Bab 52

Romance Completed 25593

BAB 52

VIAN POV

Aku belajar memahami, mengerti bahkan lebih dari itu kalau hormon ibu hamil itu memang sangat sensitif. Bukan saja karena hormonnya yang naik jika terkena sentuhan pasti akan tergoda, tapi juga dengan tingkat kepekaannya dan juga emosinya yang sering naik turun.

Seperti saat ini, semalam setelah pulang dari dokter, istriku ini hanya diam seribu bahasa. Bahkan semalam pun hanya menjawab seperlunya jika aku tanya. Tidur masih minta aku memeluknya, tapi sikapnya dingin padaku. Kalau boleh menyimpulkan, semua ini terjadi gara-gara pertemuan kami dengan Vani di klinik semalam. Aku juga tak menyangka kalau tempat periksa istriku itu adalah klinik milik papanya Vani. Sumpah aku juga tak mau bertemu dengannya di sana. Kami memang masih berhubungan tapi itu hanya sebatas mengurus beasiswa saja, yah meski hampir tiap hari sih bertemu. Bahkan nanti siang pun aku juga harus bertemu dengannya.

“Mbak, Evan pulang, ya, jaga calon ponakan Evan, loh.” Suara Evan membuatku tersadar karena saat ini kami sedang berada di bandara untuk mengantar Evan dan juga masku, Ryan, pulang ke Yogya. Kulirik istriku yang terisak di pelukan Evan, tuh kan dia sensitif memang.

“Mbak ikut pulang ya, Van?” Tiba-tiba celetukannya membuatku membelalak terkejut. Begitu pun masku yang berada di sampingku dan juga Rasya yang sedang asyik menjilati permen lolipopnya.

“Fey?”

“Mamiiii?”

“Mbak Aliiinee??”

Kami bertiga serempak memanggilnya, Evan menyipitkan matanya ke arahku. Tatapan yang seakan-akan menuduh aku pasti sedang bertengkar dengan mbaknya. Kugelengkan kepala sebagai isyarat untuk menghapuskan prasangka Evan. Memang benar kan, aku tak bertengkar kok dengan mbaknya itu.

“Kangen Bunda,” rengeknya kemudian ke arah Evan membuat Evan tersenyum dan mengecup pipi istriku itu.

“Hey, tuh siapa sekarang yang manja? Kalau seperti ini kan jadi kayak Putri, kan?” ucap Evan membuat istriku itu memukul bahunya.

Suara panggilan untuk penumpang membuat masku menginterupsinya.

“Van, sudah saatnya, Yan, Mas pulang, ya. Jaga istrimu, jangan membuatnya menangis, ingat dia lagi hamil, ya? Sya, kak Ryan pulang,” ucap masku lalu kini menoleh ke arah istriku yang masih enggan melepas pelukannya dari Evan.

‘”Aline, sudah lepaskan itu adikmu, kasian dia sudah tak bisa bernapas begitu, dan juga hayo kemarin bilang apa sama aku, tak boleh lari dari masalah,” ucap masku kepada mbak Mawar membuat dia seketika melepaskan pelukannya.

“Iya bapak pengacara, sudah sana, keburu ketinggalan pesawat,” ucapnya lalu mendorong Evan.

Evan mengecup sekali lagi pipi istriku itu, Sedangkan masku itu mengacak rambut istriku dan segera melambaikan tangannya lalu beranjak pergi disusul Evan.

“Fey?” panggilku ke arahnya.

Dia dari tadi memang tak menghiraukanku. Meski masih menyiapkan sarapan buatku, dan juga menyiapkan semua keperluanku. Tapi ya begitu tak mau berbicara denganku.

“Sya, minta es krimnya dong,” ucapnya dan langsung menggandeng mesra tangan Rasya yang terang saja membuat Rasya langsung tersenyum lebar. Dasar berondong kecil.

*****

Mobil sudah berhenti di depan halaman kampus, Rasya memang kuminta untuk mengantarkan ke sini sebelum mengantar istriku kembali ke Café. Pagi ini jadwal mengajarku memang padat.

“Fey, aku berangkat dulu ya? Ingat jangan lupa minum susunya, ya?” Kuraih wajahnya dan kukecup keningnya dengan sayang lalu beralih mengecup perutnya yang sudah sedikit membuncit itu.

Dia hanya diam saja saat kucium dan kuusap

rambutnya.

”Fey, kenapa sih? Marah ma aku?”

Dia menggelengkan kepalanya. “Udah buruan sana, aku ngantuk mau tidur cepet mpe rumah,“ ucapnya membuatku tersenyum dan mengusap rambutnya lalu segera membuka pintu mobil.

“Ya udah sudah ya, Fey. Sya, ati-ati loh,” ujarku yang

langsung diangguki oleh Rasya.

Kututup pintu mobil dan mulai melangkah pergi. Biarlah dia kalau marah memang harus diademkan dulu, nanti kalau aku memaksa yang ada bisa meledak nanti.

Meski aku juga tak tahu aku salah apa.

*****

Leherku terasa pegal setelah 3 jam mengajar secara maraton 2 kelas. Huft ingin rasanya langsung pulang dan merebahkan diri di atas kasur dengan Fey di sampingku.

“Vi, akhirnya keluar juga.” Suara familiar menyeruak di telingaku, dan benar dugaanku saat membalikkan tubuhku kulihat Vani sudah berdiri di sana. Duh, aku lupa kalau aku punya janji dengannya. Padahal malas banget sebenarnya.

“Yuk, Vi, udah ditunggu, loh,” ucapnya yang langsung

menarik tanganku.

Kukibaskan tangannya yang menggandengku

membuatnya menoleh memandangku.

“Kenapa emang?” tanyanya bingung.

“Bukan muhrim, Van, kau tau aku sudah bersegel,” ucapku, membuat dia tergelak.

“Iya, tau bercanda kali, Vi, kamu ini kok tegang banget, istri di rumah kali, Vi, tak liat juga,” ucapnya membuatku menghentikan langkah.

“Loh kenapa berhenti?” Vani ikut menghentikan langkah dan memasang wajah bingung.

“Aku tak suka kamu berbicara seperti itu,” jawabku tegas membuatnya menyipitkan matanya tapi kemudian menghela napasnya.

“Iya, iya aku salah. Udah, yuk, kita nanti telat loh,” ucapnya yang membuatku akhirnya melangkah kembali mensejajarkan langkahku dengannya.

Buuuuukkkkkkk.

Tiba-tiba sebuah bola basket melayang mengenai tubuh Vani membuatnya oleng dan reflek membuatku segera menangkap tubuhnya yang kini berada di dalam dekapanku. Tubuhnya terasa menempel di tubuhku.

Suara seorang mahasiswalah yang mengagetkanku dan juga Vani. Pemuda itu meminta maaf kepada Vani karena telah membuat bolanya menubruk Vani. Kupejamkan mata, aku tak boleh begini.

“Maaf,“ akhirnya kuucapkan itu kepadanya dan dia menyeringai geli.

“Maaf buat apa?” tanyanya memancingku.

“Aku tak berniat memegang tubuhmu.”

Dia tersipu karena memang tadi sempat pelukanku yang reflek itu menyentuh area paling sensitif di dadanya.

Fey, maafin suamimu ini.

*****

Sikap Vani jadi sedikit berubah setelah kejadian tadi di aula kampus. Ketika sampai di rumah profesor Hadi pun dia hanya terdiam dan malu-malu menatapku. Duh ada apa lagi ini. Dan sekarang saat kami sudah dalam perjalanan pulang dia juga dari tadi hanya diam.

“Makasih ya, Van.” Kubuka seat belt saat mobilnya sudah berhenti di depan café.

“Aku juga makasih ya, Vi,” ucapnya tersipu lagi.

Aku segera keluar dari dalam mobil, takut kalau terjadi hal yang tidak-tidak karena Vani tampaknya sudah salah paham denganku.

Kulambaikan tangan ke arah Vani saat dia melajukan mobilnya. Aku segera berbalik arah menuju rumah. Ingin cepat-cepat mengambil air wudhu dan sholat. Membersihkan pikiranku ini.

*****

Baru saja melepas sarungku sehabis menunaikan sholat Ashar, istriku masuk ke dalam kamar dan segera menghambur ke pelukanku. Eh, ada apa lagi ini?

“Fey, kenapa?” tanyaku lembut ke arahnya.

Dia semakin mendekapku erat.

”Maaf karena telah mengabaikanmu seharian ini, aku berdosa, ya,” ucapnya lirih.

Aku jadi teringat dosa juga ketika bayangan kejadian tadi di kampus mengetuk ingatanku. Meski tak sengaja tapi aku merasa bersalah dengan istriku.

“Aku juga minta maaf ya, Fey, aku juga melakukan kesalahan,” bisikku ke arahnya membuat dia mendongakkan wajah cantiknya itu.

“Memangnya kenapa? Kau benar-benar selingkuh dengan Vani, ya?” ucapnya membuatku terkejut.

Bagaimana bisa dia menyimpulkan begitu? Aku kan tak selingkuh.

“Eh, Fey kenapa jadi menuduhku selingkuh?” Dia mengerjapkan matanya.

”Ehm aku cemburu dengan Vani, meski tak masuk akal tapi aku merasa Vani itu ancaman buatku,” jawabnya membuatku tersenyum.

“Iya, maaf ya membuat Fey cemburu, tapi sumpah aku tak berniat begitu, kalau bisa pun aku akan menjauhinya. Fey, bersabarlah ya kalau semuanya sudah beres aku berjanji tak akan dekat lagi dengan Vani, toh hanya kamu yang ada di sini,” tunjukku ke arah dadaku.

“Gombal, rayuan basi,” sungutnya lucu tapi kemudian menggelendot manja lagi.

“Tapi janji ya, tak akan tergoda dengan wanita sejenis Vani itu,” ucapnya membuatku mengangguk.

Firasat seorang istri itu memang tajam, kan. 

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience