BAB 41
VIAN POV
Hidup itu memang selalu ada keseimbangannya. Kebahagiaan itu tak mungkin bisa diraih jika tak mengalami kesedihan terlebih dahulu. Baru sesaat meneguk manisnya madu pernikahan, seperti mimpi saat istriku tercinta itu menyerahkan seluruh hati dan juga tubuhnya untuk kumiliki, bahkan aku masih ingin lama meneguk manisnya rasa itu.
Dan sekarang, diriku seperti dihempaskan dari puncak gunung ke dalam jurang yang dalam. Tadi papa mengatakan semuanya dengan lugas dan jelas. Selama ini aku memang tak pernah melawan papa, tapi kemarin papa menyuruhku melakukan hal yang tak mungkin. Dan saat itulah aku benar-benar tak bisa lagi mematuhi papa yang selama ini menjadi panutanku.
Kulirik mbak Mawar yang sudah tertidur pulas di sampingku dengan memeluk erat. Tadi setelah melihat keadaan papa yang mulai membaik, aku pamit pulang kepada mama. Aku dan istriku butuh istirahat. Otakku sudah panas memikirkan segala kemungkinan dan langkah apa yang akan kubuat.
Sampai di rumah istriku minta untuk diusap-usap perutnya dan tertidur. Katanya dia terlalu lelah, aku tahu dia juga ikut merasakan kekalutan yang sedang kurasakan.
Jarum jam menunjukkan pukul 2 dini hari tapi mataku belum bisa terpejam. Kuselimuti tubuh istriku dan kukecup keningnya. Lalu aku beranjak dari kasur dan mengambil jaketku, dan meraih kunci mobil dari atas nakas.
Aku harus melakukan sesuatu.
Ketika sampai di depan ruang keluarga, Evan masih menonton acara televisi kesukaannya.
“Van, aku keluar sebentar, ya?” pamitku ke arahnya membuat Evan mengernyit.
“Mau ke mana? Ini sudah, hampir pagi, Yan? Ke rumah sakit?” tanyanya bingung.
Aku hanya mengangguk dan melangkah ke arah pintu.
“Jaga mbak Mawar, ya, biasanya dia minta minum kalau terbangun, tapi mungkin dia tak akan bangun karena kelelahan. Aku tak akan lama, kok, tak usah ditunggu aku bawa kunci cadangan,” ucapku.
Evan mengangguk ke arahku. “Hati-hati,” celetuknya yang kusambut dengan acungan jempolku.
*****
Tak lebih dari 30 menit mobilku sudah memasuki pekarangan rumah milik masku. Yup, aku berniat bicara empat mata dengan masku itu. Bagaimanapun juga semua masalah ini sumbernya dari dia. Aku tak peduli dengan dirinya yang masih amnesia itu.
Kumatikan mesin mobil dan segera beranjak keluar.Sebagai pengacara, dia sudah sangat terkenal dan rumah yang sangat mewah ini juga hasil jerih payahnya. Kulangkahkan kaki menuju pintu depan dan segera memencet belnya. Biarlah aku dikatakan gila, bertamu dini hari begini, tapi aku butuh kepastian untuk menentukan semuanya.
Kupencet lagi bel pintu rumah, tak sabar ingin segera bertemu masku itu. Suara langkah kaki terdengar, dan seseorang menyeruak dari balik pintu itu dan itu mbak Sisca.
“Adek, kenapa malam malam ke sini?” tanyanya bingung ke arahku.
Aku tak menjawabnya dan segera menerobos masuk.
“Mas di mana?” tanyaku langsung ke arah mbak Sisca yang masih menatapku bingung.
“Dia sudah tidur, baru saja.” Mbak Sisca menutup pintu dan melangkah ke arahku dengan mata masih mengantuk.
“Bangunkan dia sekarang juga.” Aku duduk di sofa ruang tamu membuat mbak Sisca mengernyit.
“Ini sudah malam, Dek, apa sepenting itu?” tanyanya dengan heran ke arahku.
“Penting, Mbak. Sangat penting, tolong bangunkan dia,” ucapku. Mbak Sisca tak menjawab lagi dan segera masuk ke dalam meninggalkanku. Kuambil ponsel di dalam saku dan mulai menghubungi seseorang.
“Sya, sudah siap semuanya, kan?” ucapku dengan ponsel sudah menempel di telinga.
“Siap Kak, nanti langsung kontak Rasya saja kalau kakak sudah siap. Rasya tinggal meluncur ke situ, papa juga sudah tahu kok, tenang saja,” ucap Rasya di ujung sana.
Kuakhiri telepon. Aku memang mempunyai rencana jika kesepakatan dengan masku yang akan kubuat ini tak menemukan solusi.
Suara langkah kaki nampak diseret menuju ke arahku. Dan di depanku kini terpampang wajah masku yang kusut itu ditemani mbak Sisca.
“Kau mabuk, Dek, malam-malam begini ke sini?” ucapnya sinis sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.
“Kumohon hentikan semuanya,” ucapku ke arah masku dan juga mbak Sisca yang kini saling menatap.
“Apa maksudmu?” mas Ryan mengerutkan keningnya.
“Hentikan kelakuan bodohmu, Mas, terserah kau masih amnesia ataupun tidak aku tak peduli selama ini aku sudah cukup bersabar dengan kelakuanmu tapi kumohon sekarang hentikan semuanya, hentikan karena sampai kapanpun aku tak akan melepaskan Aline.”
Rahang mas Ryan mengeras dan mengepalkan tangannya, sedangkan mbak Sisca tampak membuang mukanya ke arah lain.
“Dan kau, Mbak, jangan pernah lagi mengancam dan menyuruh istriku macam-macam. Semua ini karena kelakuan kalian yang masih kekanak-kanakan, bersikaplah dewasa,” ucapku tak kalah tajam ke arah mbak Sisca.
Dia menatapku dengan terkejut.
“Aku tetap tak akan melepas Aline, dia itu mencintaiku dari dulu,” ucap masku dengan tenang membuat emosiku bergejolak.
“Yan, kau gila!!” Tiba-tiba mbak Sisca ikut bersuara.
“Kau yang gila sudah tahu aku tak pernah mencintaimu tapi kau masih saja mengejarku. Sudah untung akhirnya aku mau menikahimu.” Plakkkkkk!!!
Tamparan keras mendarat di pipi masku itu, kulihat mbak Sisca sudah bercucuran air mata.
“Sampai kapan pun juga jangan harap bisa menceraikanku,“ teriaknya sebelum akhirnya berlari ke dalam.
Mas Ryan menoleh kepadaku dan kini menatapku dengan penuh kebencian.
“Kau lihat! Kau membuat kekacauan sekarang, kau juga yang membuat papa sakit, kau juga yang tak mau menuruti papa, kau anak durhaka,” ucapnya membuatku bangkit dari duduk, aku sudah kehilangan kesabaranku.
Kulangkahkan kaki ke arahnya dan dengan satu kepalan tangan kuhantamkan pukulan ke wajahnya yang membuatnya limbung.
“Aku selalu menghargaimu, aku selalu mengalah. Aku selalu menuruti setiap keinginan papa karena kau tak mau menuruti keinginannya. Tapi kali ini kau tak akan menang, aku tak akan melepaskan Aline, dia istriku kami saling mencintai dan akan mempunyai seorang bayi.”
Masku menatap dengan rasa terkejut dan langsung bangkit terhuyung.
“Kau apa? Siapa yang hamil? Kau kurang ajar,” teriaknya ke arahku dan langsung akan menghantamkan tangannya ke wajahku tapi aku bisa menghindarinya.
“Dia mencintaiku, bukan mencintaimu,” ucapku ke arahnya membuat dia mengepalkan tangannya lagi tapi terdiam di tempatnya.
“Keluar kau dari sini, aku tak mau punya adik sepertimu,” ucapnya ke arahku.
Aku pun mengangguk. “Aku pun tak mau di sini, dan ini terakhir kalinya kau melihatku.” Segera kulangkahkan kaki keluar dari rumah masku itu.
Aku sudah bertekad bulat, sudah mantap dengan rencanaku kalau seperti ini.
*****
Bunda menatapku, Evan juga menatapku bingung. Sementara istriku tadi saat kubangunkan dan kuajak sholat subuh berjamaah lalu kuutarakan niat dia hanya mengangguk dan tak banyak berbicara.
“Ini memang mendadak, Bun, tapi Vian harus melakukan ini,” ucapku ke arah bunda.
Bunda mengusap rambutku.
“Ya sudah kalau ini yang terbaik buat kalian, doa Bunda selalu menyertai kalian ya, jaga Aline, Bunda percaya denganmu,” ucap bunda akhirnya.
Istriku berlari memeluk bunda dan menangis di sana. Hatiku juga ikut teriris, sebenarnya bukan ini rencanaku, tapi aku dan istriku memang perlu melakukannya.
“Yan, jaga mbakku, ya, dan calon ponakanku, besok kalau aku cuti kuliah pasti aku kunjungi kalian.” Evan memelukku dan menepuk-nepuk punggungku.
“Sudah siap?” Suara Rasya menginterupsi kami.
Dia sudah tampak siap dengan kunci mobil di tangannya. Aku pun mengangguk dan melangkah ke arah istriku yang masih berpelukan dengan bunda.
“Fey, sekarang waktunya.” Kutepuk bahunya membuat dia melepaskan pelukannya dari Bunda.
“Bun, Aline pamit, ya, jaga kesehatan bunda, ya,” ucapnya.
Bunda mengangguk dan tersenyum.
“Jaga juga dirimu dan calon cucu Bunda.”
Istriku mengangguk dan kini beralih ke arah Evan dan memeluknya. Sedangkan aku berpamitan dengan Bunda.
Kami akhirnya melambaikan tangan ke arah bunda dan Evan yang mengantar sampai halaman rumah.
“Bunda tak akan beritahu keluargamu, Yan. Percayalah,” ucap bunda yang langsung kuangguki.
“Vian dan Aline pamit, ya, Bun, Van,” ucapku ke arah mereka dan mobil mulai melaju perlahan meninggalkan rumah milik mbak Mawar.
Istriku tampak membenamkan wajahnya di dadaku sedangkan Rasya sudah melajukan mobil.
Tadi memang aku meminta tolong Rasya untuk mengantarkanku ke Bandung. Rumah milik om Dewa yang ada di sana, rumah yang telah lama dibeli om Dewa tapi tak ditempatinya karena om Dewa sudah nyaman di Solo. Rumah itu hanya dijadikan persinggahan saja untuk berlibur.
Om Dewa tadi sempat aku telepon, meminta pendapat setelah kuceritakan semuanya, dia seperti papa kedua buatku. Di luar dugaan om Dewa memberiku solusi untuk pergi dari Yogya ini, meninggalkan keluargaku, bukan menghindar tapi memberi waktu untuk keluargaku kalau aku memang sudah dewasa dan bisa hidup tanpa harus diatur. Bahkan om Dewa memberikan rumahnya untuk kuubah menjadi café. Aku sebenarnya memang sudah berencana membuka cabang di Bandung, dengan hasil uang yang didapat dari café Solo, tapi belum terealisasikan sampai sekarang, karena pendidikanku kemarin. Om Dewa sudah berkali-kali menyarankan karena rumahnya berada di tempat yang potensial.
“Bee, kau mantap?” ucap istriku yang kini sudah nampak lebih tenang.
Aku mengangguk dan mengusap air mata yang menggenang di matanya.
“Fey, tak merasa aku paksa, kan?” bisikku di telinganya.
Dia hanya menggeleng, “Aku ikut ke mana pun kau pergi.“
“Tapi nanti papa?” ucapnya kini khawatir.
“Tak apa-apa Fey, papa sudah membaik kok, kemarin aku sudah berbicara dengan dokter Hari, dokter kepercayaan papa, meski aku masih tak tega tapi aku tak akan menurutinya, aku hanya ingin hidup denganmu dan bayi kita.”
Kurasakan mbak Mawar menghela napasnya, tapi kepalanya masih bersandar di dadaku dan tangannya memelukku erat.
“Ini semua karena aku, ya? Kalau tak ada aku, kalau aku tak hadir semuanya akan baik-baik saja, Ryan tak akan amnesia dan kau akan menempuh spesialismu di Glasgow sesuai cita-citamu,” ucapnya lirih.
Kuangkat dagunya dan kukecup bibirnya yang menggoda itu.
“Jangan pernah bicara seperti itu lagi, kau ini cita-citaku, memilikimu itu tujuan hidupku, bukan yang lain,“ bisikku membuatnya kini menatapku penuh sayang.
“I love you,” ucapnya membuat hatiku menghangat.
Kulumat lagi bibirnya itu, mencoba menyampaikan rasa yang ada di dalam hatiku bahwa aku juga sangat mencintainya.
“Ehemmm ... eheemm ... permisiiii, di sini masih ada anak di bawah umur, mohon adegannya di-skip saja, ya?” celetukan Rasya dari balik kemudi membuatku dan istriku melepaskan ciuman kami.
“Sya, supir dilarang mencampuri urusan majikannya,“ celetukku dan terdengar tawa dari istriku.
“Eh, enak saja supir, mana ada supir tampan begini, pokoknya nanti sampai di Bandung aku minta hadiah sama mbak cantik,” ucapnya.
“Hadiah?” Istriku mengerutkan keningnya.
“Iya,” jawab Rasya sambil melirik dari kaca spion.
“Memang hadiah apa?” tanyaku ke arah Rasya dan kulihat Rasya menyeringai, dan memonyongkan bibirnya itu.
“Eh, enak aja maksudnya apa tuh minta dicium?” jawabku ke arahnya.
Dia langsung mengangguk. Dasar mulai lagi deh kumat dia.
Istriku menutup mulutnya dengan tangannya dan menggeleng-geleng.
“Bee, mending kamu saja yang menyupir dan turunkan Rasya di sini,“ bisiknya membuatku tergelak dan Rasya langsung menoleh ke belakang.
“Eh, mbaknya cantik kejam, pokoknya Rasya mau dicium,” rengeknya lagi dan kugeplak kepalanya itu.
“Fokus ke depan nyupir, kok, menoleh-noleh.” Dia tersenyum lebar dan kembali fokus ke arah jalan.
“Ya sudah tak jadi cium juga tak apa tapi izinkan Rasya tinggal di sana sama kak Vian, ya, Rasya mau pindah kuliah saja ke Bandung, dari dulu tak dibolehkan sama papa, tapi sekarang kan ada kak Vian dan juga mbak cantik, ya ya boleh, ya.”
“Gimana sayang? Mau merawat anak seperti itu?” tanyaku ke arah mbak Mawar dan dia tersenyum.
“Ambil saja, lumayan besok kalau sudah lahir junior kita kan ada yang merawatnya,” celetuk istriku membuat Rasya melotot ke arah spion.
“Memang aku nanya apa?”
“Iya nanny tampan,” celetuk istriku dan terkekeh.
Aku hanya mengulum senyumku, mendekap erat istriku.Semoga pilihanku ini tepat. Membuat semuanya menjadi lebih baik .
Share this novel