BAB 27
Ketika hati mulai menerima, ketika hati mulai merasakan, dan ketika hati ini sudah mulai memantapkan pilihannya, kenapa hati ini harus dikembalikan lagi keposisi semula, bukan semula tapi lebih dipaksa lagi. Bukankah ini namanya pemerkosaan?
Oke, aku mulai tak bisa berpikir jernih saat ini, 2 minggu yang lalu aku pikir, Vian akan berusaha mempertahankanku. Rupanya aku terlalu banyak bermimpi dan menonton drama korea yang berharap suami bisa berjuang mempertahankan istrinya sampai titik darah penghabisan. Tapi nyatanya aku dikembalikan ke realitas, kalau Vian hanya seorang anak bungsu yang patuh dengan orang tuanya dan sangat menyayangi kakaknya itu. Dan akhirnya di sinilah aku berada,di rumahku, terbaring sakit, dan merindukan suami bocahku itu meski aku sangat marah dengannya. Enak saja dia mengumpankan aku kembali kepada masnya itu.
2 minggu ini, mama memaksaku untuk tiap hari ke rumah dan menemui Ryan, mengantarnya terapi, mengajaknya ke tempat-tempat yang bisa membuatnya kembali mengingat, tapi sejauh ini nampaknya dia masih belum bisa mengingat apapun. Bahkan kalau aku paksa dia akan kesakitan dan memegangi kepalanya. Tak memungkiri hantaman keras memang membuat trauma kepalanya lebih berat, bersyukur dia tak gegar otak.
Dan kini aku terbaring lemah di atas kasurku ini, entah sejak 2 hari yang lalu aku sering merasakan mualmual dan tak bisa menerima apapun makanan yang masuk ke dalam perutku.Tipesku mulai kambuh kurasa. Bunda membuatkanku teh jahe hangat, sehingga mengurangi rasa mualku dan bisa tidur untuk sesaat.
Baru tidur sebentar, kurasakan usapan hangat di kepala membuatku terjaga dan aku benar-benar tak menyangka suami bocahku sudah berada di depanku. Ingin rasanya memeluknya erat, perasaan rindu yang membuncah menyelimuti tubuhku, tapi aku masih kesal dengannya. Tak kuhiraukan dirinya yang meminta maaf, bahkan membantuku saat aku tiba-tiba merasa mual dan muntah-muntah di kamar mandi. Sampai saatnya kulihat wajahnya sangat kusut dan tak terurus, aku pun luluh dengan rayuannya lagi, dan bahkan aku mau dibawanya ke rumah sakit.
Sebenarnya apa yang terjadi denganku saat ini, semuanya makin membingungkan. Hamil?? Itu yang kudengar dari dokter. Aku tak percaya dan memaksa Vian mengantarkanku ke dokter dan rumah sakit lain lagi, tapi hasilnya tetap sama aku positif hamil dan itu akurat. Oh, manusia ajaibkah suamiku itu membuatku hamil tanpa menembusku?
*****
Ketukan di pintu kamar membuatku terbangun. Vian tadi mengusap-usap perutku dan akhirnya aku bisa tertidur.
“Line, ada Ryan.” Suara Bunda yang sudah berdiri di ambang pintu membuatku menghela napas, dia lagi.
Belum sempat aku menjawab orang yang disebut bunda sudah melongokkan kepalanya dengan senyum khasnya. Senyum yang sejak dulu bisa membuatku melayang tapi bukan sekarang karena semua sudah berbeda.
Bunda mempersilakan Ryan masuk, dan meninggalkan kami. Yang aku pikirkan saat ini adalah Vian, di mana bocah itu?
Ryan melangkah mendekatiku dan duduk di tepi ranjang.
”Sudah baikan atau belum? Kita periksa saja ya, Aku menggelengkan kepala, “Sudah aku tak apa-apa hanya kecapekan mungkin,” jawabku datar.
Ryan menghela napasnya.
”Kau pasti kelelahan mengantarkanku ke sana kemari ya? Maaf, ya?”
Aku hanya kembali mengangguk kaku, malas rasanya menanggapinya dan ingin segera mengusirnyap pergi.
