deh ... ya tak mungkin lah cause my heart belong to you, beby,” rayuku ke arah Vian membuat Vian langsung merengkuh wajahku dan segera melumat bibirku. Aku pun mengikuti ciumannya, kukalungkan kedua tanganku di lehernya dan mulai membalas ciumannya.
“Ehemmmm, ehemmmm sensor sensor! Adegan 17 plus plus tak layak, tak layak,” celetukan suara Rasya membuatku dan Vian melepaskan ciuman kami.
Di hadapanku kini Rasya telah berdiri dengan menghisap permen lolipop di mulutnya.
“Dih ganggu aja, udah sono jagain kasir, kalau dicolong tuyul lu yang tak suruh ganti,” ucap Vian membuat Rasya menyeringai.
“Tuyulnya udah Rasya japu- japu, tenang aja, itu dicariin kakak bule yang tadi sama si putri pacarnya kak Evan.”
Ucapan Rasya,seketika membuatku dan Vian langsung berdiri.
“Maksudmu Tian dan Putri ada di sini?” tanyaku bersamaan dengan Vian.
*****
“Jadi maumu apa?” ucapan Vian yang sinis kini membuatku menggenggam jemarinya dan berusaha menenangkannya.
Saat ini aku, Vian, Evan, Tian dan Putri telah berkumpul di dalam rumah. Di pojok dekat ruang tengah, Sisca sedang menidurkan Kavi ditemani Ryan yang baru saja pulang belanja.
Putri sudah berada dalam dekapan Evan. Dan kulihat Tian mengusap rambutnya yang bewarna merah bata itu. Aku mengerti dia juga kalut.
“Maaf, tapi aku sebenarnya ingin membuat penawaran.”
Wajahnya yang kini menatapku intens. Dia gila kalau berani mengungkapkan idenya itu.
“Jangan gila, Tian,” ucapku ke arah Christian membuat Vian kini makin merengkuhku mendekat ke arahnya.
“Penawaran apa, Kak? Jangan berbelit-belit!” Kali ini Evan yang berteriak dengan emosi.
Tian menghela napasnya, dan kemudian meluncurlah cerita yang sama persis dengan yang diceritakan Nadia tadi.
Aku membeku mengetahui niatnya.
Setelah selesai bercerita Tian menatapku.
“Line, dari dulu aku mencintaimu, dan tak ada yang bisa menggantikanmu, kalau bukan Putri, aku hanya ingin menikah denganmu!” Ucapannya seketika membuat Vian berdiri dari sampingku dan langsung mencengkeram kerah baju Tian.
Sedangkan Evan juga merangsek maju dan kini berdiri di depan Tian dengan mengepalkan tangannya.
“Kau sialan, maksudmu apa, huh? Mau menjadikan Fey alat pertukaran dengan Putri, huh?” teriak Vian dengan suara menggelegar membuatku seketika berdiri dan Ryan juga berlari ke arah Vian.
“Sialan kakak gila, sama saja orang gila seperti papanya Putri yang menjual dirinya kepadamu!” Evan kini ikut mencengkeram baju Tian. Aku ngeri melihatnya.
“Noooooo, aku tak akan membiarkan Mbak Aline sebagai alat pertukaranku, kak Tian, bawa aku, nikahi aku tapi jangan mbak Aline!!!” Kini Putri menghambur ke arah Tian membuat kepalaku berdenyut dengan kencang dan sekali lagi bumi yang kupijak terasa berputar dan bergoyang.
Kuhela napas, mencoba mengaturnya, dan mencoba untuk tak jatuh tak sadarkan diri. Vertigoku ini kadang membuatku tak bisa berkutik. Tiap mendapatkan masalah yang tak bisa kutolerir, selalu dan selalu vertigoku hadir dan menghadang. Aku mencoba untuk kuat, tak ingin membuat semuanya khawatir. Kukerjapkan mata dan akhirnya bisa kuatasi mencoba untuk menghalau vertigoku ini aku berjalan dengan cepat ke arah Tian yang masih dicekal oleh Evan dan Vian.
“Please aku ingin bicara berdua denganmu!” tunjukku ke arah Tian membuat Evan, Putri yang masih menangis bersimpuh di lantai, dan juga Vian yang masih mencengkeram kerah baju Tian kini menoleh ke arahku.
“Fey, jangan gila, tak akan kuizinkan!” Vian sudah menatapku untuk tak usah ikut campur. Tapi tak kupedulikan Vian dan Evan, segera kutarik Tian untuk berdiri, membuatnya terlepas dari cengkeraman Vian. Lalu dengan kasar kutarik Tian untuk mengikutiku. Entahlah aku mendapatkan kekuatan dari mana bisa menarik tubuh Tian melewati Vian, Evan, Ryan dan juga Sisca.
“Fey, aku ikut!” Vian sudah menarik tanganku, tapi aku menoleh ke arahnya.
“Please, Bee,” mohonku ke arahnya, dan Vian akhirnya melepaskan tanganku dan mengangkat tangan.
“Ok, tapi jangan lama-lama,” jawabnya memberiku waktu. Aku mengangguk dan menarik Tian melangkah menuju taman belakang.
*****
“Kau mau mati, huh?” Kupukul lengan Tian saat kami sudah berada di taman belakang. Tian menatapku lalu mengusap keringat dingin di wajahku.
“Kau sakit, kan? Dari dulu kok bandel kalau dibilangin, jangan kecapekan, Line,” ucapnya. Tapi kudorong tubuhnya, dan kini menatapnya tajam.
“Christian, jangan berusaha untuk perhatian denganku, aku mengenalmu dengan baik, selama ini, tapi sekarang kenapa kau seperti orang asing. Hentikan kegilaan ini.”
Tian mengacak rambutnya dan kini menatapku, aku sedikit bergeser dari dudukku, karena tatapannya yang kini mengintimidasi.
“Line, tak ada di dunia ini yang gratis, kau tahu berapa perusahaan papanya Putri berhutang?” Tian menatapku, aku pun menggelengkan kepalaku.
“100 milyar,” jawabnya membuatku tercekat dan kini menatapnya dalam.
“Banyak sekali,” ucapku lirih membuat Tian mengangguk. Lalu menatap langit yang mulai gelap di atas kami.
“Andai aku pun bisa, aku akan melepaskan Putri. Aku tak bisa menjadi kejam, lagipula Putri masih terlalu kecil untukku yang sudah om om ini, kan?” ucapnya mencoba untuk bercanda. Kutatap wajahnya kini yang menyiratkan kelelahan.
“Tapi aku tak bisa, karena aku juga membutuhkannya. Aku butuh dia untuk kunikahi karena 2 minggu lagi keluargaku memberi batas waktu. Kalau aku tak menikah otomatis aku dicabut dari ahli waris,” ucapnya lagi lalu menunduk dan kini memainkan jemarinya sendiri.
“Memangnya tak ada wanita lain? Yang bisa kau ajak nikah?” tanyaku perlahan membuat Tian kini menatapku dalam.
“Ehm ... aku ingin menikahimu,” ucapannya membuatku menjitak kepalanya.
“Tuh kan, mulai lagi, lama-lama kau kumasukkan ke rumah sakit jiwa,” celetukku membuatnya tersenyum tipis, tapi kemudian menghela napasnya lagi.
“Rosaline Prameswari, resepsionis dan anak buahku dan sahabatku yang kucintai, kau ini satu-satunya yang kucintai, dan tak ada yang lain hanya kau, Line, tapi aku kan tahu kau hanya menganggapku sahabat dari dulu, dan aku terima itu, aku juga tak pernah memaksamu, hanya saja aku tadi hanya ingin mengucapkannya,” ucapnya absurd aku pun menoleh ke arahnya dengan bingung.
“Jadi maksudmu apa membawa Putri kemari dan membuat penawaran? Kau benar-benar ingin menukarku, huh?”
Dan meledaklah tawanya membuatku makin mengernyit
“Kau mau? Kunikahi? Aku ini calon milyarder, Line, bisa menghidupimu sampai 7 turunan,” ucapnya membuatku menatapnya tapi saat aku ingin menjawabnya dia sudah menepuk rambutku.
