BAB 10
“Sayang kenapa?“ Vian menatapku bingung.
Aku menjauhkan diri lagi dan kini mencoba berdiri meski tubuhku terasa lemas.
“Kalian kejam terhadapku, ini namanya penculikan, kau sama saja dengan Ryan egois, dan juga siapa wanita itu? Katanya mencintaiku? Tapi kau satu flat dengan orang yang bukan muhrimmu, kau kejam,” teriakku tak terkendali runtuh sudah pertahananku tadi kuluapkan semua emosi di depan suami kecilku ini.
Vian menghela napasnya dan kini mencoba beranjak dari atas kasur dan melangkah mendekatiku. Direngkuhnya tubuhku yang kini sudah bergetar karena tangisku ini. Didekapnya erat tubuhku, erat, dikecupnya rambutku dengan lembut. Perlakuan lembutnya semakin membuat tangisku pecah.
“Maafkan aku karena telah menjebakmu ke sini tapi aku bisa menjelaskan semuanya.“
Mataku benar-benar terasa berat, hidungku perih, dan tubuhku terasa lemas tak bertulang. Hawa dingin yang menyeruak menembus kulitku membuatku menggigil. Tapi semua itu terlupakan karena sekarang kerja otakku benarbenar melambat, masih tak percaya dengan kenyataan yang ada. Kakak beradik yang kini duduk di depanku ini yang membuatku kali ini benar-benar ingin melakukan tindakan yang di luar nalar.
“Sayang, maafin aku.” Kali ini kulihat Vian membuka mulutnya setelah lebih dari 30 menit yang lalu aku masih membungkam mulutku ini setelah dekapannya dan aku menangis histeris. Entah pukul berapa sekarang di sini, yang pasti hari sudah beranjak tengah malam, dan aku juga tak melihat Sonia beredar di dalam flat ini.
Kalau Vian duduk tegak di depanku, Ryan lebih memilih duduk di pojok ruangan dengan tangan bersedekap di dadanya dan matanya terus menatapku dengan tatapan tajamnya tapi bisa kulihat dia juga merasa bersalah dengan keadaan ini.
“Besok aku tak mau tahu, aku ingin pulang ke Indonesia,” ucapku tajam ke arah keduanya yang kini tampak menatapku terkejut.
“Sayang.“
“Line.“
Dua orang yang telah menculikku sampai kemari itu kini tampak menatapku terkejut, bahkan Vian kini berdiri dan berpindah duduk di sebelahku, lalu menatap Ryan.
“Sudah aku bilang, Mas, dari awal aku tak menyetujui ide gilamu ini.” Vian menatap Ryan yang kini sudah berdiri dan berada di hadapan kami.
Ryan mengacak rambutnya yang berwarna kecokelatan itu. Lalu dia duduk dan kini menatapku.
“Line, maafkan aku, aku benar-benar minta maaf atas kelancanganku ini, dan telah bersikap egois kepadamu, tapi aku masih tak bisa kalau terus melihatmu, cinta ini masih tetap sama Line, sampai kapanpun .kenyataan kalau kau menjadi adik iparku masih menggangguku, menjadi racun untukku, kalau boleh memilih aku ingin memutar waktu ke sepuluh tahun silam dan menjadikanmu istriku.”
Deg deg
Kenapa jantung ini terasa berdenyut begitu kencang, tapi hatiku terasa tertohok sakit.
“Mas, jaga bicaramu! Dia istriku sekarang. Kau sudah berjanji tak akan mengganggu dan mengungkit cintamu lagi kalau aku menyetujui Aline ikut aku di sini, hargai aku, Mas.” Kali ini Vian mengucapkannya dengan nada satu oktaf lebih tinggi.
“Kau juga kenapa tak bilang kalau wanita yang kau kejar selama 1 tahun ini adalah Aline huh?“ ucap Ryan ke arah Vian yang membuat bocah di sampingku ini langsung berdiri.
“Memangnya kau pernah bilang siapa nama wanita yang selama ini masih kau cintai? Kau hanya bilang dia teman masa sekolahmu dulu, dan aku pun tak tahu kalau Aline adalah cinta pertamamu yang sering kau ceritakan padaku, aku tahunya saat undanganmu ada di rumah Aline,” jawab Vian masih tak kalah sengitnya.
“Dan kau nekat menikahinya huh? Kau tahu sedalam apa cintaku padanya?“ teriak Ryan kali ini ikut berdiri di depanku.
