Bab 42

Romance Completed 25593

BAB 42

Sibuk, satu kata sekarang yang bisa kuucapkan. Tak terasa hampir 1 bulan aku di sini. Di rumah om Dewa yang ternyata luasnya melebihi lapangan bola ini. Aku tak menyangka om Dewa mempunyai rumah semewah ini di sini, padahal rumahnya yang di Solo cukup minimalis.

Dan suamiku tercinta itu langsung bergerak cepat, mewujudkan cita-citanya. Membuka cabang cafénya di sini. Kebetulan rumah ini sangat strategis, di pinggir jalan dan terletak di daerah Dago, daerah yang sudah pasti sangat terkenal di sini.

Dengan dibantu Rasya, Vian mampu merombak rumah ini menjadi sebuah café dengan konsep alam, karena halaman rumah ini yang begitu besarnya. Vian mengeluarkan seluruh tabungannya untuk merenovasi rumah ini menjadi café, lengkap dengan segala tetekbengeknya. Dan akhirnya sudah berjalan 1 minggu sejak dirombaknya rumah ini, Vian memanggil Radit sebagai koki kepercayaannya, dan beberapa karyawannya dari café Solo. Aku dimintanya membuat beberapa kue sebagai menu utama. Rasya sudah sepenuhnya ikut kami, pindah di sini dan melanjutkan kuliahnya di UNPAD.

Kesibukan kami mulai bertambah, aku sudah berkutat di pantry membantu Radit membuat menu, tiap harinya. Bertanya pada bunda beberapa resep yang belum aku mengerti. Vian sudah mendapatkan job menjadi dosen freelance lagi di UNPAD. Entahlah, otaknya memang sangat cerdas mampu mengurus café dan juga pekerjaannya itu. Kadang aku merasa kasihan, dia begitu kerasnya melakukan semua ini. Bekerja keras demi aku dan calon bayi kami.

Benar-benar suami yang bertanggung jawab.

Ehm, membicarakan keluarga di Yogya, awalnya memang aku sering mendapat kabar dari Evan kalau beberapa hari setelah kami pindah, Ryan datang menemui Evan dan bunda, menanyakan keberadaan kami. Tapi Evan dan bunda mengunci mulutnya tak mau mengatakan keberadaan kami.

Papa dan mama juga sempat ke rumah, bahkan mama sampai, menangis-nangis memaksa bunda untuk mengatakan keberadaan Vian, putra bungsunya itu. Trenyuh hati mendengarnya, tapi Vian mengatakan kepadaku, dia tak akan lagi memikirkan keluarganya, yang dipikirkan hanya aku dan bayinya. Rupanya hatinya sudah membeku. Dia juga menyuruh mengganti nomor ponsel. Aku sempat mengabari Nadia dan Christian tapi tak mengatakan aku berada di mana.

Kami benar-benar mengawali kehidupan yang baru di sini. Di kota yang masih asing denganku ini, dan juga kehidupan yang baru. Welcome to new life.

“Miiiiiii ... Rasya pulang.” Suara khas Rasya menyeruak di telinga saat aku masih mengaduk adonan red velvet.

Tuh kan dia manggil miiii, alias mami, katanya mami cantik karena aku sudah mau menjadi seorang mami. Melihat tubuhku yang memang sudah lebih berisi, perutku sudah membuncit dan sudah menginjak 2 bulan usia kandunganku. Pipiku mulai chubby dan sering menjadi ajang cubitan antara Vian dan Rasya. Dasar kedua berondong itu.

“Assalammualaikum, gitu Sya, pulang kok ga ucap salam.”

Rasya menggaruk-garuk rambutnya dan menjulurkan lidahnya, tapi kemudian melangkah mendekat dan meraih tanganku lalu dicium layaknya anak yang baru pulang dari sekolah.

“Assalammualaikum, Mami cantik.”

“Waalaikumsalam, sudah sana mandi bau matahari begitu,” perintahku membuat dia memberengut.

“Dih Mami, Rasya tampan dan wangi gini, ehm, kak Vian belum pulang?” dia melirik jam tangannya.

Aku menggelengkan kepala, Vian memang sering pulang malam karena kesibukannya di kampus.

“Tadi juga Rasya tak sempat ke Fakultas Kedokteran sih, jadi tak bertemu Kak Vian.” Rasya mencolek adonan kue yang kubuat. Tuh anak mulai kebiasaan joroknya.

“Rasya, sana hust hust, kamu itu menuh-menuhin pantry, sana bantu anterin pesanan saja, café lagi rame gini, kamu mulai banyak penggemarnya tuh. Katanya kakak tampan yang sering nganterin tiap hari mana?” ucap Radit menyela pembicaraanku dan Rasya.

Rasya mencibir ke arah Radit. “Apa pak Koki, aku di sini kan menjaga mami cantik nanti dirayu-rayu oleh pak Koki,” sungut Rasya membuatku terkekeh dan Radit melotot ke arah Rasya.

“Dih justru kamu yang mengganggu mbak Aline. Sudah sana mandi, dan bantu café.” Perintah Radit membuat

Rasya akhirnya beranjak dari sebelahku.