“Bercanda, Line, aku tak mungkin, kan? Dari dulu pun aku juga bisa memintamu untuk menjadi istriku, tapi aku tahu kau tak mencintaiku.”
“Jadi apa maksudmu?” Kusipitkan mata ke arahnya masih belum mengerti permainannya.
“Aku hanya menguji Evan dan suami berondongmu tadi, wajahnya lucu ya kalau marah. Aish aish, dia memang sangat mencintaimu, Line, salut dengannya. Dan tak mungkinlah aku melakukan hal gila ini. Aaku ke sini hanya ingin melihat ketetapan hati Evan dan mempertemukan Putri dengannya. Aku tak tega melihat Putri menangis terus,” ucapnya membuatku menarik tangannya dan menepuknepuknya.
“Jadi kau hanya bercanda? Kau akan menggagalkan pernikahan ini, kan?” ucapku antusias tapi kemudian Tian menggelengkan kepalanya.
“Aku memang bercanda akan menukar denganmu, tapi aku tidak bercanda dengan Putri. Aku tetap akan menikahinya karena semuanya sudah direncanakan, bahkan mami papi juga sudah menyiapkan semuanya di London.”
“Tian, apa yang kau rencanakan kau masih tega menikahi Putri?” pekikku terkejut.
Kuhempaskan tangannya lagi, tapi kemudian Tian menepuk rambutku.
“Tunggulah, Aline. Semuanya akan berjalan dengan baik. Semuanya akan kembali seperti semula, aku tak mungkin menyakiti Putri dan Evan tapi untuk saat ini aku memang harus melakukannya,” ucapnya membuatku sekali lagi merasakan pening.
****
Kulipat mukena setelah melaksanakan sholat isya, berjamaah dengan Vian rasanya sangat damai.
Tadi Tian memang langsung berpamit pulang, setelah meminta maaf dengan Evan dan Vian karena telah membuat kekacauan, tapi dia juga minta maaf kepada Evan karena tak bisa melepaskan Putri.
Aku tak tega melihat Putri yang memeluk Evan untuk terakhir kalinya. Meski masih tak rela, tapi Evan mengerti posisi Tian. Putri saat berpamitan denganku hanya mampu menangis sedih dan berpesan untuk menjaga Evan.
Entahlah, apa lagi yang akan terjadi, aku juga masih bingung.
“Fey, sudah tidur, yuk,” ucap Vian membuatku menoleh ke arahnya yang tengah menggendong Kavi. Ia telah tertidur pulas.
Kulangkahkan kaki menuju Vian dan kucium Kavi dengan lembut.
“Fey, tak boleh kelelahan, biarlah semuanya berjalan sesuai takdirnya, Fey. Kita pun tak bisa mengubahnya, kan? Si bule itu juga aku lihat terpaksa melakukan ini semua,” ucap Vian membuatku menghela napas.
“Entahlah, Bee, aku tak tega melihat Evan dan Putri tapi juga tak bisa memberi solusi kepada Tian,” ucapku. Vian sudah melangkah ke arah box bayi dan membaringkan Kavi di sana. Lalu Vian melangkah ke arahku, dan menarikku ke dalam pelukannya. Damai kurasa saat hangat tubuhnya mendekapku erat.
“Berdoa saja semoga semuanya tak menjadi rumit, ya, dan yang pasti Fey tetap di sini menemaniku meski ada cobaan yang menghadang kita,” ucapnya membuatku merenkuh tubuhnya semakin erat.
*****
Lihatlah, resapi, dan sambutlah penderitaan itu. Karena kalau kita siap menghadapinya, semuanya pasti akan terasa lebih damai dalam menjalani penderitaan. Entah kata-kata kutipan dari mana, dan dari siapa itu tapi satu yang pasti itu bisa menguatkanku.
