Seutas perasaan, aku tuangkan dalam secarik kertas.
Goresan pena meliuk indah membelah rentetan kalimat pembuka sajak.
Bersamaan dengan kubawa imajinasi liarku, perihal penjabaran lekuk senyuman.
Entah zat apa yang terkandung didalamnya, sehingga aku dibuat candu untuk sekali lagi memandang.
Engkau yang mampu menghunjam lara,
Menjadikannya musnah tak terjamah indra peraba.
Demi sang surya, yang menolak berdamai dengan temaram
Bolehkah aku mengagumi engkau walau hanya dalam diam?
—Radinda Aprilia
Share this novel