BAB 61
VIAN POV
Saat ini aku tak bisa berkutik. Di satu sisi ada masku dan di satu sisi yang lain sahabatku dan adik iparku. Kutatap mereka berdua yang kini sama-sama penuh dengan luka di wajah.
Fey sendiri tadi begitu panik saat melihat Evan tersungkur di lantai, dan muncul masku yang menatap garang ke arah Evan. Dan tiba-tiba, Evan bangkit dan mulai membalas pukulan mas Ryan. Aku pun segera berlari memisahkan mereka, dan akhirnya mereka mau berhenti setelah tinju mas Ryan melayang di pipiku. Yup, aku jadi kena sasaran empuk, saat mas Ryan ingin memukul Evan tapi akulah yang terkena.
Dan saat ini Fey dengan bingung merawat lukaku dan juga Evan. Rasya sendiri yang baru saja muncul setelah menjaga café malam ini tampak terkejut melihat luka-luka kami semua. Mbak Sisca sendiri mengobati luka masku. Ironis, sungguh ironis.
“Kalian itu kenapa? Heran, seperti anak TK saja. Sudah pada tua kok, ya, masih suka berkelahi. Mbok ya, diselesain baik-baik, kan, bisa!” Fey sudah mengomeli kami semua, tepatnya masku dan juga Evan.
“Dia yang berbuat hal tak senonoh dengan istri orang,” ucap masku geram dari sofa seberang. Membuat Evan yang masih diobati Fey langsung bangkit.
“Makanya jangan disia-siain istrinya, sekarang aja baru terasa,” ucap Evan tajam membuat masku juga ikut berdiri. Duh, ini kenapa lagi coba.
Sebelum aku beranjak untuk melerai mereka, kulihat
mbak Sisca dan Fey langsung berdiri di antara mereka.
“Cukuuuuupp!” teriak Fey kali ini. Istriku mulai bersikap tegas.
Dia langsung bersedekap di hadapan masku dan Sisca, sedangkan Evan berada di belakangnya.
“Kau Ryan, aku memanggilmu ke sini untuk menyelesaikan permasalahan kalian, bukannya melibatkan adikku di sini. Selesaikan masalah kalian berdua!!!!” bentaknya membuat masku dan mbak Sisca kini menunduk.
“Mbak, tapi Evan mencintai mbak Sisca,” celetukan Evan di belakangnya membuat Fey kini menengok ke belakang.
Slaaaaap!!!
Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi Evan membuatku, masku, mbak Sisca, dan juga Evan sendiri terkejut.
“Mbak,” ucap Evan dengan suara bergetar.
“Jangan seperti anak kecil yang merengek-rengek. Aku tak setuju kau dengan Sisca, berpikirlah dewasa, Van. Selama ini kau dirawat keluarga Atmawijaya, bahkan kau sudah diangkat menjadi anak mereka. Dan kau tega akan melukai, perasaan mereka kalau kau menikah dengan Sisca yang notabene menantu mereka? Pikir, Van ... kau, juga akan membuatku malu. Aku ini mbakmu, Van, dan keluargamu satu-satunya,” ucap Fey membuatku beranjak dari tempat duduk.
“Tapi kami saling mencintai.” Tiba-tiba Evan dan sisca menyerukan suara yang sama, membuat Fey langsung membalikkan badannya ke arah mbak Sisca.
“Kau juga, urus rumah tanggamu sendiri, perbaiki semuanya, setelah itu baru menggoda adikku lagi!”
Terlihat Fey mulai kehilangan kendalinya. Kulangkahkan kaki mendekat ke arahnya, dan kutepuk bahunya.
“Fey, calm down,” bisikku membuat dia menoleh ke arahku. Menatapku lama tapi kemudian mengangguk. “Jangan naif, Line, kenapa tak setuju denganku? Apa aku terlalu tua untuk Evan? Lihat dirimu juga terlalu tua
Aku melihat ketegangan di wajah Fey. Ia menatap mbak Sisca yang melontarkan kata-kata yang seharusnya tak usah disinggung.
“Okey jadi ini semua berawal dariku, kan? Oke ...” Dia menoleh ke arah Evan.