Belum reda kemarin tragedi Putri, Tian dan Evan, sehingga membuat adikku satu-satunya itu bermuram durja sampai detik ini. Sudah hampir 2 minggu sejak kedatangan Putri dan Tian kemari, Evan masih belum mau pulang ke Yogya. Dia ingin di sini dulu, mendinginkan otak katanya. Dan kebetulan sehari setelah itu, Vian tiba-tiba berpamit untuk mengadakan tugas ke luar kota tepatnya ke Surabaya. Melakukan riset dengan professor Hadi, dan juga teman-temannya, yang tak lain si Vani itu juga pasti ikut di dalamnya. Karena aku tahu mereka satu jurusan.
Sebenarnya Vian berat untuk meninggalkanku, apalagi dia masih tak tega denganku. Tapi ketika Evan mengatakan akan menjagaku, dan juga Kavi, begitu juga dengan Ryan yang masih di sini memperbaiki hubungannya dengan Sisca, juga Rasya yang dengan semangat 45 mengatakan akan menjagaku membuat Vian akhirnya pergi juga.
Meski sebenarnya aku sedikit tak rela melepasnya kali ini. Begitu pun setianya Vian kepadaku, tapi aku tak bisa membayangkan itu si Vani yang akan berada di dekatnya terus selama beberapa hari dengannya. Tapi bagaimana lagi, aku tak boleh egois, dia suamiku tapi juga perlu melaksanakan kewajiban yang lainnya.
Padahal setelah kepergiannya yang hampir 2 minggu ini benar-benar menyiksaku. Aku jadi tak nafsu makan, tak nyenyak tidur dan lain-lain.
Vian itu sudah bagai oksigen untukku, dan juga cahaya yang membimbingku melangkah. Katakanlah aku lebay, tapi memang seperti itu kenyataannya. Aku tak bisa menghadapi semuanya ini sendiri, ditambah melihat pemandangan di depanku kini, makin membuatku iri dan merindukan berondongku itu.
“Aaaaa ..., buka mulutnya nanti baru aku suapin tapi pakai mulut, ya Cinta.” Kugelengkan kepala saat mendengar nada manja Ryan. Yah, Ryan sepertinya sedang jatuh cinta sekarang ini. Dia dan Sisca dari hari ke hari makin menempel kayak perangko.
“Ishhhh, maluuuu ... Sayaang ... tuh, malu sama Aline,” rengek Sisca tak kalah manja kali ini dia menggelendot manja di lengan Ryan. Aku hanya mengerucutkan bibirku sambil mengiris sayuran yang rencananya siang ini akan kubuat capcay untuk makan siang.
“Miiii ... tutup mata, Miiii! Adegannya mulai hot, nih,” celetuk Rasya yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku lalu mengambil udang goreng yang baru saja kuiris dan memakannya.
Aku hanya tersenyum mendengar celetukannya.
“Eh, om dan tante kalau mau pacaran apa bulan madu mbok, ya, sana ke Bali, apa ke Puket, apa ke Timbuktu sekalian, jangan di sini, deh. Ga tau apa ada yang lagi galau,” lirik Rasya ke arahku membuatku langsung memukul lengannya.
“Diihh, sirik aja lu, Sya.” Kali ini Ryan yang menjawabnya sedangkan mbak Sisca masih menyuapi kue ke mulut Ryan. Beneran deh dua orang itu tak tahu malu beneran cinta. Masa remaja telat umur ini.
“Kasian mami, Kak, lagi sedih ditinggal suami tuh makin kurus kan, tuh? Lagian mami jadi ga doyan makan dan sering muntah-muntah, deh.” Rasya menatapku khawatir.
Aku pun mengiyakan ucapan Rasya, karena beberapa hari ini aku jadi tak nafsu makan dan sering merasa mual, padahal aku masih menyusui Kavi. Senangnya cuma makan kentang goreng.
“Beneran, Line? Kau sakit?” Kali ini Ryan sudah berdiri dan melangkah ke arahku dan kemudian meletakkan tangannya di keningku.
“Periksa aja ya, Line,” ucap Sisca ikut khawatir, tapi kemudian kutepis tangan Ryan dan kugelengkan kepala.
“Tak apa-apa, palingan juga cuma kecapekan, tahu sendiri beberapa hari ini pesanan cake bejibun,” jawabku asal membuat Rasya kini menatapku lekat.
