Rate

R

Romance Series 49370

Sebelum pergi, Love mengambil ponselnya yang berada di atas ranjangnya. Ia mengeceknya sesaat. Sejujurnya sudah menjadi kegiatan rutin bagi Love untuk mengecek ponselnya setiap setengah jam sekali. Bukannya ia tidak punya kerjaan, tetapi Love masih menunggu dan berharap bahwa Owen akan ada menghubunginya atau mengirimkan pesan untuknya. 

Namun, panggilan atau pesan yang ditunggunya tidak pernah datang. Dengan berat hati dan helaan nafas yang panjang, Love memutuskan untuk meng-nonaktfkan ponselnya. Ini yang terbaik, pikirnya. Semoga dengan keputusannya mematikan ponselnya, Love bisa sedikit terlepas dari pikiran Owen untuk sesaat.

Love keluar dari rumahnya dan hendak pergi ke pemakaman orang tuanya. Karena ia tidak memiliki mobil, mau tak mau ia harus berjalan kaki. Untung saja tempat pemakamannya tidak begitu jauh jaraknya, namun ia harus sedikit memutar karena ada jalan yang sudah lama ditutup oleh petugas kepolisian daerah tersebut. 

Saat sedang berjalan di area yang tergenang air, dari arah belakang Love, ada sebuah mobil melaju melintasi area tersebut. Saat mobil tersebut melewati Love, tak sengaja ban mobil yang sedang melaju itu mengenai genangan air tersebut. Alhasil air tersebut menyembur dan mengotori sepatu sampai betis kaki Love. 

Tentu saja hal itu membuat Love terkejut. Untungnya Love sedang mengenakan terusan hitam selutut, jadi cipratan air tersebut tidak sampai mengotori pakaiannya. Saat Love ingin mengoceh ke si pengemudi mobil tersebut, ternyata mobil itu sudah berhenti duluan. Love melihat seorang pemuda keluar dari dalam mobil dan langsung menoleh ke arahnya. 

Deg! 

Jantung Love berdenyut keras. Ada segelintir perasaan aneh saat melihat paras pemuda tersebut yang tengah berjalan ke arahnya. 

Sambil berjalan, si pemuda tersebut melirik ke arah sepatu dan kaki Love. "Maafkan aku, Nona. Aku sungguh tidak sengaja," ujarnya setelah berdiri di hadapan Love. Buru-buru ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya.

Tadinya Love ingin memarahinya, namun ia urungkan karena melihat ada itikad baik dari si pemuda tersebut, yakni mau meminta maaf padanya. "It's okay, Tuan--, eh? Kau mau apa?" Love melihat pemuda tersebut menekuk satu kakinya tengah berjongkok di hadapannya.

Tanpa ijin dulu, si pemuda itu langsung membersihkan cipratan air yang mengenai sepatu dan kaki wanita cantik di hadapannya itu dengan saputangan miliknya.

Love hendak menyuruhnya berdiri, namun pemuda itu sudah selesai mengelap kakinya. Kini sepatu dan kakinya sudah tampak bersih kembali. 

Pemuda itu pun sudah berdiri lagi sembari menatap Love. "Sekali lagi aku minta maaf," ujarnya sembari tersenyum penuh penyesalan. Dalam hatinya, ia bersyukur dan bernafas lega karena untungnya sepatu milik wanita tersebut dapat dibersihkan dengan mudah. Kalau tidak, ia tentu akan merasa bersalah.

Sekarang giliran Love yang merasa tak enak hati dengan pemuda di hadapannya ini. "Thanks, Tuan. Seharusnya kau tidak perlu sampai repot-repot membersihkan sepatuku. Kau cukup meminjamkan saputangan milikmu itu padaku," ujarnya.

"Aku hanya tidak ingin dibilang sebagai lelaki yang jahat karena telah mengotori kaki seorang wanita cantik," sahut pemuda tersebut dengan sedikit rayuan.

Love terkekeh pelan mendengarnya. 

"Oke, Nona, karena kurasa aku sudah bertanggung jawab akan kesalahanku, jadi tidak ada lagi yang harus ku lakukan. Sekali lagi aku minta maaf." Pemuda itu menunduk sebentar, lalu langsung beranjak pergi sebelum mendengar sahutan dari mulut Love.

Setelah mobil tersebut melaju pergi, Love pun tersenyum tipis. "Pemuda yang aneh. Tapi dia cukup baik," gumamnya sembari melanjutkan jalannya. 

