S

Romance Series 49415

Sesuai perintah mamanya, Harvest menuntun Love ke lantai atas untuk menunjukkan kamar kosong padanya. Harvest membuka pintu kamar tersebut dan menyalakan lampu. "Ini kamarnya, Love. Sementara waktu, kau bisa menempati kamar ini sesuka hatimu," ujarnya.

Love pun melangkah masuk ke dalam kamar tersebut. "Apa kamar ini memang khusus untuk tamu menginap?" tanyanya sembari mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Kamar yang terbilang simple, tidak banyak perabotan ataupun dekorasi seperti kamar pada umumnya.

"Iya. Orang tuaku memang sengaja menyiapkan kamar kosong untuk kerabat-kerabat jika ada yang datang berkunjung ke sini dan ingin menginap," jawab Harvest.

"Oh." Love meletakkan kopernya di samping nakas, lalu duduk di pinggir ranjang. Jari tangan-tangannya meraba kain sprei kasur. "Aku berterima kasih padamu dan orang tuamu karena telah mengijinkanku menginap di sini," ujarnya.

Harvest pun ikut duduk di sebelah Love. "Santai saja, Love. Kalau orangtuaku sudah mengijinkanmu menginap, itu berarti dia sudah menganggapmu sebagai keluarga. Tapi aku masih penasaran, kenapa kau bisa tiba-tiba mau menginap di sini?" Harvest menanyakannya karena ia masih belum tahu masalah yang tengah ditimpa oleh Love.

Love membuang nafas kasar. "Sebenarnya keadaanlah yang memaksaku untuk menginap." Love menoleh ke Harvest. "Kau masih ingat dengan lelaki di kafe tempo hari? Yang kubilang bahwa dia telah menyelamatkanku dari pemabuk." 

Harvest berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ngingat lelaki yang dimaksud oleh Love. "Ah! Serigala itu ya? Yang juga menggodamu tadi pagi di pasar. Benar, kan?" 

Love pun mengangguk sambil terkikik geli karena mendengar kata 'serigala' ~ perumpamaan yang diberikan Harvest buat Stanley. 

"Memang kenapa dengannya?" Nafas Harvest tiba-tiba menggebu karena terpecik sesuatu. "Apa dia berbuat sesuatu padamu?" selidiknya sambil menatap serius ke Love.

"Tidak, Harv, eh maksudku tidak tahu. Tadi dia memang mencoba mendatangi rumahku, tapi tak berhasil menemuiku karena Auntie Gab tiba-tiba datang. Kedatangan Auntie sangat mengejutkannya, dan akhirnya membuat Stanley lari begitu saja."

Harvest meresponnya dengan deheman pendek. Sehabis itu, ia membuang kasar nafasnya. "Jika aku sampai bertemu dengannya lagi, akan ku beri pelajaran padanya!" geramnya. Ia menoleh ke Love. "Untung saja kau tidak kenapa-kenapa, Love. Kalau sampai dia berani lagi menginjakkan kakinya di pintu rumahmu, aku akan mematahkan kedua kakinya!" tukasnya.

Melihat Harvest marah, entah kenapa Love merasa senang. Perhatian kecil Harvest membuatnya tersentuh. Seharusnya bukan perhatian kecil, karena sudah berulang kali dirinya diperhatikan dan ditolongnya. "Thanks, Harv." Ya hanya ucapan terima kasih saja yang bisa ia berikan ke Harvest sembari tersenyum padanya.

Senyuman Love dan pandangan matanya menghipnotis Harvest sesaat. Dan bisa dibilang kejadian ini terulang lagi pada dirinya setelah tawa Love sebelumnya berhasil memikat hatinya. Tapi buru-buru Harvest menyadarkan dirinya. "Jadi, kira-kira sampai kapan kau berencana tinggal di sini?" tanyanya dengan sebuah pertanyaan agar Love tidak menganggapnya aneh dengan terdiam.

"Aku belum tahu. Sebenarnya aku ada tujuan kenapa aku kembali ke kota ini, dan sampai sekarang aku belum melakukannya," jawab Love menoleh ke Harvest.

"Oh ya? Kalau boleh tahu, apa tujuanmu?" Harvest melihat sorot mata Love tampak serius menatapnya. 

"Aku ingin mencari keka--"

"Harv, Love, yuk makan siang dulu!"

Suara seruan Mama dari arah luar pintu kamar mengejutkan Harvest dan Love bersamaan, serta menghentikan perkataan Love. Alhasil mulut Love terkatup rapat karena bingung mau melanjutkannya atau tidak.

"Lebih baik kita makan dulu," usul Harvest. "Kita lanjutkan obrolan kita tadi sehabis makan siang saja."

"Baiklah." Love merasa lega karena Harvest membuka suaranya duluan.

"Yuk!" ajak Harvest sembari bangkit berdiri, begitu pun dengan Love. Lalu mereka berdua sama-sama keluar kamar dan menuju ke ruang makan.

****

"Jadi kau datang sendirian ke kota ini untuk mengunjungi makam orang tuamu, Love?" tanya Mama Harvest ke Love. 

"Iya," jawab Love sembari menyantap makanannya.

Harvest melirik ke arah Love yang sedang ditanya-tanya oleh mamanya. Tadi saat orang tuanya dan Love berada di ruang keluarga, ia sempat mendengar sekilas Mamanya banyak bertanya pada Love. Tidak-tidak, lebih tepatnya mengintrogasi Love mengenai alasan kenapa ia bisa datang sendirian ke kota ini tanpa ada yang menemani. Dan jawaban Love sungguh mengejutkan orang tuanya dan juga dirinya. Ternyata orang tuanya sudah meninggal empat tahun yang lalu, sama seperti waktu kematian adiknya. Sungguh kebetulan pikirnya. 

"Kalau boleh tahu, apa penyebab orang tuamu meninggal?" lanjut Mama bertanya. 

Karena kali ini pertanyaannya agak sedikit sensitif, Harvest langsung menimpahi perkataan Mama. "Jika kau tidak mau menjawabnya juga tidak apa, Love."

"Tidak apa-apa, Harv," balas Love. Setelah itu, ia kembali beralih ke Mama Harvest. "Orang tuaku dibunuh oleh dua orang perampok di jalan." 

Jawaban Love membuat Mama dan Harvest termangu syok. Penyebab yang sungguh tragis, bukan? Dan seketika Mama merasa menyesal telah bertanya. "Maaf, Love."

"Ya, maafkan kami, Love, jika pertanyaannya membuatmu jadi teringat lagi akan--,"

"Sudah kubilang it's okay, Harv," selak Love lagi pada perkataan Harvest. "Kejadian itu juga sudah lama berlangsung dan aku sudah ikhlas menerimanya. Kedua perampok tersebut pun juga sudah ditangkap dan dihukum penjara selama 15 Tahun." 

"Kalau kau mau, kau bisa menganggap kami sebagai orang tuamu, Love," tukas Mama Harvest pada Love. "Kau juga sudah kami anggap sebagai keluarga." Padahal baginya, ini adalah awal yang bagus untuk mendekatkan Love pada Harvest, putranya.

"Thanks, Mrs. Wills," sahut Love sembari tersenyum. Ia sungguh bersyukur karena dipertemukan oleh orang-orang baik. Apakah ini suatu pertanda baik juga kalau ia akan segera menemukan petunjuk tentang Owen-kekasihnya?

"Tidak perlu formal begitu manggilnya. Panggil saja saya dengan Mama," tawar Mama ke Love. "Kalau ada Papanya di sini juga Mama yakin dia akan bilang begitu padamu."

"Baik, Ma," jawab Love dengan canggung, kemudian ia tersenyum malu-malu sekaligus senang.

"Nah, begitu baru benar." Mama pun tersenyum senang, disusul Harvest yang diam-diam ikut mengulum senyum di bibirnya. Bukankah ini adalah langkah yang bagus untuk dirinya nanti dalam mendekati Love? pikirnya dalam hati.

"Oh ya, Love, apa kau sudah memiliki kekasih?" 

Uhuk! Uhuk..!

Uhuk! Uhuk!

Dua suara batuk tiba-tiba meluncur dari mulut dua orang. Tidak hanya Love yang tiba-tiba terbatuk saat sedang mengunyah, tapi juga pada Harvest yang sedang menyeruput minumannya. 

"Ya Tuhan, kalian berdua tidak apa-apa?" tanya Mama yang sontak terkejut.

Love segera meraih gelas di dekatnya dan meminumnya, sedangkan Harvest mengambil kain serbet di pangkuan kakinya dan langsung menyeka mulutnya. 