“Mami itu malarindu, alias merindukan kak Vian tercinta.Kapan pulang, sih, Miiii, kok lama banget di Surabaya?” Kali ini Rasya ikut membantuku mencuci sayuran.
“Disuruh pulang, Line, kasian juga kamunya, kan. Kenapa riset kok lama banget apa perlu kujemput ke Surabaya? Takut nih Vian tergoda sama Cewek yang kemarin menjemputnya itu, lho ... siapa namanya?” Kali ini celetukan Ryan membuat jantungku berdesir. Benar juga Vani-lah yang membuat alasanku aku agak tak rela melepas kepergian Vian.
“Vani,” jawabku ke arah Ryan lalu kulihat Ryan bersedekap.
“Gelagatnya, tu cewek suka deh sama Vian, kayak ga peduli status Vian gitu. Aku bisa membaca bahasa tubuh seseorang,“ ucapnya diplomatis.
Kuhela napas. Tuh kan, Ryan malah membuatku semakin galau.
“Hust Sayang, jangan buat Aline makin sedih, deh ...” Sisca ikut bersuara.
“Mbaaakkkk, Kavi mau mimik, nih” Suara Evan yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan Kavi berada di dalam gendongannya akhirnya membuyarkan pikiranku.
*****
“Van, yakin tak mau meneruskan kuliahmu?
Bukannya tinggal skripsi, kau ini tak sayang apa?” Kali ini aku sedikit emosi mendengar omongan Evan baru saja. Dia masih tiduran di kasurku setelah membawa Kavi ke kamar, dan Kavi sekarang sudah tertidur pulas setelah aku beri ASI.
“Mbak, kenapa ya orang kayak kita ini kok, ya, ditakdirkan begini terus? Miskin ya tetap miskin, ya, Mbak. Ehmm bukan bukan ... maksud Evan kenapa kita, ya, cuma begini. Kalau mbak Aline ga nikah ma Vian juga pasti masih bekerja di hotelnya mbak Nadia, dan kehidupan kita ya cuma gitu-gitu aja, ya. Sekarang pun meski aku udah jadi anak angkatnya keluarga Atmawijaya, tapi aku masih merasa kalau kita ini tetap termasuk dari golongan orang miskin. Buktinya keluarganya Putri pun meremehkan keluarga kita, dan memang aku juga bisa apa ya, Mbak, ga bisa nyelamatin Putri dari papanya yang menjualnya itu,“ Kulangkahkan kaki ke arah Evan setelah kubaringkan Kavi lalu duduk di sebelahnya.
“Van, tahu tidak? Kita ini orang-orang terpilih, lho, kita ini istimewa,” jawabku membuat Evan mengernyit.
“Istimewa apanya coba?” Kali ini dia bergeser dan merebahkan kepalanya di pahaku.
“Istimewa karena kita orang terpilih, hanya kita yang mampu menjalani ini semua. Kuat menghadapi penderitaan, coba orang-orang kaya pasti tak kuat menjalani kehidupan kita, berarti kita kan orang terpilih, Van. Bersabarlah dan berdoalah, Van.” Kutepuk rambutnya membuat dia kini menyurukkan wajahnya ke perutku. Selalu saja begini sepeninggal bunda, Evan memang makin manja denganku.
“Aku tak ingin melanjutkan menjadi dokter. Aku ingin berlayar saja ikut kapal pesiar, yang duitnya langsung banyak, Mbak,” celetuknya yang membuatku terkejut.
“Van jangan gila, Mbak ga akan izinin deh, ga mau kamu jauh lagi.”
Evan beranjak bangun dan mengusap rambutku dengan sayang. “Aku ingin punya uang banyak, Mbak. Kalau jadi dokter butuh waktu lama, setelah lulus juga harus mengambil spesialis kayak Vian biar bisa menjadi dokter spesialis, itu pun butuh waktu lama, paling ga bisa menghasilkan uang banyak juga kalau Evan sudah tua nanti. Kalau ikut kapal pesiar, ya, walaupun di sana cuma jadi pencuci piring apa menguras kolam renang, gajinya gede, Mbak. Temen Evan langsung bisa beli rumah sama mobil,” ucapnya membuatku menatapnya kesal.
“Jangan macam-macam, Van! kau jangan mengecewakan bunda dan ayah, mereka ingin kau menjadi dokter.”
“Tapi Evan sudah muak dihina terus, Mbak. Evan pengen kaya biar tak ada yang meremehkan keluarga kita lagi,” ucapnya sedikit berteriak ke arahku lalu segera berlalu dari kamar. Duh, itu anak mulai kalau sudah ngambek.
Kepalaku makin pening, menghadapi Evan yang seperti itu. Bee, aku butuh kamu di sini.
*****
Entah sudah keberapa kali aku muntah-muntah. Radit yang menatap dan melihatku sedari tadi hanya ribut terus memaksaku untuk periksa ke dokter.
Sore ini aku memang kembali berkutat di pantry karena pesanan cake buat besok pagi.
Kavi sudah diajak berkeliling dengan couple yang lagi manis-manisnya itu. Yup, Ryan dan Sisca memang tiap sore mengajak Kavi jalan-jalan, meringankan tugasku untuk merawat Kavi.
“Kecapekan, Dit. Udah, kamu lanjutin aja, ya ... kamu udah bisa, kan? Itu udah aku buatin kok adonannya kamu tinggal masukin ke loyang, di oven terus dioles toping, ya.” Kuusap perutku yang kembali terasa mual.
“Iya, Mbak. Radit udah tau, kok. Udah, mbak Aline istirahat aja, ya. Apa mau dibuatin teh jahe hangat?” ucapnya membuatku menggelengkan kepala. Aku hanya ingin meringkuk di atas kasur saat ini.
Vian pov
Sudah tengah malam saat mobil yang mengantarku memasuki gerbang rumah om Dewa ini. Hari ini aku pulang setelah 2 minggu pergi meninggalkan Fey dan Kavi. Tak tega rasanya, tapi bagaimana lagi aku memang harus melakukan ini agar pendidikanku cepat selesai.
Jengah sebenarnya dengan Vani, karena selama di Surabaya dia terus mengekoriku ke mana-mana. Membuat teman-temanku mengira aku ada hubungan spesial dengan Vani.
Sebenarnya hari ini aku belum jatah pulang, tapi kemarin saat mendengar mas Ryan menelepon kalau Fey sakit, aku langsung minta izin ke profesor Hadi untuk pulang terlebih dahulu. Untung saja professor Hadi memberiku izin.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada sopir taksi yang membawaku dari bandara, akhirnya kulangkahkan kaki dengan tergesa menuju rumah. Café masih tampak ramai.
Ketika membuka pintu rumah, aku terkejut mendapati mbak Sisca masih menggendong Kavi, mencoba menidurkannya. Rasya dan Evan juga tampak senang ketika melihatku. Sedangkan masku langsung menyambutku.
“Alhamdulilah, Dek, akhirnya pulang. Ini Kavi rewel, dari tadi tak mau minum ASI-nya Aline,” ucap masku yang seketika langsung menghampiri mbak Sisca yang menggendong Kavi.
Kukecup pipi Kavi, aku sungguh merindukannya. Dia sudah terlelap dengan pulasnya.
“Baru saja minum susu formula, terus bobok. Udah kamu ke kamar dulu, Aline sakit dari tadi cuma muntahmuntah terus. Tak mau makan apa-apa,” ucap mbak Sisca membuatku langsung melangkah dengan cepat ke arah kamar.
“Yan, jangan diganggu, ya. Baru saja bisa tidur setelah aku minumin anti mual,” ucap Evan yang kuiyakan dan langsung membuka pintu kamar.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat tubuh Fey yang meringkuk di atas kasur. Kulangkahkan kaki menuju ranjang, dan kududukkan tubuhku perlahan di samping Fey.
“Sayang, aku pulang,“ bisikku dan mengusap rambutnya.
Fey tampak pucat, dan terlihat lebih tirus. Apakah
selama ini kau tak makan dengan baik, Sayang? Please, jangan sakit, ya ... Aku tak menyangka Fey begitu rapuh saat kutinggal. Aku janji Fey, tak akan pergi lagi.
Share this novel