*****

20 menit kemudian, Love tiba di area pemakaman. Ia berjalan menuju ke makam orang tuanya. Dan bunga yang sudah dibelinya, ia letakkan di atas makam. Love berdiri sembari menundukkan setengah kepalanya menatap batu nisan bertulisan nama kedua orang tuanya.

"Hai, Ma! Hai, Pa! Love datang mengunjungi kalian. Bagaimana kabar kalian?" Love mengulas senyum di bibirnya untuk menutupi kesedihannya. "Love sangat merindukan kalian berdua." Ia mulai terisak mengingat orang tuanya saat masih hidup dulu. Ia tak pernah memberikan yang terbaik buat mereka. Bahkan ia belum membahagiakan kedua orang tuanya. 

Sejujurnya, Love masih marah pada orang tuanya karena disuruh pindah mendadak saat ia berusia 11 Tahun. Ia dipaksa pindah ke tempat paman bibinya di San Francisco untuk bersekolah. 

Kala itu, pamannya yang sedang menjabat sebagai kepala sekolah tiba-tiba memasukkan Love di sekolahnya--yang terbilang cukup terkenal di kota itu-- dengan bantuan beasiswa. Alasannya karena di sekolah sebelumnya, Love menyandang sebagai status murid teladan dan terpintar di kelasnya. Dan pikir orang tuanya, sayang kalau Love harus bersekolah di tempat yang kurang bagus. 

Love sudah berusaha menolaknya dengan alasan tidak ingin berpisah dari orang tuanya, namun alasan tersebut tidak digubris oleh orang tua Love. Akhirnya dengan berat hati dan terpaksa, Love pun menyetujui perpindahan itu.

Alasan lain Love marah pada orang tuanya bukan hanya perihal perpindahannya, melainkan karena ia harus berpisah pada Owen kecil. Padahal ia baru beberapa hari berkenalan dengan Owen kecil dan baru mau mengenalnya lebih jauh. Dan di saat hari kepindahannya tiba, Love malah lupa menanyakan email Owen kecil. Padahal hanya itu yang bisa membuatnya tetap berkomunikasi dengan Owen kecil, yakni melalui surat menyurat. 
Love berpikir kalau ia tak akan pernah bisa bertemu lagi dengan Owen kecilnya. Namun, takdir berkata lain. Setelah 8 tahun lamanya, akhirnya Love dapat bertemu lagi dengan Owen kecil.

Owen yang sudah beranjak dewasa tiba-tiba datang ke tempat kerjanya dan mengaku-ngaku sebagai teman kecilnya. Tadinya Love tidak mempercayainya karena ia sendiri tidak tahu nama asli dari teman kecilnya itu. Karena dulu ia hanya memanggil teman kecil yang menyelamatkan hidupnya itu dengan panggilan 'Kakak'. 

Love melihat Owen tidak putus asa. Cara terakhir yang dilakukan Owen adalah meyakinkannya dengan cara menceritakan awal kisah pertemuannya, yakni saat ia menyelamatkan hidup Love sewaktu Love hampir tenggelam. Karena cerita itulah akhirnya Love pun percaya. Karena merasa senang dengan reuninya, ia dan Owen pun akhirnya bisa berhubungan lagi dengan saling bertukar nomor ponsel. 

Hubungannya dan Owen pun berubah menjadi sepasang kekasih setelah setahun mereka berdua menjalin pertemanan. Kala itu, Owen pun memberanikan diri mengungkapkan perasaannya pada Love. 

Tentu saja Love langsung menerima perasaan Owen tanpa berpikir panjang. Ia memang sudah menyukai teman masa kecilnya itu dari kecil. Dan sejak itulah jalinan kasih mereka dimulai. 

"Maafkan Love, Ma, Pa, karena baru sekarang Love mengunjungi kalian berdua. Mulai sekarang Love janji akan sering-sering datang berkunjung."

Sebelum pergi dari makam orang tuanya, Love melihat ke arah lurus. Kira-kira dalam jarak 10 meter, ia melihat ada tiga orang sedang berziarah juga. Karena tidak ingin tahu, Love memutuskan untuk balik pulang ke rumahnya. 

****

Malam hari setelah Love selesai membereskan rumahnya, ia berniat untuk mencari makan malam di luar. Setelah memakai jaketnya, Love keluar dari dalam rumahnya. Ia berjalan sambil melihat-lihat ke sekelilingnya yang sudah banyak perubahan. Sekarang lebih banyak dibangun perkebunan buah. Beberapa rumah yang dekat dengan rumahnya dulu pun sudah tidak ada lagi. Mungkin pikir Love, rumah tersebut telah dihancurkan atau digusur. 

"Love!" Seorang wanita tengah berjalan cepat ke arah Love.

Merasa namanya dipanggil, Love pun menoleh ke asal suara. Karena penerangan lampu kawasan rumahnya tidak begitu terang, ia sampai harus menyipitkan matanya untuk memperjelas pandangannya. "Auntie Gab?! Saya kira siapa." Pantas saja ia tidak melihatnya dengan jelas. Warna kulit Gaby kan hitam, jadi bukan salah lampunya dong? Buru-buru Love mengetuk pelan kepalanya. Whatever!

"Mau ke mana malam-malam, Love?" tanya wanita itu yang tak lain adalah Gaby. 

"Saya ingin mencari makan di luar sembari berjalan-jalan," jawab Love.

"Malam-malam begini?" Gaby terkesiap. Setahunya sekarang sudah pukul sembilan malam. 

"Iya. Ada yang salah, Auntie?" Love pun mengernyit bingung. 

"Tidak. Hanya saja kalau bisa jangan keluar sendirian malam-malam, Love." Gaby menasehati. "Lebih baik mulai besok kau membeli bahan makanan untuk dimasak sendiri, jadi tak perlu keluar-keluar rumah seperti sekarang ini. Soalnya di area sini kalau malam menjelang pukul sebelas ke atas suka banyak pemabuk dan orang jahat. Jadi kau harus ekstra hati-hati, apalagi kau tinggal sendirian. Mengerti?" Kali ini Gaby memberikan saran dan pesan pada Love.

"Baik, Auntie. Terima kasih atas saran dan pesannya." Love tersenyum senang mendengarnya. 

"Ya sudah, Auntie pergi dulu ya!" pamit Gaby. "Kau juga, selesai makan langsung cepat pulang ke rumah!"

"Iya, Auntie." Love bersyukur karena bertemu dengan orang baik dan perduli padanya. "Hati-hati, Auntie!" Love melambaikan tangan perpisahan pada Gaby yang sudah berjalan menjauh darinya.

Kepergian Gaby, Love melanjutkan jalan-jalannya tanpa sadar ada seorang yang sudah mengikuti dan mengawasinya dari tadi.

Sampailah Love di kafe kecil yang jam bukanya memang malam hari sampai pagi. Ia memilih duduk di dekat jendela agar bisa melihat ke arah jalanan. 

Seorang pelayan kafe berjalan mendekati meja Love, lalu memberikan buku menu padanya. 

Love melihat-lihat sejenak. "Aku pilih ini saja," tunjuk Love pada menu steik. "Minumnya aku minta yang bersoda," lanjutnya memesan. Love menutup buku menu dan mengembalikannya pada si pelayan kafe. "Itu saja pesananku."

"Baik. Silahkan tunggu sebentar."  Pelayan kafe itu mengambil buku menunya dan berjalan meninggalkan Love.

Sambil menunggu pesanannya datang, Love melihat ke arah luar jendela. Ia pun bertopang dagu sambil menikmati alunan musik jazz yang sedang mengalun dengan merdunya. 

45 menit kemudian, Love selesai menyantap makan malamnya. Ia hendak pulang setelah makan karena waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 malam. Mengingat pesan Auntie Gaby bahwa harus cepat pulang, Love pun menurutinya. Ia pun tak mau mengambil resiko jika harus berhadapan dengan pemabuk yang dimaksud oleh Gaby.

Selesai membayar, tiba-tiba Love malah didatangi oleh seorang pria botak yang memegang botol beer. "Hai, Manis!" Si pria botak dengan tato di semua tangannya melihat Love yang datang sendiri. "Sendirian saja? Mau ditemani?" Pria botak itu menenggak bir-nya, lalu berdiri dengan sempoyongan. "Aku tidak pernah melihatmu. Apa kau orang baru di kota ini?" tanyanya.

Love berusaha tidak meladeni. Namun setiap ia melangkah hendak melarikan diri, dirinya ditahan oleh tubuh besar si botak berjenggot itu. "Kumohon jangan ganggu aku. Aku mau pulang!"

"Pulang?" Pria botak itu tertawa keras. "HA-HA-HA..!"

Love masih berusaha menghindari tubuh si botak brengsek ini, namun lagi-lagi tidak berhasil. Ia pun mulai mengeram kesal. Seharusnya tadi ia menuruti nasehat Auntie Gaby untuk tidak keluar sendirian malam-malam. Sekarang ia jadi harus benar-benar berhadapan dengan seorang pemabuk.

"Pergilah, Stone!" Suara lain menginterupsi mereka. 

Love dan pria botak itu menoleh bersamaan ke arah suara. 

"Cih!" Pria botak yang sudah mabuk berat itu merasa kesal karena kesenangannya telah diganggu oleh temannya. Stone~ nama si pria botak itu~ langsung pergi begitu saja meninggalkan Love dan temannya.

"Terima kasih," ujar Love langsung pada pria yang sudah menolongnya. 

Pria itu mengulurkan tangannya ke Love. "Stanley," sebutnya. Pria itu pun langsung mengenalkan dirinya pada Love.

"Love," sebut Love yang juga menyebutkan namanya sembari menguluran tangannya untuk bersalaman dengan Stanley.

"Nama yang indah dan cantik," puji Stanley. "Bisa kita berbincang sebentar, Love?" pintanya.

Love ingin menolaknya karena waktu semakin malam. Tapi kalau ia menolaknya, bukankah itu namanya tidak sopan? Masalahnya pria ini sudah menolongnya. Love jadi bingung sendiri. 

"Sayangku!" celetuk seorang pria lain lagi yang tiba-tiba mendatangi Love, lalu main merangkul pundaknya. 

Love terkesiap dan menoleh kaget ke arah pria muda yang dengan seenaknya merangkul dirinya. "Apa-apaan-," Ocehan Love tertahan karena pria muda tersebut langsung memotongnya. 

"Kau ke mana saja, Sayang? Aku mencarimu ke mana-mana juga, tahunya kau ada di sini. Ayo kita pulang, Sayang!" 

Love sungguh tidak mengerti dengan situasi yang sedang dihadapinya sekarang. Masalahnya, pria lain ini yang sekarang mengajaknya pulang adalah pria yang tadi siang membersihkan cipratan air di sepatunya. Apa ini kebetulan? Lalu, ia harus menjawabnya apa? Love kembali bingung. Tunggu! Bukankah ini adalah kesempatannya untuk menolak ajakan si pria bernama Stanley? Ya, ya, sepertinya ini adalah timing yang tepat. "Ayo kita pulang!" balas Love ke pria yang ia belum tahu namanya itu. 

Pria muda itupun senang mendengarnya. Sepertinya wanita yang ditolongnya ini mengerti dengan situasinya, pikirnya.

Sebelum pergi, Love berpamitan pada Stanley dan juga meminta maaf padanya karena telah menolak ajakannya untuk mengobrol. 

Stanley pun mengijinkan Love pergi karena melihat ada pria asing lain telah mengganggu rencananya. Ia pun hanya bisa menggigit jari menelan kekecewaan karena tak berhasil mendekati Love. Fucking shit!! umpatnya gusar.

****

Setelah keluar dari kafe, pemuda yang bersama Love akhirnya melepaskan rangkulannya. "Maafkan aku," ujarnya. 

Love menoleh sambil mendengus kasar. "Apa maksudmu merangkulku dengan seenaknya?" semburnya marah.

Eh? Pemuda itu pun terhentak karena melihat amarah dari wanita yang ditolongnya. "Apa kau tidak tahu kalau tadi kau sedang berada di situasi paling berbahaya?" tanyanya.

"Hah?" Love terperangah heran. "Situasi berbahaya?"

"Iya."

"Justru tadi dia menolongku dari pemabuk."

"Dia lebih berbahaya dari seorang pemabuk. Apa kau tak menyadari kalau pria yang bernama Stanley itu sedang berusaha menggodamu?" 

Love mengernyit bingung. "Tidak."

"Kau benar-benar gadis polos yang baru pertama kali kutemui."

Love mendecih sebal karena tidak terima dibilang gadis polos. "Lalu, gimana dengan kau sendiri? Apa kau tidak sedang menggodaku juga?" sindirnya.

Eh? "Ha-ha-ha.. " Pemuda itu sontak tertawa pelan. "Aku ini justru menolongmu dari komplotan duo serigala itu, Nona." 

Tidak percaya begitu saja, Love pun memicingkan matanya menyelidik. "Kau sendiri bukan termasuk dalam kawanan serigala-serigala itu?" 

"Ya ampun, Nona, jika kau tidak percaya padaku juga tidak apa-apa. Yang penting tugasku sudah selesai untuk menolongmu. Jadi, lebih baik aku pergi sekarang," pamitnya dan langsung melesat pergi begitu saja.

"Eh, tunggu, Tuan!" Love berusaha menyusulnya dan menahan kepergiannya. Sampai di hadapannya, ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar agar pemuda tersebut tidak pergi. "Kau bilang apa barusan? Tugas? Memang siapa yang menugaskanmu? Apa kau mata-mata? Berarti benar kan, kau itu termasuk---," Perkataan Love terhenti karena sudah mendapat pelototan tajam dari pemuda di hadapannya ini. "Maaf, aku hanya penasaran." Love menurunkan kedua tangannya, "Jadi, bisakah kau jawab pertanyaanku? Siapa kau dan siapa yang menugasimu?"

Pemuda itu pun menghela nafas kasar. "Kau pasti kenal dengan Gaby?"

"Gaby? Auntie Gaby maksudmu?"

Pemuda itu mengangguk.

"Tentu saja aku kenal," jawab Love.

"Dia yang menyuruhku untuk menyusulmu ke sini karena merasa khawatir padamu. Lagian malam-malam keluar sendirian. Apa kau tidak memiliki seorang kekasih agar bisa menemanimu?" 

"Ck!" Love mendecak kesal mendengarnya. "Kalau ada, buat apa aku jauh-jauh datang sampai ke Ohio." 

"Hah?"

"Lupakan." Love mengibas tangannya. "Ya sudah, terima kasih buat pertolonganmu. Aku mau pulang sekarang. Aku takut nanti ada serigala lain yang menggodaku." Love tersenyum tipis bermaksud menyindirnya. "Bye!"

"Kalau begitu aku akan mengantarmu sampai rumahmu," tawarnya cepat. 

Love kembali memicingkan matanya curiga. "Berarti benar kan, kalau kau itu ingin menggodaku?"

"Terserah kau mau berpikir apa tentangku. Aku hanya ingin memastikan kau pulang dengan selamat sampai rumahmu." 

Love pun terkekeh geli. "Ya, ya," ujarnya. Entah kenapa Love percaya bahwa permuda ini adalah pria baik-baik.

Dan pemuda yang katanya sudah menolongnya ini pun akhirnya yang mengantarkan Love sampai rumah dengan selamat. 

"Terima kasih," ujar Love sebelum ia masuk ke dalam rumahnya. 

"Jadi benar kalau kau itu tinggal sendirian di rumah ini?" Pemuda itu tampak terkejut dengan rumah yang ditinggali oleh Love. Pasalnya ia mengenali rumah ini. 

"Kenapa? Kau punya rencana jahat padaku ya?" pancing Love dengan menantangnya, membuat si pemuda tersebut kembali mengeram kesal.

"Jika kau mau, aku bisa melakukannya tanpa ragu-ragu," tantangnya balik dengan berpura-pura memasang wajah jahat.

"Cih! Kalau kau sampai berani, aku akan melaporkanmu pada Auntie Gaby," sahut Love.

"Ha-ha-ha.."

"Ya, ya, tertawalah sesukamu." Love bersedekap sambil mendegus sebal.

"Maaf-maaf. Kalau begitu, aku pulang dulu," pamitnya. Ia ingin buru-buru pulang untuk memastikan sesuatu. 

Love mengangguk. "Ya, lebih baik kau pulang sekarang karena aku takut ada serigala sungguhan menyerangmu," godanya balik.

Pria itu pun hanya merespon dengan melambaikan tangan perpisahan pada Love. 

Saat Love ingin menutup pintu rumahnya, ia pun tersadar sesuatu. Ia membuka kembali pintunya dan berseru lantang ke pria muda tersebut. "Hey, Tuan! Boleh kutahu namamu!" 

Pria tersebut kembali menoleh dan menghentikan langkahnya. "Harvest!" jawabnya dengan suara yang keras juga. "Kalau kau, Nona?"

"Love. Namaku Love, Harv!" serunya. "Nice to meet you, ya!"

"Beautiful name, Love. Nice to meet you too." Pria yang ternyata adalah Harvest pun kembali melambaikan tangannya ke atas. "Bye, Love!" And see you again, batinnya. Harvest pun berjalan sembari tersenyum senang. 

****

To be continued

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience