Bab 29

Romance Completed 25593

BAB 29

“Setelah mbak Mawar jatuh tak sadarkan diri, dan Masku memukulku, dia juga terjatuh tak sadarkan diri, kalian dilarikan ke rumah sakit, dan kondisi mas Ryan kembali tak stabil, luka di kepalanya mengalami pendarahan lagi, karena dia terlalu berpikir dengan keras.”

Aku menutup mulutku tak percaya mendengarnya.

Benarkah separah itu Ya Tuhan, kenapa ini bisa terjadi.

“Lalu sekarang bagaimana?” tanyaku khawatir.

‘Tadi sudah tersadar, tapi dokter menyarankan Mas Ryan tak boleh berpikir keras dulu, dan aku memutuskan untuk menjauh, agar tak membuatnya begitu lagi. Bunda sudah tahu dan memberi jalan untuk kita. Mama papa sebenarnya tak setuju dengan keputusanku tapi ini demi kebaikan kita semua, aku tak ingin membuat istriku dan calon junior kita tertekan dan aku tak mau juga membuat masku itu sakit, jadi tak apa-apa ya, Mbak, untuk sementara kita di sini?”

Aku mengangguk mengiyakan lalu menyandarkan kepalaku di dadanya.

“Apapun, Yan, asal bersamamu, tapi benar ini Café milikmu? Kenapa aku tak tahu?” Kutatap wajahnya kini yang tampak tersenyum itu.

“Ini usahaku dulu patungan sejak aku lulus SMA, Mbak, Uang jajan yang diberikan papa aku tabung dan bersama 2 orang temanku akhirnya tercipta Café ini dan alhamdulilah 80% sahamnya sudah menjadi milikku, sah.”

Benar-benar kejutan buatku, berondongku ini selain cerdas juga sangat dewasa, dalam usia semuda itu sudah bisa mengelola bisnis. Benar-benar suami idaman.

“Kenapa di Solo? Bukan di Yogya?”

Vian tersenyum, “Kita dapat tanahnya dan bangunannya di sini, Mbak, lagipula di Yogya sudah banyak café, persaingannya ketat, kita cari tempat yang potensial dan akhirnya dapat tempat ini. Lagi pula dulu aku ingin menetap di sini, tapi itu dulu.”

Aku mengernyit mendengar jawabannya.

”Kenapa?” tanyaku penasaran.

“Tapi Sayang janji tak marah kalau aku bilang alasannya,itu cuma dulu kok.”

“Cepat katakan jangan membuatku penasaran.” Kucubit perutnya hingga membuatnya meringis.

“Iya, iya ihhhh, Sayang kejam,” gerutunya sambil mengusap-usap perutnya.

“Dulu ada temanku yang berasal dari sini, cantik dan ehmm lembut, dulu Mbak, dia cinta pertamaku.”

Haiishhhh kenapa jawaban yang tak kuharapkan yang keluar dari mulutnya. Aduuuhhh Aline, tuh kan kenapa sekarang aku jadi merasa marah.

“Tuh kan, cemberut, marah pasti.“ Vian mencubit pipiku.

“Ish Vian, sakit.“ Kutepis tangannya membuat dia tergelak lalu merengkuhku kembali.

“Tapi itu dulu kok, lagian cuma cinta monyet, kata orang,” jawabnya ringan.

“Ishhh aku tak mau menikah dengan monyet,“ ucapku kesal membuat Vian terkekeh dan tiba-tiba mencium pipiku.

“Heh, jangan mulai lagi.“

“Mulai apa? cuma cium pipi, kok.”

“Jadi, di sini berarti di bawah ini Café, terus sekolahmu, pendidikan doktermu bagaimana?” tanyaku ke arahnya.

Dia mengusap rambutku lagi, mengusap perutku kemudian.

“Aku mendapat tawaran mengajar sebagai dosen freelance di sini, dosen pembimbingku dulu di UGM yang menawariku, sementara aku tunda dulu sekolah spesialisku. Aku ingin fokus ke istriku tercinta dan calon babyku, dan juga mengelola café ini. Sayang, maaf ya jadi membuatmu tak nyaman tinggal di ruangan ini. Vian janji, pasti akan segera membeli rumah untuk kita semua, tapi Sayang harus bersabar, ya.” Ucapannya benar-benar membuat hatiku seperti disiram air dingin. Suamiku ini yang notabene masih sangat muda bisa berpikiran sejauh ini.

Tanggung jawabnya dan rasa cintanya kepadaku, membuatnya rela berkorban demi apapun. Aku benar-benar tersentuh. Makin cinta kalau begini. Tak punya rumah pun tak apa-apa asal ada dia di sampingku.

*****

Harum racikan kopi membuat penciumanku membawa ke sini. Tadi saat terbangun subuh, aku sudah tak menemukan suamiku itu. Dan saat kini kulihat dia dengan cekatan memberi instruksi kepada beberapa karyawannya sepertinya.

Kuedarkan pandanganku kesegala penjuru arah. Café dengan suasana warna biru ini memang sangat simpel, tapi kesan elegan bisa kudapat di sini. Kesan kental anak muda yang mendominasi café ini, memang tak begitu luas tapi sudah nyaman untuk tempat nongkrong anak-anak muda.

“Sayang, Sudah bangun?” Suara Vian mengagetkanku dari kegiatanku melihat-lihat. Hari masih sangat pagi memang, kurasa baru pukul 6 pagi. Karyawan di café ini juga lumayan banyak kurang lebih 30 karyawan. Beberapa dari mereka tampak berbisik-bisik melihatku direngkuh Vian dengan mesra.

“Mau jalan-jalan tidak? Biar Sayang juga terbiasa?” tawarnya dan aku mengangguk mengiyakan.

Vian merapatkan jaket yang kukenakan, sesaat setelah kami keluar dari café. Menyusuri trotoar tak jauh dari café, Vian membawaku berjalan menikmati udara pagi di Solo ini.

“Mau serabi, Sayang? Enak loh.” Vian menunjuk seorang pedagang serabi di ujung jalan.

Aku mengangguk mengiyakan saat Vian menarikku ke arah sana.

“Ian, ini Ian kan, ya?” Tiba-tiba dari arah berlawanan seorang wanita yang sangat cantik menyapa Vian.

Vian terkejut melihatnya, tapi kemudian tersenyum.

“Sisil, Sisilia, ya? Wah, long time no see you.”

Wanita itu tersenyum dengan sopan dan menjabat tangan Vian.

“Kamu yang menghilang dari peredaran, tiap hari loh aku ke cafému tapi kata karyawan di sana, kamu tak pernah menjenguk cafému itu, ya? Sudah lupa ya sama janji kita?”

Aku mengernyit mendengar ucapannya, kulihat Vian menggaruk rambutnya, tapi tangannya erat memeluk pinggangku.

“Aku sibuk,” jawab Vian kemudian.

Wanita bernama Sisil itu memberengut seperti merajuk mendengar jawaban Vian. Nah loh tampaknya ini gadis 11-12 dengan Sonia itu.

“Ini siapa? Mbakmu, ya?” Sisil tiba-tiba menoleh ke arahku. Dan reflek aku menjawabnya.

“Iya perkenalkan, Mbaknya Vian,“ ucapku membuat Vian menoleh ke arahku, biarlah aku sedang tak mood untuk memperkenalkan sebagai istrinya bisa-bisa kejadian seperti Sonia terulang lagi.

Sisil tersenyum ramah ke arahku menjabat tanganku dan mencium tanganku.

“Senang berkenalan dengan calon kakak ipar,“ ucapnya membuat Vian makin mempererat pelukannya, tapi kupaksakan senyumku meski hati ini sudah memanas.

“Owh pacarnya Vian, ya?”

“Bukan.”

“iya.”

Jawaban berbeda kudapatkan dari Vian dan Sisil lalu

“Bercanda, Mbak, Vian temanku dulu, tapi kalau Vian belum ada calon sekarang ....” Sisil melirik Vian lalu menatapku kembali, “Saya juga masih mau ...,” bisiknya mencondongkan tubuhnya ke arahku.

Haduh apalagi ini, sabar-sabar, Line.

Vian menarikku untuk menjauh dari Sisil, “Ya sudah ya, Sil, kami pergi dulu.” Vian menarikku makin menjauh, Sisil melambaikan tangannya .

“Oke, nanti aku mampir deh, ya Yan, kangen,” teriaknya sebelum akhirnya Vian membawaku membelok ketika sampai di ujung jalan .

“Jadi, itu monyetnya?” tanyaku langsung membuat Vian meringis.

“Sayang, tuh kan, dia itu bukan siapa-siapa, kok.”

“Iya bukan siapa -siapa, tapi bisa manja kepadamu,” sungutku kesal.

“Eh tapi kan tadi Sayang tak memberiku kesempatan untuk memperkenalkanmu sebagai istriku, kenapa bilang kakakku?”

Aku menoleh ke arahnya, ”Memang aku pantasnya menjadi kakakmu, bukan istrimu.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience