12. Sacrifice

Horror & Thriller Completed 8081

Semua ini belum berhenti, selama Emma masih belum menyelesaikan ritual itu, iblis itu tidak akan berhenti untuk terus mengejar jiwanya Brayden. Kami tidak bisa menghentikan Emma, dimana saat dia melakukan ritual itu, iblis itu menjaganya. Pendeta itu mengatakan padaku bahwa Emma sudah melakukan perjanjian pada iblis itu sebelumnya. Dan dia mengincar Brayden dan menggunakan jiwanya untuk bertukar sesuatu yang tidak kami ketahui.

"Temukan wanita tua itu, kita harus mendapatkannya sebelum dia berhasil melakukan ritual itu" ucap pendeta.

Kami berdua dengan Rossie mengelilingi seisi rumah, dan pada akhirnya kami berhenti didepan kamarnya Emma. Aku mendengar keributan didalam kamar Emma, aku berusaha membuka pintu itu namun pintunya terkunci. Dengan cekatan Rossie langsung mengambil kapak didalam lemari, dan menghantamkan kapak itu ke pintu kamar. Rossie berhasil pada akhirnya membuat lubang besar pada pintu itu, dan betul yang aku duga dimana Emma sudah hampir menyelesaikan ritualnya. Dia sedang membacakan sesuatu dari dalam kitab ritualnya.

Kami bertiga tertegun ketika melihat Emma yang sedang melakukan ritual dimana ada sosok seperti laki-laki, besar dan tinggi sekali, dimana seluruh tubuhnya hitam seperti terkena bakar dan mempunyai tanduk yang menjulang panjang di kepalanya sedang membelakangi Emma seakan menjaga Emma sampai menyelesaikan ritualnya.

"Tinggalkan rumah ini dan biarkan jiwa anak itu tenang di dunia ini. Kembalilah ke asalmu, kembalilah!" teriak pendeta itu sambil mengarahkan salib kearah iblis itu."Jiwanya milikku sekarang" ucap iblis itu.

"Aku adalah ayah dari anak itu, dan aku tidak akan membiarkanmu mengambil jiwanya" ucapku."Jiwa anak itu sudah menjadi milikku, wanita ini sudah mengadakan perjanjian denganku" balas iblis itu dengan suara berat dan menyeramkan.

Emma tetap bersikeras membacakan tulisan yang ada dalam kitab itu dengan suara keras. Pendeta itu menatap Rossie dan seakan sedang memberikan kode padanya.

"Hentikan ritualnya pendeta, sebelum dia menyelesaikan semuanya" teriakku."Rossie, hentikan wanita tua itu sekarang" suruh pendeta.

Pendeta itu melangkahkan kakinya mendekati iblis itu tetap mengarahkan salib itu kearahnya. Sedangkan Rossie berlari kearah Emma berusaha menghentikan ritualnya. Pendeta itu terlihat sedang membacakan doa sambil mengarahkan salib itu, iblis itu meronta-ronta dan tubuhnya mengeluarkan asap.

"Kuasa gelap yang ada dirumah ini akan diusir. Dia akan berkuasa dirumah ini mengalahkan kegelapan" teriak Rossie mengarahkan alkitab yang terbuka kearah Emma.

"Aaaaaaaaaaahhh. Hentikan itu!" teriak Emma kesakitan sambil menutup telinganya sehingga menjatuhkan kitab ritualnya.

"Pergilah, semua kuasa gelap yang ada dirumah ini!" teriak pendeta itu sambil menyiramkan air yang didoakan ke iblis itu."Kau mengusik ritual ini, kau tidak akan bisa menghambatku" ucap iblis itu meronta-ronta kesakitan.

Tiba-tiba rumah berguncang hebat kembali, ditambah angin berhembus kencang dari jendela kamar dan memecahkan kaca jendela. Aku tidak bisa menyeimbangkan pijakanku lagi begitu juga dengan Rossie dan pendeta. Angin kencang itu berhembus kearah kami, sehingga membuyarkan pengusiran yang dilakukan pendeta itu.

"Rossie, jangan berhenti!" teriak pendeta."Kau tidak akan pernah bisa mengambil jiwa anak itu" teriak Rossie sambil mengambil kitab ritual yang terjatuh.

"Steveeenn, aku sedang mencoba menyelamatkan anakmu Luis" teriak Emma tetap menutup telinganya dengan kedua tangannya."Kau wanita yang licik, kau melakukan dosa dan kau berfikir akan menebus semua itu dengan menumbalkan nyawa anak ini" bentak Rossie.

Aku tidak mengerti akan apa yang dimaksudkan Emma tadi. Aku hanya bisa melihat semua ini, dimana Brayden masih tergeletak didalam lingkaran itu. Rossie langsung merobek-robek kertas yang berisikan cara melakukan ritual itu dan membuangnya ke lantai. Melihat buku itu sudah dirobek, iblis itu kelihatan sangat marah. Dia mengangkat tubuh Rossi dan pendeta itu melayang dari lantai, dan pendeta itu tidak sengaja menjatuhkan air suci itu ke lantai hingga pecah.

"Ambil air suci itu Steven, siramkan semuanya pada iblis itu sebelum semua terlambat" teriak pendeta.

Dengan sergap aku langsung mengambil bagian botol yang sudah pecah sebagian yang masih menyisakan air suci itu, dan melemparkannya kearah iblis itu.

"Arrrggghhhhh" teriak iblis itu dimana tubuhnya mengeluarkan asap saat aku menyiramkan air suci.

Iblis itu mencampakkan Rossie dan pendeta ke dinding, begitu juga aku dihempaskan keluar hingga membentur meja kaca, dan getaran hebat itu seketika  berhenti. Pandangan ku kabur dan seluruh tubuhku terasa sangat sakit akibat pecahan kaca itu menancap di tubuhku. Aku mencoba untuk berdiri namun untuk mengangkat tubuhku saja aku tidak bisa melakukannya. Mataku perlahan menutup, aku melihat iblis itu berlari keluar kamar. Setelahnya, Rossie menghampiriku berusaha tetap membuatku tersadar.

"Tetap buka matamu Steven, kau harus tetap tersadar. Kami membutuhkanmu sekarang" ucap Rossie sambil menggoyangkan pundak ku."Brayden, dimana dia?" ucapku pelan setengah sadar.

Pendeta itu datang menghampiriku juga dan langsung mengangkat tubuhku membantuku untuk berdiri. Tubuhku terasa sakit semuanya, aku merangkul kan tanganku di pundak pendeta dan Rossie. Dan mereka menopang ku berjalan.

"Wanita itu tidak akan berhenti melakukan ritual itu sampai dia berhasil menumbalkan jiwa anakmu" ucap pendeta.

"Tunggu sebentar" ucapku sambil melihat kearah luar rumah.

"Ada apa Steven, kenapa kau berhenti?" tanya Rossie."Siapa mereka yang sedang berdiri di halaman depan" tanyaku lagi sambil menunjuk kearah luar.

"Wanita tua itu sudah berhasil memanggil sekawanan iblis lainnya Steve, kita harus menghentikan wanita itu" ucap pendeta."Dia membawa Brayden kembali kedalam basemen itu" kata Rossie.

Kami kembali masuk kedalam basemen, dimana pada saat kami sudah turun kebawah, basemen begitu gelap. Aku mencoba menghidupkan lampu basemen namun listriknya tidak bekerja. Rossie menghidupkan senter dan mengarahkan cahayanya keseluruh basemen. Dimana Rossie berhenti di suatu titik, ada seseorang yang sedang duduk di bangku dimana seluruh tubuhnya ditutupi kain putih.

"Itu Brayden" kata Rossie menduga."Tunggu, dimana Emma?" ucap pendeta itu sambil mengadahkan tangannya berusaha menahan kami.

Aku tidak mempedulikan perkataan pendeta itu lagi, aku langsung berlari kearah kursi itu dan langsung membuka kain itu. Pendeta itu sudah berusaha untuk menahanku, namun aku bersikeras.

"Brayden anakku, ini ayah. Ayah disini sekarang bersamamu" ucapku sambil memegang kedua pipinya.

Mata Brayden terbuka namun bola mata hitamnya menjulang masuk ke dalam kelopak matanya. Semua tubuh Brayden bergetar dan mulutnya ternganga lebar. Aku mengecup keningnya, dimana rasa sayang ku sudah mengalahkan rasa takutku.

"Steven, tinggalkan Brayden sekarang juga" teriak Rossie ketakutan dimana dia mengarahkan cahaya senter keatas.

Iblis itu tepat berada dibelakang Brayden saat aku mendekatinya. Aku mengarahkan pandanganku kearah cahaya dan menatap matanya yg merah. Segera mataku langsung menutup, supaya dia tidak bisa mengendalikan pikiranku. Aku mencoba menarik tubuh Brayden dari kursi itu, namun aku tidak bisa menariknya seakan tubuh Brayden sendiri menolak.

"Tinggalkan Brayden sekarang juga Steve" teriak pendeta itu kembali."Tidak!, aku tidak akan membiarkan iblis ini mendapatkan anakku".

"Jiwanya milikku, kau tidak akan pernah bisa menahanku." ucap iblis itu."Iblis sepertimu tidak akan bisa mengambil jiwa anak ini" kata pendeta.

"Matilah kalian semua" teriak Emma.

"Aaaaaaaaahhhhh" teriak Rossie histeris kesakitan.

"Tidak, Rossie!" teriak pendeta.

Emma berlari kearah Rossie dan menusuknya tepat di perut. Pisau itu menembus masuk kedalam, sehingga Rossie terjatuh berlutut sambil memegang pisau yang tertancap di perutnya. Lampu basemen seketika hidup kembali, dan Emma langsung meraih rambut Rossie. Dia menyeret Rossie kearah lingkaran hitam yang sudah ada di lantai basemen.

"Tidak, jangan lakukan itu!" teriak pendeta histeris berlari kearah Emma."Kau tidak bisa menghentikan ritual ini dengan kitab yang kau punya itu" ucap Emma sambil mengarahkan tangannya kearah pendeta.

Pendeta itu terangkat, dan Emma menghempaskan pendeta itu ke arah peti-peti barang."Aku sedang membantumu Steven, ini salah satu cara untuk menyelamatkan anakmu Luis" ucap Emma.

"Apa yang kau maksudkan?, kenapa kau berkata seperti itu?" tanyaku."Aku sangat menyesal saat itu, sekarang saat yang tepat menceritakan semuanya" jelas Emma.

Emma mengatakan bahwa dulu dia meminta bantuan iblis untuk membantunya keluar dari kemiskinan. Namun, iblis itu meminta imbalan yaitu anak yang sedang dikandung Emma dulu. Emma dan suaminya menyetujui perjanjian itu, namun seiring berjalannya waktu Emma dan suaminya sudah mendapatkan segala yang mereka inginkan dulu. Namun, suatu ketika Emma sangat terpukul mendengar berita kalau suami yang sangat dicintainya mengalami kecelakaan saat sedang bertugas dan meninggal di tempat peristiwa.

Tepat setelah satu bulan lamanya suaminya meninggal, Emma melahirkan anak pertamanya. Emma berubah pikiran untuk tidak menyerahkan anaknya pada iblis itu, karena hanya anak itulah peninggalan dari suaminya. Setelah melahirkan, Emma sering diganggu oleh iblis itu, namun Emma tetap bersikeras menolak untuk memberikan anaknya. Sampai suatu saat, Emma dan anaknya mengalami kecelakaan besar di jalan. Emma begitu terpukul ketika melihat anaknya sudah meninggal ditempat, dan dia melihat iblis itu mengambil jiwa anaknya.

Lima tahun berlalu, Emma menjalani kehidupannya seorang diri. Dia selalu dibayangi oleh suara anaknya yang meminta tolong untuk diselamatkan. Emma menyadari bahwa jiwa anaknya berada ditangan iblis itu, dan salah satu cara untuk menyelamatkan anaknya ialah memberikan jiwa orang lain. Emma menahan keinginan itu dan memilih untuk tidak melakukan itu selama lima tahun lamanya. Sampai akhirnya dia tidak tahan lagi, dan dia mengendarai mobilnya keluar dari rumah. Sampai di perempatan jalan, dia melihat seorang anak kecil sedang berlari kearah jalan berusaha mengambil bolanya, dan dia menginjak penuh pedal gas mobil dan mengarahkan kemudinya kearah anak itu yang sedang mengambil bola.

"Manusia biadab!, kenapa kau tega melakukan itu" teriakku."Aku mengakui kesalahan ku Steve, dan aku mencoba untuk menebus kesalahanku dulu dengan menyelamatkan anakmu" ucapnya.

"Kau melibatkan anakku, kenapa anakku yang kau bunuh!" teriakku lagi."Kenapa kau bersikeras ingin menyelamatkan anak itu" ucap Emma sambil menunjuk kearah Brayden.

"Dia anakku juga, dan aku sangat menyayanginya" ucapku."Kau sangat bodoh!. Dia hanya lah anak kecil, yang bahkan bukan darah dagingmu sendiri".

"Cukup Emma!".

"Hentikan semua ini".

"Tidak Steven, aku akan menebus dosaku. Aku tidak mau mati pada akhirnya dimana dosa yang dulu aku perbuat masih bersamaku" jelasnya.

"Kau sudah membunuh ibuku juga!. Apa lagi yang kau inginkan?" bentakku."Tidak Steven, bukan aku yang membunuh ibumu. Iblis itulah yang membunuh ibumu" jelasnya.

"Dosa yang kau perbuat dulu akan tetap menjadi dosamu. Ini semua tidak menjanjikan bahwa kau akan bersih dari semua dosa yang kau perbuat" ucap pendeta telah sadar.

"Diam!. Aku akan tetap melakukannya" teriak Emma."Kenapa kau membawa istriku juga ke ritual itu?" tanya pendeta.

"Hahaha, dosaku aku akan semakin bersih jika aku menumbalkan sekaligus dua jiwa" ucap Emma tertawa."Kau bukanlah manusia, kau sudah hampir sama menyerupai dengan iblis!" teriak pendeta.

Emma mengacuhkan perkataan pendeta itu, mulutnya bergerak seakan sedang mengatakan sesuatu. Kursi dimana Brayden terduduk bergerak dengan sendirinya kearah Emma. Dimana Brayden berdiri dengan sendirinya, dan masuk kedalam lingkaran itu lalu terjatuh pingsan. Emma kembali berteriak mengucapkan mantra dari ritualnya, dimana buku yang sudah dirobek Rossie dengan sendirinya melayang di udara dan menyatu kembali dengan sendirinya.

"Rossie, kau harus keluar dari lingkaran itu. Sadarlah sayang" teriak pendeta."Dimana salib dan alkitab yang kau bawa tadi pendeta" tanyaku.

Emma membacakan mantra ritualnya."Aku akan mengambilnya, itu terjatuh di kamar tadi" ucap pendeta berlari keatas.

"Oh tidak" teriak pendeta dari atas. Dia kemudian menutup pintu basemen, dan kembali turun kebawah."Iblis yang berada di luar rumah tadi kini sudah masuk kedalam rumah" jelas pendeta.

Getaran itu kembali mengguncang rumah saat Emma sudah membacakan sebagian mantra ritualnya. Semua benda dan barang yang ada didalam basemen terangkat semuanya dan memutari Emma membentuk lingkaran. Pendeta itu berlari mencoba menghentikan Emma, namun dia tercampak ke belakang.

"Hey Steven, kalung apa itu yang sedang kau pakai di lehermu?" tanya pendeta berusaha berdiri. Aku mencopot kalung salib yang sedang ku pakai di leherku."Aku lupa kalau aku memakai ini dileher ku" jawabku.

"Lemparkan padaku" ucap pendeta. Aku melempar kalung salib itu kearahnya dan pendeta itu berhasil menangkapnya.

"Semua roh dan kuasa gelap yang ada di rumah ini, pergilah!" ucap pendeta dengan nada keras sambil mengarahkan salib itu.

Pendeta itu semakin lama semakin mendekati Emma."Pergilah, kehadiranmu disini tidak diinginkan" ucap pendeta lagi.

"Aaaaaaaaahhhhh" teriak Emma namun tetap bersikeras mengucapkan mantra ritualnya."Kembalilah ke asalmu, tempatmu bukanlah disini!".

"Pergilah".

"Lepaskan anak itu dan wanita itu" ucap pendeta.

Emma tetap bersikeras untuk mengakhiri mantra ritualnya, padahal dia merasa kesakitan ketika pendeta itu mengarahkan salib itu kearahnya. Getaran itu masih mengguncang seisi rumah, aku bisa merasakan kalau Emma sudah hampir menyelesaikan mantranya. Pintu basemen dibuka paksa oleh iblis yang mencoba masuk kedalam rumah tadi, dan turun ke bawah. Mereka meneriakkan satu kalimat dengan serentak yaitu pengorbanan berulang-ulang kali.

Pandanganku mengarah pada kapak yang tertancap di meja pemotongan kayu. Aku berlari mengambil kapak itu, dan langsung berlari kearah Emma. Aku menunduk masuk kedalam barang-barang yang melayang mengitari Emma, dan langsung menancapkan kapak itu tepat di dada Emma setelah dia berhenti membacakan mantranya. Semua barang-barang yang melayang mengitari Emma tadi tiba-tiba berhenti dan berjatuhan ke lantai begitupun getarannya.

"Steven, apa yang kau lakukan ini salah. Aku sedang mencoba membantumu" ucap Emma terbata-bata dimana kapak masih menancap di dadanya."Kau layak mendapatkan ini, sekarang kau mati dengan dosa mu" tegasku.

"Dan aku mengorbankan jiwamu untuk menyelamatkan anakku Luis. Terimakasih atas pengorbanan mu Emma" ucapku."Kau akan terbakar di neraka Steven" ucap Emma terbata-bata menahan sakit.

Pendeta itu langsung menarik keluar Rossie dan Brayden keluar dari lingkaran."Semoga Tuhan memafkan segala dosamu" ucap pendeta sambil mengalungkan salib dileher Emma.

"Sampai jumpa Emma di dunia yang berbeda" ucapku memberi penghormatan terakhir padanya sambil mendorongnya masuk ke lingkaran.

"Aaaaaaaaahhhhh" teriak Emma.

Emma berteriak meminta tolong dimana kulitnya melepuh seperti terkena bakar. Dia mencoba mencabut kapak yang masih menancap di dadanya, namun tidak bisa karena tangannya semakin meleleh. Dia menggeliat seperti halnya binatang yang di bakar hidup-hidup, mencoba untuk keluar dari lingkaran. Aku dan pendeta menyaksikan langsung Emma terbakar didalam lingkaran itu sampai tinggal abu saja. Setelah Emma terbakar sampai abu, iblis yang mencoba masuk tadi tiba-tiba menghilang dengan sendirinya.

"Ayah?" ucap Brayden tersadar di pelukan pendeta itu."Brayden, anakku. Syukurlah kau sudah sadar" ucapku menghampirinya.

"Steven, lihat kebelakang. Luis ada dibelakangmu" ucap pendeta. Aku terkejut mendengar ucapan pendeta tadi, dan langsung menengok kebelakang.

"Luis?, itu kau sayang?" tanyaku.

"Iya yah".

Aku memeluknya erat."Luis, ayah menyesal saat itu ayah tidak bisa menyelamatkanmu" ucapku menyesal."Tidak apa-apa yah, ini semua bukan kesalahanmu" balas Luis.

"Jangan tinggalkan ayah Luis, ayah sangat merindukanmu".

"Kau sudah memiliki penggantiku yah, dia anak yang baik" ucapnya.

"Kau tetap menjadi anak kesayangan ayah sampai kapanpun" jelasku."Aku tahu akan itu yah. Terimakasih sudah membebaskanku yah, aku akan bersama ibu sekarang" ucap Luis.

"Tetaplah disini sayang, ayah mohon".

"Steve?, anakmu sudah tidak dipelukanmu lagi" ucap pendeta. Aku membuka mataku perlahan dan aku sedang memeluk diriku sendiri.

"Uhuuk" suara batuk Rossie."Sayang, aku sangat mengkhawatirkanmu" ucap pendeta itu sambil menekan perut Rossie dimana pisau yang menancap tadi sudah dicabutnya saat menarik Brayden dan Rossie dari lingkaran.

Aku langsung memeluk Brayden begitu juga pendeta itu sedang memeluk Rossie. Kami terduduk di basemen, sampai pada akhirnya kami mendengar suara sirine polisi dan ambulan. Setelah itu, terdengar suara paman Sam memanggil namaku berulang kali. Aku merasa lega untuk sekarang, bahwa semua ini sudah berakhir. Meskipun aku harus menerima penuh, hidup baruku bersama Brayden nanti tanpa adanya sosok seorang ibu dan nenek lagi.

~~

Hallo...  Halloo Hai pembaca Dad Who Is He??? ??. Wahhhhh, sudah publish cerita terbaru. Dua hari lagi akan publish part terakhir yaitu part XIII ( The End ) berikutnya yaa. Mimin akan publish part terbarunya setiap dua kali sehari, yeaaaay????

Maafin mimin yee hehe, mimin selama ini sedang membuat cerita terbaru yang akan segera publish.. bisa ditunggu ya.. stay tune terus yee.

Note : Thank you so much buat kalian yang senang membaca novel "Dad Who Is He ??" ini dan sudah menambahkan cerita ini ke reading list kalian di .

#salamhangat

support Mimin selalu?? tumpahkan di kolom komentar ya. *Comment Down Bellow*??.  So, jika banyak yang suka ceritanya, mimin janji akan teruskan kelanjutan ceritanya??.

Dukungan kalian sangat berarti buat Mimin^^/

Stay tune guyss
Love y All

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience