BAB 65
Dering ponsel dengan nada yang tak asing kini menyelinap masuk ke telinga. Membuatku terpaksa memicingkan mata yang terasa berat ini. Lampu kamar masih menyala ketika mataku sudah terbuka penuh. Aku teringat kemarin mual dan muntah terus menerus. Sepertinya tipesku kambuh karena makan tak teratur. Kavi pun tak mau meminum ASI-ku, dia lebih memlilih susu formula. Dan kemarin aku benar-benar lemas kehabisan tenaga untuk bangun karena muntah terus. Ryan ribut membawaku ke rumah sakit, tapi aku menolaknya. Sedangkan Evan kalang kabut merawatku dan menunggui semalaman. Aku tak menyangka dia akan begitu telaten merawatku, tak jijik juga membersihkan muntahanku.
Suara nada dering kembali mengagetkanku. Kutolehkan kepala ke arah nakas dan aku terkejut melihat penampakan ponsel dengan gambar apel separo itu. Bukankah itu milik Vian? Kugelengkan kepala mencoba menghilangkan bayangan itu. Mungkin aku terlalu merindukan suamiku itu sehingga ponselnya pun tampak terlihat di sini. Tak mungkin kan, ya, orangnya di Surabaya tapi ponselnya di sini?
Tapi ketika kudekatkan tubuhku untuk meraih ponsel itu karena deringnya terus berbunyi membuatku menatapnya bingung. Karena ketika kupegang itu benarbenar ponsel milik Vian dan ketika kulihat nama yang tertera di sana jantungku kembali berdetak kencang.
VANI CALLING
Jadi benar suamiku itu sudah pulang? Kapan?
Kuedarkan pandanganku ke sekitar tapi tak kutemukan sosoknya di kamar ini. Kulirik jam masih menunjukkan pukul 4 dini hari mendekati waktu subuh.
Aku segera menurunkan kaki ke lantai dan berniat untuk melangkah ke luar dari kamar, tapi saat ingin berdiri tubuhku terasa ringan dan aku pun limbung kembali ke atas kasur. Apa karena sehari semalam tak makan dan muntah terus membuat tubuhku terasa begitu lemah?
Ponsel Vian masih berbunyi terus membuatku akhirnya dengan ragu menjawabnya.
“Assalammualaikum?” Kuucapkan salam mencoba menyapa.
“Waalaikumsalam, halo ini Teteh, ya? Bisa bicara dengan Vian?” ucap seseorang di sana dengan ketus yang kuyakini itu Vani.
“Maaf, Viannya sedang tak ada di kamar, ada pesan apa nanti aku sampaikan?”
“Gini ya, Teh, jangan egois dong! Vian itu kan sedang meneruskan pendidikannya, kenapa Teteh mengekangnya dengan menyuruhnya pulang? Padahal di sini juga belum selesai, Teh. Gara-gara Vian pulang semuanya kan jadi kacau, kami terancam mengulangi semuanya lagi dari awal. Jangan manja deh, Teh, jadi istri. Sudah beruntung dapat suami berondong yang pintar dan kaya, masih aja mau mengekang Vian. Pokoknya kalau kami semua di sini disuruh mengulang, ini tanggung jawab Teteh!” Klik.
Belum sempat aku menjawab, suara di sana sudah mengakhiri dan nada panggilan putus. Kuhela napas, mencoba mencerna tiap kata yang terlontar dari mulut Vani. Aku egois? Aku manja?
“Loh, Fey, udah bangun?” Tiba-tiba sosok yang sedang kupikirkan itu sudah menyeruak masuk ke dalam kamar. Wajahnya sudah nampak segar.
Kusimpan ponsel Vian di balik bantal lalu berusaha tersenyum ke arahnya.
“Bee, kapan pulang?” Dia langsung menghambur ke arahku dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Menciumi tiap jengkal rambutku kemudian mencium pipiku dan kini membenamkan wajahnya di lekukan leherku.
“Missing you badly, Fey,” bisiknya di antara rambut dan tengkukku. Tubuhku pun terasa menghangat, lalu seketika dia menatapku dan mengusap wajahku dengan lembut.
“Fey, besok pagi periksa, ya? “ ucapnya membuatku kini menatapnya.
“Bee, kenapa pulang? Urusan di Surabaya sudah selesai? Tak usah memaksakan kalau belum selesai aku cuma kecapekan kok, Bee, lagipula ada Evan yang menjagaku, Rasya yang rajin menuruti setiap perintahku dan Sisca yang dengan senang hati merawat Kavi dan juga Ryan yang tiap saat mengecek kondisiku dan mengomel sejak kemarin kalau aku tak mau dibawanya ke dokter. Sudahlah, Bee, di sini aku masih banyak yang merawat, kok.”
Vian mendekapku lagi, bahkan kali ini lebih erat.
“Tak mau, aku ingin merawat Fey. Tak penting di Surabaya belum selesai atau sudah yang pasti aku mau menemani Fey.”
“Tapi, Bee ....” ucapanku terhenti saat Vian menghelaku untuk berbaring di atas kasur lagi.
“Sudahlah jangan banyak protes, sekarang tidur lagi, dan besok pagi ke dokter,” ucapnya lalu segera ikut berbaring di sebelahku lalu mendekapku erat. Memberikan kehangatan yang selama ini kurindukan. Biarlah aku menikmatinya kali ini. Dan akhirnya aku pun kembali terlelap.
*****
Mual yang mendera dan gejolak perutku membuatku akhirnya membuka mata, sinar matahari sudah menyeruak masuk melalui kisi-kisi ventilasi. Hari sudah siang sepertinya. Dan tak kutemukan lagi Vian di sampingku, perutku tak bisa diajak berkompromi lagi segera kularikan kakiku menuju kamar mandi dan mencoba memuntahkan semuanya di sana. Tapi yang terasa hanya,rasa pahit dan tak ada apapun yang keluar.
“Fey,” suara langkah kaki lebar-lebar mendekat dan kini kurasakan tepukan di punggungku.
“Pokoknya, harus periksa sekarang juga,” ucap Vian lalu membasuh mulutku dengan lengan kemejanya.
Aku hanya menggelengkan kepalaku, ”Aku tak mau ke dokter, aku ingin tidur lagi. Mungkin nanti setelah minum anti mual akan membaik seperti semalam.”
Vian menghela napasnya, belum sempat menjawabku ponselnya kembali berdering. Vian memapahku untuk melangkah ke arah kasur dan membaringkanku lagi. Lalu mengambil ponselnya yang sudah kuletakkan di atas nakas.
Setelah menyelimutiku, dia mengambil ponsel dan menjauh dariku lalu menjawabnya. Kulihat Vian berbicara serius dari balkon kamar, sesekali dia melirikku lalu kembali berbicara serius.
Mungkinkah itu Vani lagi? Sepertinya memang penting dan aku tak boleh egois.
“Mommy.” Tiba-tiba Evan sudah masuk ke dalam kamar dengan menggendong Kavi, yang sudah tampak segar dan kini wajahnya sudah dipenuhi bedak bayi.
Aku tersenyum dan merentangkan tanganku, aku merindukan Kavi. Sejak kemarin, dia dirawat Sisca karena aku tak kuat untuk bangun.
Evan memberikan Kavi ke dalam gendonganku. Bocah itu membulatkan mulutnya dan mengoceh dengan lucu, tapi kemudian mulutnya tiba-tiba mencari sesuatu dan mengarahkannya ke payudaraku. Kavi lapar pasti, kubuka kancing baju dan mulai menyusui Kavi. Tapi baru beberapa saat Kavi sudah melepaskannya dan kini menangis.
Kutatap Evan dengan bingung, ”Kavi tak mau meminum ASI-ku, Van.”
Evan mengernyit, ”Mungkinkah, Mbak?” Belum selesai ucapan evan dari arah pintu Sisca masuk bersamaan dengan Vian yang sudah berdiri di dekat kasur.
“Nih, susu buat Kavi, dia tak mau minum ASI-mu karena kau kemarin tak makan pasti rasanya tak enak dan lagipula sepertinya kau ...” Sisca menatap Evan dan Vian ...
“Hamil?” Tiba-tiba ketiganya sudah memekik membuatku terkejut.
Share this novel