"Mama, pertanyaan apa itu?" tegur Harvest secepat mungkin. 

"Lho, Mama kan hanya bertanya, Harv. Apa ada yang salah dengan pertanyaan Mama?" tanyanya sembari berpura-pura memasang tampang lugu.

Love berdehem sebentar, lalu ikut menyahuti. "Tidak apa-apa, Harv." Ya untuk kesekian kalinya ia menjawab dengan --tidak apa-apa-- pada Harvest. "Aku tidak bisa menjawabnya secara pasti, Ma." Love memberikan jawaban ngambang pada Mama Harvest. Jawaban yang sebenarnya mengundang pertanyaan lagi. Ya, sebab Love menjawabnya begitu karena ia sendiri pun tak tahu pasti status hubungannya sekarang dengan Owen kekasihnya itu. Apakah masih terbilang sebagai kekasih, atau tidak?

"Sebenarnya Mama mau bertanya lagi, Love, tapi," jeda Mama sambil melirik ke Harvest. "Mama urungkan karena putra Mama sudah melototi Mama dengan sorot peringatan."

Love mengikuti arah pandangan Mama yang tertuju pada Harvest dan ia terkikik geli saat melihat raut wajah Harvest kini yang menakutkan. "Tenang, Harv, aku tidak akan marah pada Mama hanya karena pertanyaan begituan." Dan sekali lagi Love tertawa kecil.

Harvest pun menjadi malu sendiri karena terpergok, tapi melihat Love tertawa, ia dan juga Mama akhirnya ikut tertawa kecil. 

*****

Selesai makan siang, Harvest dan Love kembali ke kamar masing-masing. Harvest membiarkan Love menenangkan dirinya di kamar setelah menghadapi pertanyaan menjebak dari mamanya.

Ia sangat tahu niat mamanya yang mau menjodohkan dirinya dengan Love. Sebenarnya ia sih senang-senang saja dijodohkan dengannya, namun ia tak suka dengan cara mamanya yang terlalu terang-terangan and to the point. Padahal ia sungguh berharap tak ada campur tangan dari orang tuanya dalam kisah asmaranya ini. Ia juga bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan mamanya atau siapapun karena ia adalah seorang lelaki sejati. Benar, kan? 

Saat ia hendak merebahkan diri di atas ranjangnya, kepalanya menyentuh benda keras. Ia pun terusik dan kembali mengangkat kepalanya untuk mengambil benda tersebut. Ah! Harvest hampir saja melupakan ponsel adiknya. Ia pun mengambilnya, lalu menyalakannya. Saat layar utama sudah muncul, ia langsung mengutak-atik menu pesan. 

Setelah ada beberapa pesan yang masih bisa diselamatkan, Harvest pun merasa lega. Karena dengan begitu, ia bisa mencari tahu identitas kekasih adiknya. Saat pesan dibuka dengan nama si pengirim pesan 'My Love', Harvest sudah bisa menebak bahwa dia-lah kekasih dari adiknya. Ia pun membuka satu persatu dan membacanya.

Di sisi lain...

Love yang baru masuk masuk ke dalam kamarnya, segera mengambil kopernya dan menaruhnya di atas ranjang. Ia membukanya, lalu membereskan semua pakaian yang dibawanya di dalam koper. 

Butuh beberapa menit Love selesai merapikan pakaiannya, sampai akhirnya ia menyadari bahwa ia kelupaan membawa ponselnya. "Sial! Aku lupa membawa ponselku lagi," gerutunya sambil mengumpat.

Love menggigir bibir bawahnya karena bingung mau kembali ke rumahnya untuk mengambilnya atau tidak. Tapi kalau tidak mengambilnya, ia takut kekasihnya akan menghubunginya. Namun, kalau ia kembali lagi ke rumahnya sekarang untuk mengambilnya, ia harus ada yang menemani karena ia masih takut kalau-kalau Stanley tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. "Aku harus bagaimana nih?" Love pun tengah memikirkan cara untuk beberapa saat.

Kembali ke Harvest lagi yang sudah selesai membaca semua pesan. Memang tidak terlalu banyak pesan, tapi cukup meyakinkan Harvest bahwa si pengirim pesan ini adalah kekasih dari adiknya yang bernama Owen Wills. Ia pun segera mencoba menghubunginya. 

10 menit kemudian....