“Oke deh Rasya mandi, tapi Mi buatin Rasya kentang tumbuk dong ya, laper,” ucapnya yang kujawab dengan anggukan kepala.

Aku merasa beneran jadi mami yang sesungguhnya, Rasya itu makin manja denganku. Mungkin dia mendapatkan sosok ibu yang tak pernah dirasakannya sejak kecil.

“Jangan dimanja terus, Mbak, Rasyanya nanti ngelunjak, apalagi bos suka cemburu, tuh,” celetuk Radit sembari membantuku memasukkan adonan ke dalam oven.

Aku terkekeh mendengar celetukan Radit, ”Cemburu apa? Orang sama anak kecil begitulah.”

“Eh beneran Mbak, bos itu kan sangat sangat posesif kalau sudah menyangkut mbak Aline, siapa pun dilarang menatap istrinya, lucu deh makanya karyawan di sini tak ada yang berani kan menyapa mbak aline?”

Aku terkejut mengetahui fakta itu. Pantas saja 15 karyawan café yang semuanya laki-laki di sini tampak takut-takut kalau bertemu denganku, hanya Raditlah yang akrab.

“Lah, kamu sendiri tak takut?”

Radit tertawa, lalu menatapku.

“Awalnya dia sempat tak setuju mbak Aline membuat cake dan berada satu ruangan denganku, melarangku macam-macam, tapi aku itu sudah menjadi karyawannya sejak dia masih anak-anak, hahaha, pas dia buka café kan pas dia baru saja lulus sekolah kira-kira usia 17-18 kan, ya, sedangkan aku lebih tua darinya. Umurku kan sama kayak mbak Aline, jadi dia lebih hormat kepadaku.”

Aku tersenyum membayangkan suami berondongku itu sudah menjadi bos di usia yang begitu muda.

“Sudah Mbak, ini sudah selesai tinggal oven saja, mbak Aline istirahat sana, nanti bos pulang marah-marah kalau aku masih menyuruh mbak Aline berkutat di sini,” ucap Radit membuatku mengangguk dan melepas afron yang kupakai.

*****

Kutatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 8 malam. Dua jam sudah sejak aku beranjak dari pantry, mandi sholat maghrib dan juga isya. Tapi suamiku itu belum pulang juga.

Menjelang malam begini café memang semakin ramai. Rasya sudah menghambur ke café membantu, dia sangat senang menjadi kasir. Biasanya juga Vian akan berada di café dan aku sudah beranjak ke tempat tidur. Karena semenjak kehamilanku yang mulai membesar ini, rasa kantuk selalu menderaku selepas jam 7 malam. Sudah bisa dipastikan berada di alam mimpi kalau jam segini.

Kamarku terletak di lantai 2, café berada di halaman rumah dengan konsep outdoor, sehingga jarak dari rumah utama memang sedikit jauh.

Tak biasanya Vian belum pulang, mataku sudah mulai mengantuk. Kurebahkan diri sesaat di kasur, lelah mendera karena seharian berkutat membuat cake. Empuknya bantal membuatku akhirnya menyerah pada rasa kantuk yang sudah mendekapku.

*****

Rasa haus dan panas membuatku membuka mata ... Kulirik sebelah kasur masih kosong. Ah pukul berapa ini? Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam, biasanya jam segini Vian sudah tidur di sampingku.

Merasa khawatir akhirnya aku beranjak turun, dan keluar kamar, berniat menuju café.

Café memang buka sampai pukul 3 dini hari. Kalau mulai malam begini sudah dipenuhi dengan anakanak muda yang nongkrong, dan menikmati life music. Rasya juga kadang ikut menjadi penyanyi dadakan di sini. Suaranya juga bagus.

Suara merdu Rara, vokalis salah satu band yang disewa Vian menyeruak di telingaku. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam café, tak peduli dengan penampilan yang hanya mengenakan piyama kedodoran dan rambut yang kuikat dengan sembarangan.

Ramai memang, semua bangku di taman ataupun di dalam sudah tampak penuh. Rasya masih asyik di bangku kasir dan ketika melihat melambaikan tangannya ke arahku, aku beranjak mendekatinya.

“Mi, tumben malam-malam begini ke sini?” tanya Rasya, bingung.

“Liat Vian gak?”

Rasya mengerutkan keningnya, tapi kemudian menunjuk pojok ruangan dengan dagunya.

Dan di sana kulihat suamiku yang tampak tertawa-

tawa dengan beberapa gadis muda dan seksi itu. Hatiku serasa dihantam oleh batu yang begitu besar. Jadi ini, dia tak tidur memelukku malam ini karena ini. Aku pun bergegas beranjak keluar dari café. Rasya berteriak-teriak di belakangku tapi tak kupedulikan.

Dengan cepat aku kembali ke kamar dan menghempaskan tubuhku di sana, menangis. Sudah bosankah Vian denganku???

*****

Suara adzan subuh membangunkanku, terlihat Vian sedang sholat dengan khusuknya. Semalam pulang jam berapa dia? Tapi aku tak peduli. Hatiku sudah sakit melihat pemandangan semalam. Aku segera beranjak dari kasur dan melangkah ke arah kamar mandi.

Saat keluar, aku melihat mukena sudah disiapkan oleh Vian, tapi Viannya sendiri tak tampak di kamar. Menghilang entah ke mana dia. Tuh kan aku jadi merasa tak diperhatikan lagi olehnya.

*****

Setelah sholat dan mandi akhirnya aku keluar menuju dapur, kebiasaan tiap pagi memasakkan untuk Vian dan Rasya sebelum nantinya aku menuju café dan membuat cake.

“Morniiiiinnnggg, Mami.” Rasya mencubit pipiku saat aku mulai menuangkan telur mata sapi yang kubuat ke dalam piring.

“Rasya ishhh, tak sopan udah sana ke meja makan, kentang tumbuk kesukaanmu sudah Mbak buatkan.”

Tapi Rasya menatapku lekat, lalu tiba-tiba mengusap mataku. Perlakuannya membuatku terlonjak.

“Mami kenapa? Semalam menangis, ya?” ucapnya membuatku tergeragap.

“Rasya.” Suara Vian yang tiba-tiba terasa asing menginterupsiku dan Rasya.

Rasya melepaskan tangannya dari mataku lalu melangkah menuju meja makan. Vian menatapku tajam dan menghampiriku.

“Jadi Fey begini?” ucapnya dingin ke arahku.

Aku bingung dengan pertanyaannya itu.

“Begini apa maksudnya?” Aku juga malas menatapnya karena merasa kesal dengan kejadian semalam. Tapi dengan cepat dia menarikku dan membawaku menaiki tangga menuju kamar kami.

“Vian apa sih, sakit,“ teriakku mencoba melepaskan cengkeraman tangannya.

Dia membuka pintu dan membawaku masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu.

“Apa sih, Yan, kau kasar sekarang,” ucapku sambil memandangnya saat dia melepaskan tangannya.

Vian menghela napas dan mengacak rambutnya lalu berjalan ke arahku, mencoba merengkuhku tapi aku menghindarinya.

“Fey, maaf,” ucapnya merajuk.

“Maaf untuk apa? Maaf untuk semalam bercanda dengan gadis-gadis seksi di café?” teriakku mulai kesal mengingat kejadian semalam.

Vian tampak terkejut, ”Gadis apa, Fey?”

“Semalam kau pulang jam berapa? Kau tidur jam berapa?”

Vian kemudian tersenyum mendengarku. Dia melangkah mendekat dan menarikku dalam satu kali hentakan. Membuatku terjatuh dalam pelukannya.

“Jadi Fey cemburu?” tanyanya membuatku memberontak.

Tapi dekapannya makin erat dan mengurung tubuhku.

“Aku mulai gemuk, aku tak seksi lagi, jadi kau bosan kan denganku.“ Kupukul-pukulkan tanganku ke dadanya membuat Vian langsung mengecup bibirku.

“Hey siapa yang bilang, Fey makin seksi dengan perut begini, nih makin mantap kalau dipegang.”

“Gombal.” Aku mendorong tubuhnya membuat dia hampir melepaskan pelukannya.

“Maaf ya, kemarin aku pulang jam 8 malam karena ada urusan dengan dosen pembimbingku. Aku berencana mengambil spesialisku lagi di sini, Fey, dan saat aku pulang Fey sudah tidur, aku sempat memeluk Fey dan menciumi tapi Fey sudah pulas tertidur, makanya semalam aku memutuskan untuk menengok Café,” ucapnya.

“Bohong!!!“ ucapku sambil memandangnya kesal. Sekejap kemudian dia mengecup mataku yang tampak bengkak karena semalaman menangis.

“Maaf, telah membuat Fey menangis, semalam melihatku kenapa tak menghampiriku? Mereka itu mahasiswiku yang main ke café semalam tapi sumpah, aku tak menanggapi mereka dan segera beranjak dari kursi lalu membantu Radit di pantry.”

“Bohong!“ ucapku lagi.

Alih-alih membalas kekesalanku, Vian menciumi wajahku dan melumat bibirku lagi, membuat gairah di dalam tubuhku bangkit.

“Ehmmmefft ..., Yan, jangan merayuku.”

Vian terkekeh lalu mengecup bibirku lagi.

“Aku suka Fey cemburu, sukaaaaaaaa. Semalam Fey aku peluk tak merasa?”

Aku tersipu saat dia menatapku dengan mata elangnya itu, duh aku jadi merasa bodoh tadi sempat merajuk padanya

“Kita lanjutkan?” bisiknya di telingaku mengirimkan gelenyar panas di tubuhku. Hormon hamilku ini memang tak bisa diajak berkompromi.

“Diih, apaan sih, aku masih marah sama kamu,” ucapku menolak rayuannya. Tanpa ba bi bu, dia sudah menggendongku dan membuatku tak berkutik dengan ciumannya itu.

Berondong ini memang membuatku tak berdaya. Aku pun akhirnya menyerah dalam cumbuannya yang panas itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience