BAB 40
Dingin ..., tulang-tulangku terasa seperti dilolosi hawa dingin kembali menyeruak menembus kulitku. Uhhh, kenapa terasa begitu dingin. Kubuka mata yang terasa begitu berat, dan mengerjapkannya.
Dan di depanku terhampar pemandangan yang begitu indah. Alisnya yang tebal membingkai sempurna, bulu matanya tampak lentik, melebihi punyaku sendiri. Bibirnya tipis, tapi membuat kecanduan kalau sudah mengecupnya.
Aroma musk menguar dari tubuhnya yang kini hanya terbalut selimut, memperlihatkan lengan telanjangnya yang kokoh. Menandakan hasil gym yang rutin. Sempurna, pahatan sempurna milik suamiku tercinta ini.
“Fey, baru mengagumi suamimu ini?” ucapnya tiba-tiba masih dengan mata terpejam.
Pipiku terasa memanas mengingat kegiatan kami sebelumnya tadi. Kegiatan yang begitu panas dan menggelora.
Vian membuka matanya, dan tersenyum dengan begitu manis. Ahhh asupan oksigenku rupanya berkurang kalau terus diberi senyum yang begitu manis itu.
Dia memajukan tubuhnya dan mengeluarkan tangannya dari balik selimut lalu seketika menarik dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Wajahku membentur dadanya yang telanjang itu.
“Istriku sayang, istri seksiku, aku ingin lagi,” bisiknya di pucuk kepalaku sambil menciumi rambutku dengan lembut.
Duuuhhhh, jantungku serasa berlarian dan berdetak lebih kencang. Teringat tadi aku yang dengan agresif menggodanya, dan akhirnya menyerah dalam gairah dan pesonanya yang menenggelamkanku ke dalam pusaran kenikmatan yang tiada duanya. Aku baru tahu kalau bercinta akan senikmat ini.
“Aku lapar,“ rengekku akhirnya karena tak tahu apa lagi yang harus kuucapkan. Aku masih terlalu malu untuk mendongakkan wajahku untuk menatap suamiku ini.
“Aku juga lapar,” ucapnya tapi tangannya sudah masuk menyelusup ke dalam selimut yang kupakai di mana hanya itulah yang menutupi seluruh tubuhku yang polos ini.
“Ahhhhh,” eranganku lolos dari bibirku saat Vian dengan sengaja membelai dan mengusap dua bukit kembar milikku.
Dia benar-benar mengerti kalau area itulah yang merupakan titik sensitifku. Vian menyeringai ke arahku dengan muka mesumnya, ahh tapi tetap tampan walau kadar kemesumannya kini bertambah.
“Kata dokter ibu hamil itu lebih sensitif, ya, menerima rangsangan?” Dia mulai mengecupi leherku yang kini sudah penuh warna kemerahan akibat ulahnya itu.
“Nooooo, Bee makan dulu, yuk?” Kudorong tubuhnya untuk menjauh, tapi lagi-lagi tangannya nakal menyelusup makin ke bagian bawah tubuhku dan membenamkan jarinya di sana.
Kupejamkan mataku, tak kuasa menahan rasa nikmat yang kembali mendera, “Ahh ... noo ... b-ee ... su-dah ...” Kucegah agar Vian tak kembali mengajakku bercinta, karena kalian tahu ini sudah keempat kalinya dia begini.
Menggodaku sejak tadi pertama kali aku mengajaknya. Kalau tahu begini, tadi tak usah kutawarkan untuk mengajaknya bercinta. Dia menyingkap selimutku dan mengenyahkannya begitu saja, lalu mengecupi setiap jengkal tubuhku memberikan gelenyar panas dan rasa mendamba. Aku tak bisa menahan pesonanya kalau seperti ini terus.
Tapi suara bunyi perutku-lah yang akhirnya menginterupsi kegiatan Vian mencumbu dan memberikanku kenikmatan.
“Maaf,“ ucapnya kemudian dan mulai merangkak naik dan mengecup pipiku.
“Jadi Fey lapar beneran, ya?” tanyanya dengan polosnya.
“Iyalah, Bee ini sudah pukul berapa, tadi kita masuk kamar ini kan jam 3 siang, sekarang lihat sudah hampir maghrib,” tunjukku ke arah jam yang melingkar di tangan.
“Ya sudah mandi yuk terus sholat maghrib dan kita cari makan, lalu pulang,” ucapnya membuatku mengangguk tapi kemudian tubuhku sudah terasa melayang karena Vian sudah menggendongku.
“Loh mau ke mana?” Kutatap wajahnya yang kini menyeringai lagi ke arahku dengan lucunya.
“Mandi, tapi sebelumnya tambah 1 ronde lagi, ya Fey, janji akan cepat,” rayunya membuatku memukul bahunya dengan pelan, tapi tak juga membantah karena memang aku menginginkannya juga. Tuh kan aku jadi ikutan omes.
*****
“ Fey, kenapa jalannya begitu?” Vian kini memandangku yang sedang berjalan ke arah mobil miliknya.
Setelah mandi dan sedikit kegiatan yang menguras keringat lagi dan mandi lagi, lalu sholat maghrib akhirnya kami keluar dari hotel dan berencana mencari makan dan pulang.
Duh tak tahukah dia karena ulahnya itu membuatku berjalan begini. Sakit Bee, sakit sebenarnya buat berjalan tapi aku malu untuk mengatakannya.
“Memang kenapa? Jalan juga biasa,” jawabku saat Vian membuka pintu mobil untukku.
Dia menatapku curiga tapi kemudian mengulum senyumnya dan masuk ke balik kemudi.
“Sakit, ya?” ucapnya saat mulai melajukan mobilnya tanpa menoleh ke arahku.
Tuh kan dia membuatku malu lagi, kenapa dia sangat tahu apa yang kurasakan. Tangannya menggenggam jemariku dan mengecupinya.
“Maaf, ya? Tapi makasih sudah mau memberikanku sesuatu yang sangat berharga, tuh jadi makin cintaaaaa sama Fey,” ucapnya membuatku terkekeh.
“Makan di mana, Fey?” tanyanya kemudian.
“Ehm, Mrican saja, yuk, di sana kan bisa memilih apapun,” ucapku ke arahnya, menyebutkan tempat nongkrong favoritku dulu saat bersama Tian ataupun Nadia.
“Okay..., siap, Nyonya Besar,“ jawabnya tapi kemudian dering ponselnya membuat Vian menoleh ke arahku.
“Fey, tolong ambilkan dong di saku celana,” tunjuknya dengan dagunya.
Aku pun mengangguk dan merogohkan tangannku ke dalam sakunya. Tapi sakunya terlalu dalam dan aku mulai merogoh lagi untuk menemukan ponselnya itu. Tapi eh ... apa ini??
Kulihat wajah Vian sudah menahan sesuatu, ”Fey... kau salah pegang,” ucapnya dengan suara parau.
Eh kenapa tiba-tiba serak. Dan demi apa coba saat kutatap tanganku yang ternyata bertengger di atas ..., ahhhhh, maluuuuuu.
Vian terkekeh melihatku, lalu menggenggam jemariku yang masih bertengger di sana dan meremasnya membuatku membelalak terkejut.
Vian meminggirkan mobilnya dan menghentikannya. Aku masih diam membeku, saat tiba-tiba Vian menangkup wajahku dan melumat bibirku dengan intens.
Panas dan mulai menggelenyar lagi, jangan salahkan aku jika aku pun mulai mengikuti permainannya. Dan sekali lagi dering ponsellah yang memotong kegiatan kami.
Vian menghela napas dan melepaskan ciumannya lalu mengambil ponsel dari saku.
Aku kembali ke posisi semula dan membenarkan rambut dan gaunku yang kusut. “Iya Ma, lagi di jalan sama Aline.” Vian tampak berbicara serius.
“Sekarang? Owh ya, Ma, Adek segera ke sana,” ucapnya lalu menutup ponselnya.
“Ada apa?”
Vian menatapku, ”Fey, papa ingin kita ke rumah sakit sekarang, jadi maaf tak bisa ke Mrican, cari makanan di jalan saja dan dimakan di rumah sakit, ya?” ucapnya.
Aku hanya mengangguk karena mengerti pasti ada sesuatu yang penting sehingga papa ingin menemui kami.
*****
Vian mengusap rambutku saat melangkah menuju ruangan papa dirawat. Di tanganku akhirnya ada sepotong hamburger yang tadi sempat kubeli di jalan, untuk mengganjal perutku yang sudah tak bisa diajak kompromi. Vian berjanji akan segera mengajakku makan di kantin setelah bertemu papa.
Pintu dibuka oleh Vian setelah kami sampai di depan kamar papa. Bisa kulihat di sana ada mama yang menyambut kami dan papa yang sudah nampak lebih sehat dari kemarin saat aku mengunjunginya.
“Maaf mengganggu kalian,“ ucap mama saat kusalami tangannya dan kucium pipinya. Mama mengusap rambutku dengan sayang.
“Tak apa Ma,“ jawabku dan kini beralih ke papa yang kucium tangannya dan papa juga mengusap rambutku dengan lembut.
“Aline, kondisi kandungannya gimana?” Kini papa menatapku dan Vian sudah merengkuhku ke dalam pelukannya, takut kalau aku kembali jatuh pingsan, padahal aku malu diperlakukan begitu di depan mama dan papa.
“Alhamdulilah, baik,” sahut vian sambil mengusap perutku. Papa tersenyum tapi kemudian menyuruhku dan Vian duduk di depannya.
“Dek, Papa sebenarnya memang kecewa Adek melepas beasiswa di Glasgow,” ucapnya lalu menatap Vian.
Deg deg deg.
Aku merasakan ada sesuatu yang tak beres dari nada bicara papa. Vian menggenggam erat jemariku. ”Maaf Pa, membuat kecewa,” ucapnya lirih.
Dan aku makin merasakan hawa yang menyesakkan melihat Vian kini menunduk merasa bersalah.
“Jadi sekarang apa tujuanmu? Ingat, Dek, kamu akan mempunyai anak. Dulu sebelum nikah dengan Aline, kau kan sudah berjanji dengan Papa kalau akan tetap melanjutkan pendidikanmu ini, tapi sekarang kenapa berhenti?” ucap papa tajam kali ini.
Aku sudah bisa mengerti arah pembicaraan ini, papa marah karena suamiku melepas beasiswanya dan bahkan kini tampak tak berminat meneruskan pendidikannya itu.
Vian menghela napasnya, lalu menatap papa. Mama sudah menghilang entah ke mana, atau dia tak tega melihat ini.
“Aku sudah mempunyai penghasilan dari café, Pa, dan aku juga jadi dosen freelance di UNS, dan mengenai pendidikanku aku akan meneruskannya, Pa, aku masih bisa mengajukan beasiswa lagi dan mengambil spesialis di sini, tapi bukan sekarang, Pa, karena sekarang Vian sedang fokus dengan keluarga kecil Vian, mungkin sampai bayi ini lahir, baru Vian akan melanjutkan lagi pendidikan Vian. Untuk sementara waktu Vian hanya untuk Aline dan juga calon bayi kami,” jawabnya lugas dan mantap.
Hatiku terasa tersiram air dingin mendengar penuturannya. Tapi ini membuat wajah papa tampak menahan emosi. Dipegang dadanya, aku sangat khawatir jika papa kambuh lagi.
Papa menghela napasnya lalu menatap kami bergantian .
“Dek, ngerti kan kalau Adek satu-satunya harapan Papa, sebagai penerus dokter, masmu juga sudah tak bisa diharapkan, hanya Adek yang Papa harapkan, jadi Papa ingin Adek melanjutkan pendidikannya, kembalilah ke Glasgow, lulusan di sana akan berkompeten, Dek. Kamu akan jadi dokter ahli, kalau kau tak mau, sekarang juga urusilah rumah sakit, Papa sudah tua, Dek, siapa lagi yang akan meneruskannya. Papa beri kau pilihan, kembali ke Glasgow atau kau ambil alih rumah sakit ini. Tapi kalau kau tetap di sini, berpisahlah untuk sementara waktu.” Vian menggelengkan kepalanya.
“Aku tak bisa meninggalkan Aline,“ ucapnya dan menggenggam erat jemariku.
Aku tak mau ini terjadi, tak mau melihat Vian menentang papa. Kuusap punggung tangannya.
Papa sekali lagi menghela napasnya, ”Tolong, untuk saat ini kau tahu masmu akan menceraikan Sisca karena dia masih mencintai Aline, kan? Papa tak ingin ini menjadi perang saudara, jadi bisakah Papa mohon satu hal?” ucap Papa menatapku lalu menatap Vian.
“Apa, Pa?” tanya suamiku itu tak sabar.
“Papa ingin kalian berpisah untuk sementara waktu, sampai masmu itu tak lagi amnesia dan tak menceraikan Sisca.” Ucapan papa bagai petir menyambarku. Kurasakan Vian makin menggenggam erat jemariku.
“Pa, aku tak akan pernah sekalipun meninggalkan Aline.”
Aku hanya bisa menunduk. Tak mau mendengar apapun itu. Sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.
“Untuk sementara, Dek, sampai masmu sembuh, kalau Adek terus bersama Aline dan muncul di hadapan mereka, masmu akan makin nekat. Papa tak mau. Papa sayang dengan kalian, Papa juga sayang dengan Aline,“ ucapnya.
Tiba-tiba Vian menarikku untuk berdiri, membuatku terkejut. “Maaf, Pa, aku tak bisa,” ucapnya dan membawaku melangkah menuju pintu tapi tiba-tiba kudengar teriakan papa dan saat kami menoleh papa sudah jatuh tak sadarkan diri.
*****
Setelah mendapat pemeriksaan dari dokter akhirnya papa bisa kembali ke kamar perawatannya tapi kini dia
Kuusap punggung suamiku yang kini menelungkupkan tangannya di wajahnya. Aku tahu dia kalut.
“Bee, turuti papa kembalilah ke Glasgow,“ bisikku mencoba mengambil jalan tengah. Tapi dia menggeleng dan kini menatapku lekat.
“Aku tak bisa jauh darimu, lagipula kalau kau ikut aku takut tak bisa menjagamu di sana. Aku akan sibuk dan siapa yang akan merawatmu? Kau kan sedang hamil,” ucapnya lalu mengecupi jemari tanganku.
“Kalau begitu turuti papa, kelola rumah sakit ini dan kita ....” Kugigit bibirku karena tak kuasa mengucapkannya, “berpisah,” ucapku akhirnya membuat matanya membelalak terkejut.
“Jangan pernah ucapkan itu, Fey, jangan pernah aku tak akan melepaskanmu sampai kapan pun.”
Share this novel