BAB 30
VIAN POV
Kalau boleh memilih, mungkin aku akan memilih terlahir lebih cepat dari usiaku sekarang. Dan menikah juga dengan segera, karena apa? Ternyata mempunyai istri itu sangat sangat menyenangkan. Seperti hari ini, melihat seorang Rosaline Prameswari, yang notabene istriku sah itu membuat hatiku menghangat. Bahkan karena dia aku rela melakukan hal nekat dalam hidupku.
“Vian, hayo kenapa melamun? Om tadi bicara apa coba? Duh jangan mentang-mentang ada nyonya Vian yang sekarang ada di depan mata, jadi Om di sini tak dilihat.”
Aku menoleh ke arah Om Dewa, salah satu penanggung jawab café ini dan juga orang kepercayaanku. Selama ini om Dewa-lah yang mengelola café. Setelah dua sahabatktu Harsa dan Doni menyerahkan tanggung jawab café ini kepadaku, akhirnya kupilihlah Om Dewa yang masih kerabat jauh dari keluarga papa dan kebetulan dia memang tinggal di Solo ini dengan keluarga kecilnya.
Kusesap frappucino di depanku, ”Om, jangan goda Vian ah,” jawabku tapi mata memang tak lepas dari istri cantikku yang sekarang berada di pantry.
Tadi pagi moodnya yang jelek karena bertemu Sisilia, tapi setelah kuajak makan serabi, eh dia bersemangat dan katanya ingin membuat sesuatu di dapur. Dan alhasil dua kokiku, Fani dan juga Radit yang selama ini kupercaya untuk membuat menu café ini langsung membantu istriku itu menyiapkan semuanya.
Saat ini aku memang sedang duduk di dalam caféku dengan om Dewa, membicarakan laporan perkembangan café ini. Tapi tempat dudukku tak jauh dari pantry yang memang kubuat terbuka dengan hanya dinding kaca yang membatasinya.Jadi bisa melihat kesibukan istriku itu di dalam sana. Sungguh sangat menggemaskan, ingin kutarik lalu kubawa ke kamar. Nah loh, otak mesumku mulai beraksi!.
“Viaaaannn iiihhh,” teriakan istriku mengagetkanku dari lamunan.
Om Dewa sudah terkekeh melihat ekspresiku dan sekarang di depanku mbak Mawar yang cantik itu sudah berdiri dengan afron warna merah muda, rambut dicepol ke atas menyisakan helain berantakan di sekitarnya. Seksi aahhh apa saja membuat istriku ini tetap terlihat cantik.
“Tadaaaaaa, tiramissu buatanku, cicipi, buat om Dewa juga nanti kasih saran, ya,” ucapnya sambil meletakkan dua cup tiramissu di depan kami.
Menu di café ini memang hanya berbagai jenis kopi dan sejenisnya kalau tentang camilan kami hanya menyediakan camilan ringan. Bukankah konsep café ini anak muda yang tak suka makanan berat. Tapi melihat tampilan tiramissu milik istriku ini bisa dijadikan menu spesial di sini. Duh jiwa bisnisku mulai menggeliat nih.
“Enak?” tanyanya penasaran saat aku dan om Dewa memasukkan sesuap tiramissu ke dalam mulut. Om Dewa langsung mengacungkan jempolnya.
“Lezat ... ini ... bisa buat menu spesial di sini, kau pintar membuat kue, ya?” tanyanya ke arah mbak Mawar.
“Ehm hanya beberapa, Om, itupun masih belajar dari bunda, cuma paling ahli ya buat tiramissu ...,” jawabnya ringan.Om Dewa tampak memakan tiramissunya lagi.
“Kau bagaimana?” tanyanya menoleh ke arahku yang masih terbengong menatap wajahnya, yang kali ini makin seksi dengan bulir-bulir keringat di keningnya.
“Apa sih yang tidak buat Cinta, masakan Cinta kan aku suka semua.”
Dia mencibir tapi bisa terlihat semburat merah di pipinya.
“Awwhhhh.” Dan kurasakan cubitan mendarat di perutku.Tuh kan aku disiksa lagi .
“Jangan gombal, di sini ada om Dewa malu,” bisiknya
ke arahku tapi membuat om Dewa tergelak.
Om Dewa beranjak dari kursinya.
”Lanjutkan lanjutkan .... Om ngerti, kok,” ucapnya sambil menyeringai lebar dan segera berlalu menuju meja customer, kebiasaannya yang selalu menyapa pengunjung sebagai pelayanan di café ini.
“Tuh ... sudah dikasih kesempatan, ke atas, yuk Sayang,” rayuku membuat mbak Mawar melotot ke arahku. Aiihh galak begitu pun tambah seksi ini istriku.
“Jangan mesum deh, ya, aku masih marah sama kamu, urusin tuh monyet kamu dulu.”
“Hah??” Aku terkejut saat mbak Mawar menunjuk arah pintu café, dan orang yang tak kuharapkan ada di sana.
Sisilia, duh buat apa dia ke sini. Sumpah aku sudah tak memikirkannya, bahkan sudah lupa dengan sosok Sisil yang dulu memang pernah menjadi bunga cintaku itu, tapi dulu bukan sekarang.
“Eh Cinta, mau ke mana?” Kutarik dirinya yang sudah berdiri ingin beranjak dari kursi di sebelahku.
“Mau buat adonan rainbow cake ... daripada menonton dua monyet yang sedang saling melepas rindu,” ucapnya ketus lalu segera melenggang pergi.
Nah loh alamat runyam lagi ini.
“Cin ...” Aku ingin beranjak dari dudukku mengikuti istriku itu saat tiba-tiba Sisil sudah berdiri tepat di depanku.
“Iaaaannnnn .... ahhh aku merindukan café ini dengan ada kamu di sini,” ucapnya sambil duduk di sebelahku.
“Hai Sil, silakan mau pesan apa, tapi aku tinggal ya aku ada urusan nih.” Kucoba menghindari rengekan manjanya yang sejak dulu tak hilang.
“Loh, aku kan baru datang masih kangen sama kamu, lama lho, Yan, kita tak bersua, giliran datang aku kenapa dianggurin?” rajuknya.
Haduh ini wanita, membuatku pusing. Kulirik pantry dan melihat istriku tampak tertawa riang dengan Radit. Eh apa-apaan ini, langsung aku beranjak dari dudukku meninggalkan Sisil yang masih berteriak-teriak memanggilku.
Langsung saja kuterobos masuk pintu pantry, membuat Radit dan mbak Mawar menoleh ke arahku.
“Bos, nyonyanya pintar banget buat cake, ya, lumayan loh,“ ucap Radit.
Istriku tersipu atas pujian Radit.
“Heh ... jangan merayu istri bos,” sungutku ke arah Radit membuatnya tergelak.
“Waw... waw.... baru kali ini lho, Mbak, mas Vian itu posesif, coba dulu sama mantan-mantannya saja dia cuek bebek,” celetuk Radit membuat istriku menatapku tajam.
Kujitak kepala Radit, ini anak kadang-kadang ngelunjak deh.
“Udah sana-sana ... pengunjung sudah banyak itu, hust hust,“ usirku ke arah Radit ... dia hanya menjulurkan lidahnya, dan berlalu, tapi kembali berbalik.
“Bos itu Sisil diapain? Sering dia ke sini loh nanyain Bos terus, padahal aku sebenarnya suka lo dia ke sini tapi yang ada dia cuma cerita ama nanyain bos terus, haduh.”
“Ambil sono, gih,” ucapku ke arah Radit yang langsung menyeringai lebar dan berlalu.
Mbak Mawar mengeluarkan cakenya dari dalam ovennya.
“Sayang, mau sampai kapan buat kue?” Aku segera menghampirinya dan kini memeluknya dari belakang.
“Diih ... gerah ini, Yan, jangan peluk-peluk ah ... panas,” usirnya.
“Ehmm jalan-jalan, yuk,” ajakku ke arahnya yang kini telah melepas afronnya.
“Jalan-jalan sama monyet kamu aja sana.”
“Dih, tak mau ... ada istri cantik begini kenapa juga harus sama monyet.”
“Istri cantiknya juga tak pantas dibawa ke mana-mana kali,“ ucapnya kini mulai mengusap keningnya yang penuh peluh itu.
“Tuh kan kalau marah makin seksi, deh.” Aku menghampirinya dan mengecup rambutnya.
“Kemarin pas ama Sonia kenapa begitu tenang, sekarang sama Sisil mbaknya galak banget.” Aku cubit pipinya dengan gemas.
Kulihat dia mempoutkan bibirnya, lucu, imut menggemaskan, benar deh tak seperti usia 29 tahun. Wajahnya terlalu imut.
Mbak Mawar memainkan kancing kemejaku lagi, aku paling suka kalau dia merajuk begini.
“Entahlah, hormon hamil kali ya, Yan? Aku kok jadi marah-marah terus sama kamu,” jawabnya membuatku dengan gemas mencium pipinya yang putih mulus itu.
“Vian, ahhh udah nanti ketahuan yang lain gimana?”
“Biarin ... biarin semua tahu kalau si seksi ini istriku,” tekanku.
“Yan, renang yuk gerah nih.”
“Heh? Renang ke mana?”
Mbak Mawar tersenyum, ”Aku ingin ke Pendowo mumpung di Solo ... mau ya ya ya,” rajuknya.
“Eh tak boleh, Sayang mau pakai baju renang di tempat umum? Tak boleh!“ Enak saja mau memamerkan paha dan pantat seksinya ini.
“Tapi dekbay mau nya ke sana,” rengeknya lagi.
Duh mulai ngidam ini sepertinya istriku.
“Renang di rumah om Dewa aja di rumahnya ada kolam renang pribadi.“
Dia menggeleng, ”Maunya ke Pendowo, titik.”
*****
Dan di sinilah aku berada, menuruti istri seksiku itu, yang kini tengah berenang ke sana kemari. Untung ini bukan hari libur jadi hanya ada beberapa pengunjung. Meski mbak Mawar tak memakai baju renang, dia hanya mengenakan kaos dan celana pendek masih sopan, tapi aku juga harus tetap melindunginya dari tatapan lapar para pria di sini. Istriku itu kan cantik, putih mulus lagi, tak mungkin para pria tak tertarik.
“Yaaaaannnnn, sini deh,” teriaknya manja dari dalam kolam renang. Aku hanya menggeleng dan duduk di tepi kolam.
Dia menghampiriku dan kini meminta bantuan untuk naik. Kuberikan handuk kering kepadanya, sedangkan aku mengeringkan rambutnya dengan handuk yang satu lagi.
“Sudah?” tanyaku ke arahnya.
“Sudah, tak asyik berenang sendiri ... ehmm naik banana aja, yuk?” tunjuknya ke arah kolam sebelah yang menyediakan banana boat.
Aku kembali menggeleng,” Sudah ah main airnya,kasian dekbaynya ....”
“Masuk ke sini kan mahal, kenapa cuma sebentar?“ rajuknya.
“Aku tak mau Cinta nanti sakit, ingat kata dokter.“
Dia memberengut tapi kemudian menghela napasnya.
“Ya sudah tapi aku mau makan onigiri,“ ucapnya menunjuk perutnya.
Kuusap perutnya yang masih rata itu, “Jadi dekbaynya pengen onigiri?”
Dia mengangguk antusias. Kuusap wajahnya yang tampak segar itu.
“Ya sudah yuk, dibilas badannya lalu kita meluncur ke restoran jepang.”
Tapi dia menggelengkan kepalanya.
“Loh apalagi?” tanyaku bingung.
“Ehmm maunya kamu yang masak onigirinya, ya?” Nah loh alamat pusing ini ... Aku bisa masak sih tapi cuma masak nasi goreng dan mie ... Masak air ... juga tapi kalau onigiri di ilmu yang aku pelajari pun tak ada itu cara membuatnya.
“Yang, kenapa harus aku? Aku tak bisa.”
“Tapi aku inginnya kamu yang buat, ya ya ya, belanja dan cari resepnya di internet beres, yuk ah,“ ajaknya lalu beranjak dari sisiku.
Mama ... jadi ini rasanya ya kalau istri ngidam.
*****
Tiga jam sudah aku berkutat di dapur caféku ini, merecoki Radit yang sedari tadi mengejekku karena aku tak tahu bagaimana caranya mengepal nasi, mengisinya dengan isian dan juga membungkusnya dengan ori.
“Bos, fightiiiiinnng!!!!!!” teriak Radit diikuti anak-anak yang lainnya yang nampaknya terkagum-kagum melihat bosnya ini yang sejak dulu tak pernah terjun ke dapur kini bersusah-susah membuatkan nasi kepal demi istrinya. Sungguh memalukan.
“Radit, diam! Kamu mau aku potong tuh gaji?” celetukku ke arahnya tapi dia malah terkekeh.
“Bos kan baik tak mungkin juga tega.” Tuh kan dia memang sudah tahu kelemahanku.
Akhirnya nasi kepal yang kubuat susah payah hasil mencontek dari mbah Google terhidang sudah. Meski yang bentuk nasinya tak beraturan, tapi tak apalah, kubawa nampan yang berisi onigiri ini naik ke lantai atas menuju kamar pribadiku.
“Sayang, sudah jadi,“ ucapku saat membuka pintu kamar. Tapi apa yang kulihat membuatku tersenyum geli.
Istriku sudah tertidur pulas karena kelamaan menunggu nasi kepalnya. Jadi teringat acara kartun Masha and the Bear, pas Masha lapar minta dibuatkan bubur tapi akhirnya tertidur.
Kuletakkan nasi kepal di atas nakas dan kini mengambil selimut untuk menyelimutinya. Karena pergerakan yang kubuat di atas kasur, Mbak Mawar menggeliat dan membuka matanya.
“Eh, udah selesai?” tanyanya ke arahku.
Aku mengangguk dan menunjuk nasi kepal di atas Matanya berbinar dan langsung bangun, mengambil nasi itu, lalu memakannya dengan lahap.
“Enakkah?” tanyaku ragu ke arahnya, dan dia mengacungkan jempolnya.
“Kau memang hebat, ya,” pujinya sambil mengambil nasi kepalnya yang ketiga.
Duh memang seenak itukah nasi buatanku? Aku ikut mengambil dan mulai memakannya. And not bad, ini memang enak.
Dia tersenyum saat merasa kekenyangan. Kini beringsut ke arahku setelah meminum air putih di atas nakas.
Eh mau apa dia?
“Peluk ...,” ucapnya tiba-tiba manja.
Eh ini aku tak mimpikan, ya, istriku bermanja-manja begini.
“Peluk ..., peluk ...,” rengeknya lagi lalu menempelkan tubuhnya ke arahku.
Dia mulai mengendus-endus tubuhku yang aku yakin pasti sudah bau asam karena kepanasan di depan kompor tadi.
“Eh, tapi aku kotor, aku mandi dulu, ya,” tolakku.
Mbak Mawar menarikku dan dia malah mengendus-endus tubuhku.
“Enak, aku suka baumu ..., jangan mandilah begini saja ya,” rengeknya manja.
Haaaahhhhh ..., hormon kehamilan memang benar-benar membuat orang berubah 180 derajat, ya.
Ahhhhh, tak apalah aku sukaa kalau istriku manja begini.
Share this novel