Tiba-tiba kurasakan jemariku ditarik Ryan dan digenggamnya. Aku berontak untuk melepaskan genggamannya tapi Ryan mempereratnya.
‘Yan,” pekikku tak suka dengan sikapnya.
“Line, aku mohon menikahlah denganku, dengan begitu aku bisa menjagamu, biarlah amnesiaku ini biarlah aku tak bisa kembali mengingat, tapi sekali lagi aku tak mau kehilangan dirimu, aku membutuhkanmu, please Rosaline
Prameswari menikahlah denganku!!!” Damn!!!
Dia benar-benar sudah gila ...
*****
Setelah lamaran absurdnya itu, akhirnya dia pamit pulang. Tak ada sekian detik sejak Ryan melangkah keluar, aku segera bergegas beranjak dari kamarku dan mencari Vian.
“Bun,Vian di mana?” tanyaku tergesa saat bertemu bunda di dapur.
“Di kamar Evan.” Bunda menjawab sekilas karena masih sibuk membuat adonan kue.
Kulangkahkan kaki ke kamar adikku itu, dan saat kubuka pintu aku segera menghambur ke pelukannya. Aku sudah tak kuat menahan semua ini.
“Eh ada apa?” tanyanya bingung.
Aku menatapnya lekat,
“Yan, Ryan, dia melamarku, aku harus bagaimana?
Kita sudahi saja semua ini,bilang ke Ryan kalau aku sudah menjadi istrimu ya, please,” ucapku menahan tangis.
Dan kurasakan Vian langsung mendekapku erat, kembali menciumi kepalaku kebiasaan dia untuk menenangkanku.
“Oke Mbak, kita ke rumahku sekarang juga dan jelaskan kepada semuanya,” ucapnya mantap.
*****
Dengan naik taksi akhirnya aku dan Vian sampai juga di depan kediaman keluarga Atmawijaya. Meski tubuhku masih terasa lemah dan mual, tapi sedikit berkurang karena dekapan hangat dari Vian yang sejak dari rumah tadi tak melepaskan tubuhku ini.
‘Bismilah ya, Mbak,” ucapnya saat mulai membuka pintu gerbang, dan menarikku masuk kehalaman rumahnya yang besar itu.
“Aline, Adek,” sapaan yang terdengar familiar membuat langkah kami terhenti, dan bisa kulihat mama yang sedang berada di taman, menghampiri kami dan menatap terkejut terutama ke arah Vian.
Vian segera melepaskan pelukannya dan mencium tangan mamanya dan memeluknya mesra.
“Kau kapan pulang?” tanya Mama kali ini.
Vian kembali menghampiriku dan menarikku lagi ke dalam pelukannya. Seperti takut aku akan jatuh pingsan kalau berdiri sendiri.
“Aku jelaskan, tapi di dalam Ma, Aline masih sakit,“ ucapnya kepada mama dan diangguki oleh mama.
*****
Mama menatapku dan Vian bergantian, aku tak berani menatapnya setelah Vian menjelaskan semuanya, dari dia memutuskan untuk tak mengambil beasiswanya di Glasgow dan juga tentang kehamilanku ini.
Tapi tiba-tiba pekikan riang meluncur dari Mama.
“Ahhhhh Aline, benarkah kau hamil? Aisshhh Mama sangat senang berarti cucu pertama Atmawijaya akan segera datang, Mama sangat senang,” ucapnya antusias sambil beranjak dari duduknya dan segera memelukku yang kini duduk di sebelah Vian.
“Ma, jadi mama tak marah Vian tak melanjutkan beasiswa di Glasgow?” tanya Vian akhirnya.vDan kulihat mama tersenyum.
“Adek kan sudah besar, bisa memilih mana yang baik dan benar buatmu, Mama juga kan tak pernah memaksa adek, apalagi sekarang sudah mau menjadi ayah, maaf 2 minggu yang lalu Mama terlalu egois ya, saat itu Mama kan panik melihat keadaan masmu itu, tapi kalau begini ceritanya kita beri pengertian kepada masmu itu kalau kau memang sudah denganvAline, buat Aline, makasih ya mau bersabar menghadapi ini,” ucap mama membuatku benarbenar terharu.
Kurasakan Vian mengecup keningku.
“Makasih ya, Ma, tapi mas baru saja melamar istriku ini,” ucap Vian membuat mama terkejut
.“Ah benarkah? Aduh rupanya kita salah ya membiarkan Ryan menganggap kalau Aline ini masih lajang,” jawab mama bingung.
“Nanti kita beri pengertian ya pelan-pelan tapi, masmu masih belum bisa menerima kabar yang mengejutkan, Dek, maukah bersabar?”
“Sampai kapan, Ma? Aku tak mau istriku merasa sedih kalau harus berpura-pura lagi,” ucap Vian dan baru kudengar dia baru pertama kali ini membantah ucapan mamanya.
Mama menghela napasnya lagi.
”Iya, Adek bersabar, kita konsultasi kepada dokternya dulu, Adek tak mau masmu sakit lagi, kan?”
Kurasakan Vian menegang, seperti menahan emosi, tapi kemudian hanya mengangguk.
“Ya sudah istirahat dulu di kamar, Adek pasti juga capek kan, Aline juga masih pucat, makan malam di sini saja, ya?“ ucap mama.
*****
“Kau seperti cewek cantik, ya?“ Aku tersenyum menatap foto-foto yang disodorkan Vian saat kami mulai memasuki kamarnya.
Vian menuruti mama untuk makan malam di rumah dan Vian kini mengajakku beristirahat di dalam kamarnya.
Vian merebahkan dirinya di atas kasur sedangkan aku duduk bersila di sampingnya. Dengan tumpukan album foto miliknya ini.
“Mama dulu menginginkan anak cewek, makanya aku seperti itu, lihat bibirku merah kan, itu asli dari bayi.”
Kulirik Vian yang menunjuk fotonya waktu kecil itu.
“Kau memang seperti cewek, ya, lihat kulitmu ini, putih mulus aku pun kalah.”
Kudengar derai tawanya lalu menarikku ke sisinya.
“Semoga dek bayinya juga seperti papanya, ya,” ucapnya sambil mengusap perutku lembut.
“Dekbay siapa?”
“Adek bayi, Sayang. Ih ... itu istilah lagi booming sekarang keren kan, ya.”
“Aih, dasar bahasa ABG labil itu. Aduuhhhhhh.“ Cubitan di pipiku membuatku menoleh ke arahnya.
“Sayang, menggemaskan, sini sini cium cium,” ucapnya merajuk.
“Aihhh, awas ya jangan mesum!”
Aku segera bergeser, tapi Vian bergeser lagi mendekatiku.
“Vian ah, sudah, pergi jauh-jauh sana kau membuatku mual.”
Vian mengernyit tapi kemudian menyeringai,
”Eh Sayang, aku kangen,” rayunya lagi membuatku beranjak dari atas kasur dan melangkah cepat ke arah balkon kamarnya yang memang berada di lantai dua ini.
Vian ikut beranjak dan kini berlari lalu menangkapku cepat saat aku sudah sampai di balkon kamarnya.
“Vian, lepas ih.”
Vian memelukku dari belakang, tapi kemudian membalikkan tubuhku dengan cepat. Harum khas tubuhnya menyeruak di indera penciumanku.
Jantungku berdetak kencang, tak bisa kupungkiri aku merindukannya.
“Aku merindukanmu, Cinta,” bisiknya lembut dan mulai menempelkan bibirnya di bibirku. Reflek kupejamkan mataku, mencoba menikmati ciumannya yang membuat gelenyar panas di seluruh tubuhku.
Dilumatnya, disesapnya bibirku dengan intens, mencoba membuka mulutku dengan ciumannya itu. Saatku bibirku memberi respon, Vian segera memasukkan lidahnya menginvansi mulutku dengan hisapan dan ciumannya yang lembut itu. Aku benar-benar dibuat melayang dengan perlakuannya ini. Kukalungkan kedua tanganku di lehernya, bahkan mengusap rambut pirangnya yang lembut itu. Tanpa kusadari aku mengerang, entahlah hormonku menginginkan lebih dari sekadar ciuman.
Napas kami terengah saat Vian melepaskan ciumannya tapi keningnya kini menempel di keningku. Kurasakan dia juga memejamkan matanya mencoba menikmati sensasi yang ada.
“Apa yang kalian lakukan?”
Share this novel