"Damn it!" Harvest mengumpat kesal karena sudah beberapa kali ia hubungi nomor kekasih adiknya itu malah tidak aktif. Hanya suara dari operator yang terus menjawabnya. Apa dia sudah ganti nomor? batinnya bertanya-tanya.

Harvest tidak menyerah. Ia mencoba meninggalkan pesan suara pada di panggilannya yang terakhir kali ini, lalu tidak lupa juga ia mengirimkan pesan balik ke nomor kekasih adiknya itu. "Sepertinya ini saja dulu yang bisa aku lakukan. Semoga saja dia segera meresponnya," gumamnya sambil mengunci kembali ponsel tersebut, lalu meletakannya di atas nakas samping ranjangnya. 

Harvest kembali merebahkan dirinya di atas ranjangnya. Pandangan matanya kini memandang ke arah langit-langit kamarnya yang terdapat jendela kecil. Sengaja dibuat agar bisa melihat pemandangan malam yang bertabur bintang-bintang. Tapi karena sekarang hari masih siang, yang terlihat hanya langit cerah dengan awan-awan putih bertebaran. 

Saat ini pikiran Harvest sedang diarungi dengan masalah perpindahannya yang sampai sekarang belum ia putuskan. Seharusnya kalau tidak ada kejadian perihal Every dan juga kehadiran Love, ia tak mungkin segundah ini dalam memutuskannya.

Ia tak perlu ragu karena itu menyangkut masa depannya yang sudah ia putuskan dari lama untuk pindah kerja. Sepertinya ia harus secepatnya membicarakan masalahnya ini dengan orang tuanya. Bagaimanapun juga ia tidak boleh egois dan tetap harus meminta pendapat dari orang tuanya. 

Tok! Tok! Tok! 

Suara ketukan pintu mengejutkan Harvest yang hampir saja memejamkan matanya karena mengantuk. Kelopak matanya terbuka kembali untuk memastikan kembali pendengarannya.

"Harv! Kau di dalam?"

Love? Buru-buru Harvest bangun dan bergegas membuka pintu. "Ya, Love?" 

Pintu yang terbuka dan wajah Harvest yang muncul tiba-tiba membuat Love terkesiap kaget. Ditambah lagi warna mata Harvest memerah. Jangan-jangan dia sedang tidur? pikir Love dalam hati. "Maaf, Harv, kalau aku mengganggu waktu istirahat siangmu," ujarnya. "Aku punya permintaan," pinta Love sembari tangannya memilin kain baju bawahnya karena keraguannya. Soalnya dari tadi di dalam kamarnya, ia sudah bergumul sendiri, apakah ia harus memintanya pada Harvest atau lebih baik ia melakukannya sendiri.

"Ya, katakan saja," sahut Harvest. 

"Bisakah kau menemaniku ke rumahku? Ada sesuatu yang tertinggal di sana." Belum juga Harvest menjawab, Love langsung melanjutkan lagi perkataannya. "Ta-tapi kalau kau tidak bisa, tidak apa-apa. Eeeh, a-aku juga bisa sendiri." Love begitu gagap dalam bicaranya karena takut-takut Harvest akan menolaknya dan marah karena keinginan yang sepele itu. Pasti pikiran Harvest sekarang, dirinya adalah wanita penakut.

"Aku bisa menemanimu," potong Harvest cepat. "Kau pasti takut kalau-kalau Stanley akan mengodamu lagi. Tenang saja ya, aku pasti akan melindungimu darinya."

Love terperangah dengan perkataan Harvest. Ternyata Harvest tahu kerisauan hatinya yang masih takut dengan Stanley. "Maaf kalau merepotkanmu, Harv," ujarnya. 

Harvest tersenyum. "Mau sekarang atau--,"

"Nanti sore saja. Kau istirahat lagi saja."

"Hmm, baiklah." 

"Thanks, Harv," ujar Love sebelum beranjak.

"You're welcome." 

Love pun kembali ke dalam kamarnya dengan jalan yang pelan dan ragu--seakan berharap sesuatu. Lalu dengan Harvest sendiri, ia menutup pintunya kembali sambil menghela nafas pendek. Tanpa mau jujur pada diri sendiri, sebenarnya mereka berdua itu masih mau saling mengobrol satu sama lain. Namun, mereka berdua tak bisa mengungkapkannya karena terhalang oleh rasa gengsi dan status.

****

To be continued

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience