BAB 55
VIAN POV
Kalau boleh aku ingin memeluk, dan mendekap istriku sekarang ini. Aku tahu saat seperti ini dia butuh sandaran bahu untuk menangis. Aku tahu dia sangat rapuh, aku tahu hatinya hancur, dan aku tahu dia tak kuat menerima semua ini.
Tapi apa yang kulihat saat ini, sungguh di luar perkiraanku. Semalam saat kuberi kabar kalau bunda telah tiada, dia memang langsung tak sadarkan diri. Dan saat siuman aku pikir dia akan menangis histeris, seperti Evan, tapi semua terhenyak akan sikapnya. Dengan tenang dia hanya mengatakan untuk menyiapkan pemakaman. Menghubungi semua saudaranya di Yogya ini dengan tenang, bahkan saat jenazah bunda sampai di rumah, dimandikan, disholatkan sampai dimakamkan siang ini, istriku tercinta sangat tegar. Tak ada tetes air mata sedikit pun dari matanya. Aku, Rasya, dan juga masku Ryan selalu berada di dekatnya takut kalau dia akan jatuh tak sadarkan diri kembali. Tapi sampai saat ini, detik ini, saat selesai acara tahlilan, istriku itu masih dengan sikap tenangnya. Menerima setiap tamu yang datang, bahkan Nadia juga ikut menemaninya karena takut istriku akan terpuruk. Christian, mantan bosnya yang juga sahabatnya itu juga terus menemani istriku.
Sikapnya yang sangat dewasa, dan dapat menjadi panutan memang patut diacungi jempol. Tapi aku tahu, aku mengerti istriku sendiri. Dia rapuh dan berusaha menyembunyikan semuanya. Dia tahu Evan sangat terpukul, bahkan sejak bunda menghembuskan napas terakhirnya semalam hanya mengurung diri di dalam kamar. Semuanya tak ada yang bisa membujuknya. Ketika istriku akhirnya yang datang membujuk baru dia mau makan dan ikut tahlilan.
“Yan, om Dewa pamit dulu, ya. Mau pulang malam ini juga. Tantemu dan si kecil kasihan di rumah sendiri.” Om Dewa muncul dari ruang tengah saat aku sibuk menggulung tikar dibantu oleh Rasya dan beberapa kerabat dari keluarga istriku.
Kupeluk om Dewa, ”Makasih ya, Om, sudah menyempatkan hadir, salam buat tante dan juga Nayla.” Om Dewa tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke arah Rasya yang masih sibuk menggulung tikar.
“Sya, kau kapan pulang ke Solo? Adikmu tuh ga di tengok,” celetuk om Dewa membuat Rasya seketika menepuk dahinya sendiri lalu berlari ke arah kamar. Sesaat kemudian dia sudah berlari dan kembali dengan membawa sebuah bungkusan berwarna pink itu.
“Nih Pa, buat adek, ya, Rasya cari muter-muter di Bandung eh dapatnya cuma itu.” Om Dewa menerima pemberian Rasya dan membuka bungkusan itu yang ternyata kaos berwarna pink yang bertuliskan Rasya love Nayla, duh manis banget anak itu.
“Wuah ini mah Nayla TK baru bisa dipakai, Sya,” ucap om Dewa membuat Rasya menjulurkan lidahnya.
“Ya udah, Papa pulang ya, mana Aline?” Om Dewa menatap ke penjuru arah dan menemukan istriku itu sedang duduk tak jauh dari tempatku dengan ditemani Nadia dan sepupu-sepupunya.
Dia segera melangkah mendekati istriku dan berpamitan dengan menepuk rambut istriku dengan lembut.
Mama dan papa masih berbincang-bincang dengan kerabat istriku, di ruang tamu. Evan langsung beranjak ke kamar lagi, aku tahu dia butuh waktu saat ini.
Saat kulihat istriku melangkah ke arah kamar, kuikuti dirinya, aku perlu bicara dengannya.
“Fey,” panggilku saat melihatnya sibuk merapikan selimut di atas ranjang. Wajahnya tampak lelah, tubuhnya masih terbalut gamis berwarna putih. Kulangkahkan kaki ke arah istriku itu, tapi dia menghindariku.
“Bee, mau susu cokelat? Aku buatkan, ya,” ucapnya dan akan melangkah ke arah pintu.
“Fey, sudah istirahat!” Kutarik tangannya, tapi dia tersenyum dengan manis.
“Aku belum lelah, lagipula masih banyak bude, bulek dan kerabat di sini tak enak,“ jawabnya yang langsung melangkah keluar ke arah dapur. Kuikuti langkahnya dan dia dengan cepat mengambil cangkir lalu menuangkan susu ke dalam cangkir.
“Nih diminum, ya!” Dia menyerahkan cangkir itu kepadaku, kuterima tapi kuletakkan di atas meja. Kutarik tangan istriku dan segera kudekap erat tubuhnya. Awalnya dia menolak, tapi aku mendekapnya semakin erat membuatnya akhirnya menyerah.
“Mbak Mawarku sayang, menangislah aku tahu kau ingin menangis,” bisikku lembut dan menciumi rambutnya yang wangi strawberry itu.
“Yan, aku tak apa-apa,” jawabnya sembari melepaskan pelukanku.
“Aku bawakan susu cokelat buat Evan dulu, ya” Dia melangkah menuju kamar Evan.
Kuhela napasku dan menatap punggungnya.
Sampai kapan, Fey, kau akan terus mengelak kalau kau yang sebenarnya hancur saat ini.
*****
Kudengar isak tangis, membangunkanku dari tidur. Rupanya aku sempat ketiduran, rasa lelah memang menderaku karena sejak dini hari tadi memang sibuk menyiapkan semuanya.
“Fey?” Aku terbangun dan mengerjapkan mataku, menatap istriku yang kini tengah menangis. Masih mengenakan mukenanya, dia pasti habis sholat malam.
Aku turun dari ranjang dan mendekatinya, ikut duduk di sampingnya dan segera kurengkuh tubuhnya yang rapuh itu.
Dia tak mengelak seperti tadi, bahkan dia memelukku erat dan menangis terisak. Hatiku sakit, mendengar isakannya, terasa begitu pilu dan menyayat hati.
“Aku belum bisa berbakti dengan bunda, aku masih menyusahkan bunda, aku belum bisa membahagiakan bunda, kenapa bunda sudah meninggalkanku,” isaknya lirih.
Kukecupi rambut dan keningnya dengan sayang.
“Fey, ikhlaskan bunda, ya,” Kutepuk-tepuk punggungnya yang terasa bergetar itu.
“Aline sayang sama bunda, kenapa Aline ditinggal sendiri, Aline tak sanggup,” racaunya lagi membuatku terhenyak. Ini puncak dari kesedihannya yang tadi disimpannya rapat-rapat di depan semuanya.
“Fey, hust bunda sudah bahagia di sana, Fey tak boleh begini, nanti jalan bunda jadi tak tenang di sana, doakan buat bunda, ya,“ bisikku mencoba menenangkannya.
Kurasakan, istriku mulai menangis terisak lagi, bahkan kini lebih keras.
“Kenapa tak aku saja, aku saja! Evan lebih butuh bunda, Yan, aku tak tega melihat Evan begitu. Dia butuh bunda!”
Aku terkesiap mendengar penuturannya itu.
“Eh Fey, jangan bicara seperti itu, ini semua sudah takdir, umur bunda hanya cukup sampai di sini, sekarang kita yang masih hidup harus melanjutkan hidup, Fey, kau harus tegar demi Evan, demi dekbay dan juga demi aku yang masih sangat membutuhkanmu.”
“Tapi kau janji jangan meninggalkanku, ya? Cukup ayah dan bunda, aku tak mau lagi ditinggal,” ucapnya putus asa.
Kurengkuh tubuhnya semakin erat.
“Pasti Fey, aku tetap akan di sini Fey sampai maut memisahkan.”
Share this novel