“Van, tinggalkan Sisca!” ucapnya ke arah Evan.
“ Tapi aku mencintainya, Mbak.” Evan masih saja bersikeras. Kuusap punggung Fey memberikan ketenangan untuknya.
“Kalau kau meninggalkan Sisca, Mbak juga akan meninggalkan Vian kalau yang menjadi masalahmu hanyalah usia.”
Haaahhh??? Apa-apaan ini kenapa semuanya jadi begini.
“Feyyyyyy???”
“Lineeee!!!”
Aku berteriak bersamaan dengan masku. Kubalikkan istriku dan kini mencoba mencerna ucapannya itu.
“Jangan sembarangan kalau ngomong, Fey,” ucapku tajam ke arahnya. Wanita yang kucintai ini menyeka air mata yang berlinang di wajahnya.
“Maaf, tapi ini sudah keputusanku. Aku lelah. Aku tak mau kehilangan adikku satu-satunya,” ucapnya tertahan dan kini kurasakan Evan langsung bersimpuh di telapak kaki Fey.
“Mbak ... aku sayang mbak Aline, please jangan buat Evan menjadi seperti ini, Mbak,” tangis Evan pun pecah.
Kuhela napasku dan kini kutatap mbak Sisca dan masku.
“Kalian puas membuat semuanya begini, huh? Hentikan semua permainan ini. Hentikan!!!” Aku sudah geram dengan semuanya.
Masku kini melangkah keluar, mbak Sisca terduduk di sofa dan wajah ditelungkupkan di kedua telapak tangannya.
Fey sendiri masih berdiri tegak di sisiku sedangkan Evan masih bersimpuh di bawahnya.
“Kau pilih aku atau Sisca? Atau kau memang benar-
benar akan menjadi adik durhaka, Van?” Istriku kini menghentakkan tangan Evan yang masih ada di kakinya lalu dengan cepat melangkah ke dalam kamar.
Blaaammm!!!
Suara keras pintu tertutup membuatku terkejut, kali ini aku tahu istriku sangat marah.
*****
Semalam Fey langsung tertidur, meski aku tahu dia menangis saat aku terbangun tengah malam. Tapi aku sendiri pun mengerti dan memberinya waktu. Pagi ini saat kulangkahkan kaki ke balkon kamarku, kukihat pemandangan di bawah sana. Masku dan mbak Sisca kini tampak berdiri berhadapan di taman belakang. Dari kamarku ini yang berada di lantai 2 memang langsung terlihat pemandangan taman belakang yang begitu luas.
Mereka sepertinya beradu mulut, dan tiba-tiba kulihat Evan juga muncul di depan mereka berdua. Duh, ada apa lagi ini? Sepertinya akan ada perkelahian lagi. Kubalikkan tubuh dan bergegas keluar dari kamar. Fey tampak sibuk di dapur sedang memasak dengan Kavi berada di kereta dorong dan dijaga Rasya. Bocah itu memang bisa diandalkan saat begini. Kulangkahkan kaki mendekat ke arah Kavi dan mengecup pipinya yang gembil itu.
“Kak, mereka ke mana?” Rasya kini menatapku membuatku mendongak ke arahnya.
Kutepuk kening lalu segera beranjak,
“Di taman dan sepertinya akan ada perkelahian lagi,” ucapku sambil melangkah membuat Rasya berdiri.
“Cinta itu membingungkan, makanya Rasya tak mau jatuh cinta. Cukup dengan Mami saja dan tak ada yang lain.” Celetuknya asal membuatku menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.
“Sya, jangan buat situasi makin kalut,” ucapku ke arahnya dan Rasya menjulurkan lidahnya ke arahku. Fey tampak tak menggubris. Ia sedang sibuk menuang nasi goreng di atas beberapa piring.
“Udah, Bee, makan dulu, yuk,” ucapnya tenang. Nah loh, kenapa dia begitu tenang sekarang?
“Fey, tapi tadi aku lihat mbak Sisca, masku sama Evan mereka ...” Uucapanku terhenti saat Fey tiba-tiba menarik tanganku untuk melangkah ke arah meja makan.