Sudah cukup! Kepalaku mulai berdenyut mendengar pertengkaran kedua bersaudara ini. Hatiku makin teriris melihat mereka saling bersitegang seperti itu. Ada rasa senang mengetahui fakta ternyata Ryan memang mencintaiku selama ini, tapi juga bingung akan keadaan yang sudah sangat berbeda ini.
“Bullshit, Mas! Kau bilang mencintai Aline tapi kau menikah dengan Fransisca, apa itu? Cintamu itu semu. Buktinya kau tak memeperjuangkannya dan sekarang kau menyalahkanku karena menikahi gadis yang aku cintai ini? Jangan picik, Mas!” Kali ini Vian mengucapkannya dengan lugas.
“STOOOOPPPPP!” teriakku tak tahan mendengar perdebatan mereka. Keduanya tampak menatapku dengan tatapan yang tak bisa dibaca. Aku berdiri dari dudukku meski sedikit limbung karena badanku kali ini terasa sangat lemas sekali.
Vian reflek menyangga pinggangku dengan tangan melingkar di pinggang.
“Kalian terlalu egois, kalian tak memikirkan perasaanku saat ini,” ucapku dengan lagi-lagi air mata menggenang di pelupuk mataku.
Sebenarnya aku capek terus menangis dari tadi, tapi saat ini aku memang membutuhkan ini.
Vian mengusap air mata yang sudah lolos jatuh ke pipi dengan punggung tangannya. Tatapan matanya lembut menusuk hatiku.
“Maaf, Mbak,” ucapnya kemudian.
Aku beralih menatap Ryan yang kini memicingkan matanya seperti tak suka melihat pemandangan di depannya tangannya mengepal erat seperti menahan emosi.
“Ryan, kita perlu menyelesaikan masalah ini, kita saling tahu bagaimana perasaan kita dulu, meski sakit tapi kita harus menyelesaikan semuanya sekarang. Aku juga merasa kesal dengan perasaanku selama ini, aku juga canggung atas pertemuan kita, aku juga terkejut atas kenyataan pahit ini. Aku juga merasa tersakiti, Ryan, karena selama ini orang yang masih menggenggam erat hatiku ternyata adalah kau, kakak dari suamiku sendiri,” ucapku tajam ke arah Ryan membuat Ryan menatapku dengan terkejut.
Dan bisa kurasakan Vian di sampingku tampak mendesah kecewa atas ucapanku.
“Mbak, kau bilang apa?” ucapnya lirih. Raut wajahnya sudah pucat pasi.
“Dan buat kamu, Yan, aku minta izin kepadamu, beri aku waktu untuk menata hati ini, aku tak bisa seperti ini, beri aku kesempatan untuk berdua dengan Ryan selama satu hari,” ucapku membuat Vian seketika menggelengkan kepalanya.
“No ... tak akan kuizinkan, Mbak, kalau mau bicara, bicaralah tapi ada aku, sekarang aku suamimu, terlepas kau mencintaiku atau tidak,” ucapnya penuh penekanan.
Kuhela napasku, mencoba mengatur napasku yang mulai sesak ini.
“Kalau kau ingin membebaskan aku dari cinta masa laluku berilah aku waktu, Yan, kalau kau mencintaiku berilah aku kebebasan, biar hati ini yang memilih,” ucapku membuat Vian kali ini melepaskan pelukannya.
“Mbak Mawar menghukumku, ya? Mbak Mawar marah karena aku satu flat dengan Sonia sehingga kau berkata seperti itu,” ucapnya.
Kulirik Ryan yang masih membeku di tempatnya.
Sedangkan Vian kini terduduk dan mengacak rambutnya, persis apa yang dilakukan Ryan tadi. Hatiku benar-benar mencelos melihat mereka terluka karenaku.
“Masalah Sonia aku memang marah tapi itu bisa kau jelaskan besok setelah masalahku dengan Ryan selesai, tolong hargai aku kalau kalian masih ingin aku di sini atau kalau tidak besok aku pulang ke Indonesia sendiri,” ucapku mengakhiri perdebatan ini.
Lalu aku menatap Ryan yang masih menatapku lekat.
”Besok bawa aku ke manapun kau mau, dan jelaskan semuanya padaku,” ucapku membuat dirinya seketika mengangguk .
Share this novel
ceritanya seru