“Makan dulu,” ucapnya lalu melayaniku dan Rasya dengan lembut.
Syukurlah kalau Fey tak terpengaruh mereka bertiga. Aku pun akhirnya menyantap masakan istriku tercinta dengan lahap.
*****
Semuanya berjalan seperti semula, dari pagi hingga siang. Aku pun bisa bernapas lega saat masku, mbak Sisca dan Evan tadi ikut bergabung di meja makan. Meski semuanya tak bersuara.
Tapi apa yang kulihat saat ini benar-benar membuat
mataku membelalak terkejut. Fey sudah mendorong travel bag-nya, dengan Evan juga menenteng tas ranselnya.
Aku sedang duduk di bangku taman dengan Kavi saat ini.
“Loh, Fey mau ke mana?” tanyaku bingung. Fey langsung berlari ke arahku dan memelukku erat.
“Maafin aku, ya Bee, tapi aku memilih Evan, dia butuh aku. Dia setuju untuk meninggalkan Sisca tapi aku harus bercerai denganmu, maaf.”
Langsung kuraih wajah istriku dan menatapnya bingung.
”Kau tak sedang mabuk kan, Fey? Jangan gila, sampai kapan pun aku tak akan melepasmu!” Fey sudah menangis terisak.Kulayangkan tatapanku ke arah Evan.
Lalu dengan cepat kulepaskan tubuh Fey, dan segera secepat kilat aku berlari ke arah Evan dan melayangkan tinju ke wajahnya. Emosiku sudah tak bisa kubendung lagi.
Evan limbung ke tanah, langsung kutindih tubuhnya dan kupukuli wajahnya dengan membabi buta. Biarlah, aku sudah terlalu marah dengannya.
Tapi kemudian dekapan dari belakang membuatku menghentikan pukulanku.
“Bee, please jangan lukai Evan,” isak Fey membuatku kini berbalik dan memeluknya kembali.
“Evaaaaaannn!” pekikan mbak Sisca yang langsung menghambur ke arah Evan dan langsung memeluk Evan lalu mengecupi wajahnya yang penuh luka lebam itu langsung membuat masku yang baru saja tiba, langsung berlari ke arah Evan dan mbak Sisca.
Aku dan Fey hanya bisa terdiam saat melihat masku tiba-tiba menarik mbak Sisca untuk berdiri dan langsung menciumnya tepat di bibir.
Mbak Sisca pun terkejut atas ciuman itu. Lama aku dan Fey saling menatap melihat adegan di depan kami. Tapi kemudian tepuk tangan dari Evan membuatku mengalihkan pandangan ke arah Evan dengan tatapan bingung.
Adik iparku itu sudah berdiri meski dengan wajah penuh luka akibat bogem mentahku.
“Jadi untuk membuat Mas menyadari perasaan mas sendiri terhadap mbak Sisca aku harus rela menanggung pukulan bertubi-tubi ini, ya?” ucapnya dengan senyum.
Masku sudah melepaskan pelukannya tapi kini memeluk erat tubuh mbak Sisca dan mengecupi tiap jengkal rambutnya itu.
“Aku tak akan melepaskan Sisca, dia istriku, dan aku ...,” ucapnya terhenti saat mbak Sisca tiba-tiba meraih wajah masku dan menciumnya kembali.
“Aku mencintaimu, dari dulu, sekarang sampai nanti, semua ini hanya skenarioku dan Evan agar kau sadar kalau kau juga butuh aku, bukan orang lain,“ ucapnya membuatku terkejut, dan Fey tiba-tiba berdiri dan melangkah ke arah “Apa-apaan ini? Jadi ini semua sandiwara?”
Evan mengangguk, membuatku terkejut, dan juga masku kini menatap bingung ke arah Evan.
“Ehmm, yup ini skenarioku dan mbak Sisca, ehmm agar pria bodoh di depan sana itu bisa menyadari kalau dia itu mencintai mbak Sisca,” ucapnya lalu melangkah ke arah kereta dorong Kavi. Lalu segera menggendong Kavi, dan menciuminya.
“Aku akan menjelaskan semuanya, tapi nanti, aku sudah terlalu kangen dengan keponakanku yang menggemaskan ini,” ucapnya lalu segera berlalu pergi dengan menggendong Kavi.
Aku dan Fey saling berpandangan, Mbak Sisca tampak tersenyum puas, tapi masku kini tampak meminta penjelasan kepada mbak Sisca.
*****
Evan pov
Ini tak mudah, saat bertemu mbak Sisca di rumah sakit, aku pikir mbak Sisca itu orangnya angkuh tapi ternyata dia menyapaku terlebih dahulu. Aku sudah tahu dia istri mas Ryan, tahu juga wanita itu yang selama ini bersaing dengan mbakku tersayang untuk mendapatkan cinta mas Ryan. Tapi begitu dia bercerita kalau dia sebenarnya menderita dengan cintanya, terlebih lagi mas Ryan sudah tak mau memperbaiki pernikahan mereka, karena mas Ryan tak bisa mencintai mbak Sisca. Tapi suatu fakta di kamar mas Ryan yang tanpa sengaja kutemukan. Waktu itu aku disuruh mama untuk mengambil album foto di kamar mas Ryan, dan tanpa sengaja aku menemukan sebuah buku. Bukan bermaksud untuk lancang, tapi ketika kubuka buku itu ternyata isi curahan hati mas Ryan sejak dulu zaman sekolah. Dia memang benar-benar mencintai mbakku Aline, sangat mencintainya bahkan kalau mungkin mereka dipertemukan saat mereka masih sendiri aku yang akan berjuang menyatukan mereka, tapi kenyataannya kan mereka tak berjodoh. Dan di setiap tulisan itu, mas Ryan sering mengungkapkan orang yang bisa membantunya bangkit selama ini dan menemaninya dengan setia hanyalah mbak Sisca. Meski dia tak mecintai mbak Sisca, mas Ryan menyayanginya. Bahkan saat kutemukan di lembar terakhirnya yang bertanggal sebelum pernikahan mereka, mas Ryan mengungkapkan kalau dia akan mencoba mencintai mbak Sisca. Dari situ aku menarik kesimpulan mas Ryan juga harus mendapatkan cintanya. Aku kasian melihatnya belum bisa move on dari mbakku.
Tercetuslah ide gila ini, mbak Sisca dan aku sepakat melakukan sandiwara ini. Meski sedikit ekstrim karena mbakku dan Vian juga tak tahu-menahu soal ini. Kami hanya nekat melakukan ini, dan ternyata mas Ryan pulang juga atas bujukan mbak Aline. Tapi sepertinya aku akan mengalami amukan dari mbakku tersayang itu karena telah mengaduk-aduk emosinya.
Seperti saat ini, Vian sudah meminta Kavi yang kugendong, dan mbakku kini sedang mengobati lukalukaku akibat bogem mentah dari Vian. Cih, sahabatku itu tega juga kepadaku.
“Awwhhh ... Mbak pelan-pelan, sakit.” Aku merintih saat mbak Aline menekan lukaku dengan kapas.
“Kalau tahu sakit kenapa masih nekat melakukan ini huh? Kau jahat, Van, demi menolong orang lain rela mengorbankan perasaan mbakmu ini.” Kutatap mbak Aline yang memandangku sedih.
Aku jadi merasa bersalah kepadanya. Harusnya sejak awal aku mengatakan kalau ini hanya sandiwara.
“Mbak, maafin Evan. Tadinya Evan hanya ingin meyakinkan dan ... ahhh, Mbak, maaf,” ucapku lagi. Sebuah pukulan tangannya mendarat di bahuku.
“Kau rela Mbak bercerai dengan Vian?” ucapnya membuatku terkejut. Duh, aku memang bersalah kali ini, tadinya aku hanya ingin melihat keseriusan Vian, dan ternyata kakak iparku itu memang cinta mati dengan mbakku ini.
“Mbak, Evan minta maaf. Evan ga bermaksud begitu, maafin Evan, ya.” Kugenggam jemari mbakku dan kuciumi tapi dia mengibaskannya. Tuh kan, kenapa jadi aku ya yang kena imbasnya?
“Ini tak lucu, Van,” ucap mbakku kesal lalu segera berlalu dari hadapanku. Tuh kan, mbakku tersayang ngambek deh.
Kuusap bibirku yang berdarah yang sudah diobati oleh mbakku. Dan tiba-tiba jitakan keras mampir di kepalaku.
“Kau gila, huh?” Suara Vian langsung menyeruak di sampingku. Dan kini dia yang akan menyidangku. “Sorry deh, Yan, sorry ...”
Vian duduk di depanku sambil menatapku tajam.
“Harusnya kutambahi itu bogem mentah yang mampir di wajahmu. Kau ini mempermainkan pernikahanku. Menolong masku sih, tapi kau sudah membuat Fey tiap malam menangis, Van. Dia itu sangat menyayangimu bahkan dia rela meninggalkanku demi kamu. Kau ini tak lucu bikin sandiwara yang kelewat begini,” ucapnya kesal ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum tipis ke arahnya, aku memang keterlaluan, ya?
“Iya maaf, kan berarti aku bisa jadi aktor yang hebat, ya?” Dan seulas senyum merekah di wajahnya tapi langsung melempar bantal ke arah wajahku.
“Aktor sabun mandi sana,” ejeknya membuatku mencibir. Vian terkekeh.
“Duh, aku kira kau akan menjadi pengikutku tapi ternyata cuma sandiwara.”
“Pengikutmu?” Kukernyitkan keningku tapi kemudian mengerti arah pembicaraannya.
“Hahahahaaha ... sebenarnya keren juga sih, ya, tapi sayang hati mbak Sisca sudah sepenuhnya buat masmu, tuh. Duh, patah hati deh gue,” ucapku membuat tawa Vian berderai.
“Udah pedofil, ya, tetep aja pedofil ... sana!”
“Ehhh sarap lu, gue bukan pedopil, ya.”
Tawa Vian makin keras, tapi kemudian menutup mulutnya dan teringat sesuatu.
“Van, katanya putus sama Putri, terus lu sekarang sendiri?”
Yah, kenapa topik Putri lagi sih yang diangkat? Ini hati sakit kalau teringat gadisku itu.
“Entahlah, Putri udah mau dinikahin tuh ama pengusaha kaya, jadi ya gitu deh ortunya matre ... setelah bunda meninggal ortu Putri anggap gue anak yatim piatu dan belum kerja. Dokter pun belum lulus kan jadi, yahhh sudahlah,” ucapku mencoba menghibur hati ini meski
masih sedikit terasa nyeri, belum bisa jatuh cinta lagi. Cause my heart belong to you, Putri.
“Ya udah, cari tante-tante aja sono,” ucap Vian membuatku melemparkan bantal duduk ke mukanya. Dasar kakak ipar sarap menjerumuskan adiknya yang tampan ini.
Ryan Pov
Kutatap Sisca yang kini sedikit terlihat tirus wajahnya. Benarkah selama ini aku menyakitinya? Dulu memang aku telah menerimanya, saat menikahinya, aku pikir dia memang jodohku. Tapi kehadiran Aline membuatku kembali merasakan cinta yang selama ini kutepis. Aku terlalu mementingkan egoku sendiri, dan keegoisanku ini menyakiti semuanya. Aline, Vian dan juga Sisca. Kemarin aku melepas Sisca bukan karena aku tak mau mencintainya lagi. Tapi sudah cukup, dia sudah cukup menderita menungguku, dia juga perlu bahagia. Maka aku melepasnya, tapi kemarin saat Aline mengatakan kalau Sisca akan menikah dengan Evan, kenapa hatiku terasa tercubit dan sakit. Aku nekat pulang ke Bandung, dan benar saja hatiku terasa sakit saat melihat kemesraan Sisca dan Evan. Benarkah aku cemburu? Tapi bukankah aku tak mencintainya? Dan jawaban itu memang sudah kudapatkan saat ini.
“Jadi, kau cuma sandiwara dengan Evan?”
Sisca tersenyum. Gadis yang kunikahi ini belum pernah kusentuh sedikit pun sejak malam pertama pernikahan kami. Aku memang brengsek telah menyakitinya begitu dalam.
“Iya, tapi aku jadi merasa bersalah dengan Aline dan Vian. Melibatkan Evan yang membuat Aline berniat bercerai dengan Vian. Aku jadi berpikir, kenapa kau dan Vian sangat mencintai Aline. Aku sadar Aline itu memang berhati malaikat. Dia rela melepaskan Vian demi adiknya. Dan aku mengerti ketulusan hati Aline-lah yang selama ini membuat kau begitu mencintainya, Yan,” ucap Sisca membuatku tertegun.
Benar Rosaline Prameswari itu memang sempurna, sosok yang akan selalu berada di hatiku sampai nanti. Tapi aku kan harus terus melanjutkan hidup. Aku bahagia bila Aline bahagia, dan aku juga harus membahagiakan orang yang telah setia mencintaiku selama ini.
Kurengkuh jemari lentik milik Sisca, “Fransisca, bolehkah kita coba lagi dari awal? Ajari aku untuk mencintaimu. Kita bina kembali pernikahan kita ini. Maafkan aku yang selama ini menyakitimu. Maaf.” Sisca berlinang air mata dan langsung menghambur ke pelukanku.
Sisca Pov
Gila memang, ideku memang gila ... Saat berangkat ke Paris aku memang berusaha untuk melepaskan Ryan. Orang yang selama ini aku cintai. Tapi ternyata, itu tak mudah buatku. Aku terlalu mencintainya dan aku tak bisa hidup tanpanya. Dan akhirnya untuk membuat depresiku berkurang, kutenggak obat penenang dan akhirnya aku overdosis. Ryan memang sempat menjengukku.
Aku pikir aku tak mau hidup lagi saat dia tetap berkeras melepasku. Meski dia tak pernah mengatakan kata cerai kepadaku. Tapi saat melihat kalau dia juga rapuh dan berusaha bangkit dari keterpurukannya. Aku tahu dia masih membutuhkanku. Maka dari situ aku bertekad kalau aku harus mengejarnya kembali dan membuatnya sadar kalau dia butuh aku.
Sampai akhirnya aku kembali ke Indonesia, dan bertemu Evan. Adik Aline itu sangat baik kepadaku. Sosoknya, memang seperti Aline dalam versi cowok. Hatinya juga tulus, dia sangat sabar mendengarkan curhatanku tentang Ryan. Sampai suatu hari dia memberikan sebuah buku diary milik Ryan. Dan tercetuslah ide gila ini. Lega rasanya Ryan mau menerimaku, tapi aku bersalah dengan Aline. Aku keterlaluan membuat sandiwara ini. Aku harus minta maaf kepadanya.
“Aku mau, mau membantumu, kita awali lagi semuanya,” ucapku ke arah Ryan yang kini masih mendekapku erat. Semoga ini awal yang baik buatku dan Ryan.
Aline pov
Akhirnya, semuanya berakhir bahagia. Ehm, tapi aku masih kesal dengan Evan, adik tengilku itu. Sandiwaranya keterlaluan.
Kulangkahkan kaki menuju kamar, setelah tadi memasak makan siang untuk semuanya. Rasya, pergi ke kampus. Ryan dan Sisca memilih untuk berbicara di taman belakang. Dan Evan telah beristirahat di kamar, aku tahu dia kesakitan karena luka-lukanya itu.
“Kavi anak siapa ....” Vian sedang bermain di atas kasur dengan Kavi. Kulangkahkan kaki ke arah mereka.
“Bee, makan dulu. Sini biar Kavi bobok dulu sama mommy, ya.” Kavi langsung menghentak-hentakkan kaki begitu melihatku. Vian hanya menoleh sebentar ke arahku dan menggendong Kavi.
“Biar aku yang menidurkannya,” ucapnya datar lalu mulai menggendong Kavi dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Makan dulu, Bee. Udah aku buatkan omlet kentang tuh kesukaanmu,” ucapku ke arah Vian tapi dia tak menggubrisnya.
“Tak lapar,” jawabnya singkat lagi dan mulai menggoyang-goyangkan gendongannya. Kavi tampak sudah tertidur dengan mudahnya di gendongan daddy-nya. Padahal kalau bersamaku harus diajak berkeliling taman dulu baru tertidur.
Vian membaringkan dengan perlahan Kavi di atas box bayinya lalu menyelimutinya.
“Kalau ini bukan sandiwara, Fey tetap akan menceraikanku?”
Aku merasa Vian akan marah besar kepadaku. Aku memang bersalah telah mengatakan kata itu tadi pagi. Kulangkahkan kaki ke arahnya. Vian berdiri membelakangiku dan menatap taman belakang dari kaca besar yang memisahkan kamar dengan balkon.
“Bee, maaf, aku tadi terlalu emosi, maaf,” ucapku lirih saat sudah berada di belakangnya. Dia tak membalikkan badannya.
“Semudah itukah perceraian buatmu, Fey?“ ucapnya lagi membuatku makin merasa bersalah.
“Maaf, Bee ... aku ...” Aku tak bisa mengatakan apapun lagi karena memang sikapku tadi pagi terlalu nekat. Memilih Evan dan berniat pergi dari sisi Vian yang selama ini kucintai.
“Fey masih belum yakin dengan cinta kita, kan? Fey masih menganggap ini semua hanya permainan yang bisa diakhiri kapan saja. Kau masih belum bisa menganggapku suamimu, Fey.”
Hatiku mencelos mendengar ucapannya. Sumpah aku tak pernah berpikiran seperti itu. Aku memang memilih Evan karena hanya tinggal Evan saudaraku. Aku tak mau kehilangannya, dan aku merasa bersalah saat ini.
Kurengkuh tubuh Vian dari belakang, aku tak peduli, aku tak mau dia marah kepadaku.
“Maafin aku, Bee. Maaf ... aku bersalah,” ucapku terisak di pelukannya.
Vian pov
Adik iparku yang notabene sahabat dekatku itu memang keterlaluan. Tapi bagaimana lagi semua ini memang butuh dilakukan kalau tak begitu masku mungkin belum bisa bersatu dengan mbak Sisca. Tapi aku juga sedikit kesal dengan Fey. Semudah itu dia ingin berpisah denganku. Memangnya pernikahan ini hanya permainan?
Sebuah isakan lolos dari mulutnya, dan kurasakan tubuhnya bergetar hebat di punggungku. Aku ingin berbalik dan mendekapnya erat. Tapi aku masih ingin memberinya pelajaran, kalau aku juga merasa tersinggung dengan perlakuannya tadi.
“Fey, kau tak mencintaiku, kan?” Kuucapkan itu hanya untuk mengujinya. Tapi tangisnya makin histeris.
“Bee, jangan ucapkan itu. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu,” isaknya lagi.
Kuhela napasku, dan kutatap rumput hijau yang terhampar di bawah sana.
“Berjanjilah, tak akan pernah mengatakan ingin berpisah lagi apapun yang terjadi.” Aku ingin kepastian dari dirinya.
Dan kurasakan pelukan di punggungku terlepas, lalu tanpa kusadari tiba-tiba Fey sudah berada di depanku. Sedikit berjinjit dan kini merengkuh leherku dengan kedua tangannya itu lalu mencium bibirku. Aku sedikit terkejut dengan ciumannya. Bibirnya basah dan terasa asin karena terkena air matanya.
Tapi saat merasakan tubuhnya terasa panas, dan merasakan ciumannya yang terasa sangat dalam ini aku pun menyerah, aku tahu istriku sangat mencintaiku. Kudorong tubuh istriku menempel di dinding kamar di sebelah jendela besar. Kuhimpit tubuhnya dan kubalas ciumannya dengan intens. Aku membutuhkan ini, aku butuh istriku.
Lama kami berciuman sampai napas kami terengah-engah. Bibir istriku sedikit bengkak karena ciumanku.
Kulihat wajahnya memerah dan menunduk malu.
“Aku, tak bisa hidup tanpamu,” ucapnya dengan suara bergetar dan aku pun mengangguk mengiyakan lalu melumat bibirnya lagi. Fey, aku juga tak bisa hidup tanpamu.
Share this novel