Seperti malam-malam sebelumnya, mimpi itu datang kembali.
"Angela, kamu yakin nggak mau ikut?" Pria besar itu tersenyum seraya mengelus kepalaku.
"No, Daddy. Aku di sini aja sama grandpa."
Daddy tersenyum, lalu berteriak, "Honey, ayo cepat. Kita akan ketinggalan pesawat."
Dari dalam kamar, seorang wanita cantik keluar. "Ya, Honey. Sedikit lagi." Lalu wanita itu menatapku. "Angie, beneran mau tinggal sama granpa saja?"
Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mom, Dad."
"Jangan nakal ya, tinggal sama grandpa." Daddy mengecup kepalaku sebelum mendorong kopernya keluar rumah.
"Grandpa akan sampai setengah jam lagi. Tunggu di rumah dan kunci pintunya ya, Honey." Mommy kemudian mencium pipiku.
Pagi itu, mommy dan daddy terlihat sangat sibuk. Di ingatan usia 11 tahunku, mereka berdua terlihat sangat bahagia. Seperti biasa, mommy akan memeluk pinggang daddy sementara pria besar itu mengecup keningnya. Mereka akan berada dalam posisi itu selama mungkin sebelum akhirnya berpisah dan pergi ke kantor masing-masing.
Mommy bekerja pada sebuah firma hukum sebagai seorang pengacara handal. Sedangkan daddy adalah seorang pengusaha sukses, meneruskan perusahaan kakek yang diwariskan kepadanya.
Pagi itu, mereka memelukku cukup lama sebelum menaiki mobil menuju bandara.
Aku menunggu kakek di ruang tamu dengan gelisah. Seingatku, sudah sejam lebih aku menunggu kakek tapi pria tua itu tak juga datang. Aku berinisiatif menelepon aunt Cecyl saat suara kakek terdengar bergetar di ambang pintu.
"Angie! Oh Tuhan!"
Kakek masuk, lalu jatuh terduduk di depanku.
"Ada apa, Grandpa?"
Kakek berdiri dengan gemetar, lalu memelukku dengan kuat. Aku masih tak mengerti, tapi kakek mulai menangis.
"Ada apa, Grandpa? Kenapa menangis? Aku sudah lelah menunggu dari tadi."
Tanpa berkata apa-apa, kakek membawaku pergi.
"Grandpa, kita akan kemana?"
"Maaf, Angie. Kita akan ke kantor polisi. Ayah dan ibumu kecelakaan."
"Apa?"
Seingatku, saat itu aku menangis sangat keras. Kakek berusaha menenangkanku dengan berbagai cara, meski dia juga terisak. Kami menangis bersama selama perjalanan. Saat itu, aku seolah merasakan kembali pelukan hangat mommy dan daddy sebelum mereka pergi.
Sejak saat itu, mimpi buruk selalu hadir dalam tidurku.
Dalam mimpiku, adegan sebelum mommy dan daddy pergi selalu hadir berulang-ulang. Seolah hanya saat itulah momen terbaik dalam hidup kami. Momen saat mereka berpelukan lama seolah jadi satu-satunya momen yang selalu kuingat hingga terbawa mimpi.
Namun beberapa bulan ini, mimpiku berubah menjadi lebih menakutkan. Aku melihat mommy dan daddy berubah menjadi monster besar dan mengejarku. Aku menjerit ketakutan, tapi mereka berdua tak berhenti. Aku berlari dengan tubuh gemetar, mengitari rumah kami di Ohio.
"Mommy! Daddy!"
Anehnya, di mimpi itu aku memanggil orang tuaku. Padahal jelas-jelas aku melihat mommy dan daddy berubah menjadi monster. Apakah monster itu sebenarnya bukan orang tuaku?
Mimpi itu, datang berulang-ulang. Malam ini, mimpi itu hadir kembali.
Aku terbangun saat kudengar Kenzi memanggil namaku dengan keras. Tubuhku berkeringat, detak jantungku tak beraturan. Mimpi itu seolah nyata. Seolah ada sesosok 'makhluk' yang memang mengejarku.
"Kak Andin, kenapa?" Kenzi menatapku khawatir.
"Gue nggak apa-apa. Sorry dah ganggu tidur lo." Aku mengusap wajahku, lalu meraih ponsel di atas nakas.
"Baru jam setengah tiga," gumamku.
"Kakak mau minum?" tanya bocah itu lagi.
Aku mengangguk. "Boleh kalo lo berani ngambil sendiri ke dapur."
Dia tersenyum lebar, lalu mengeluarkan air mineral botol dari balik bantalnya. "Nih, udah dedek simpen di sini. Jadi, nggak perlu ke dapur."
Aku tertawa pelan. "Makasih, ya."
Kenzi mengangguk. "Sama-sama. Kak Andin jangan marah-marah lagi, ya." Mata bulat Kenzi menatapku dalam.
"Kenapa?" tanyaku. "Gue kan nggak marahin lo sekarang."
"Iya. Makanya dedek bilang, kakak jangan marah-marah lagi." Dia diam sebentar lalu membuang muka. "Soalnya, kakak cantik kalo ketawa kayak tadi. Kalo marah-marah, kakak nakutin banget."
Uhuk!
Aku tersedak air yang sedang kuminum. Apa tadi katanya? Aku cantik?
Aku lupa berapa lama tepatnya aku mengenal Kenzi sebelum kami memutuskan 'menikah'. Di mataku, dia hanya bocah ingusan yang hanya kenal game dan main sepeda. Kami bahkan tak pernah sedekat ini, meski beberapa kali dia menginap di rumahku dalam rangka pendekatan. Dan sekarang dia bilang aku cantik sambil malu-malu begitu? Belajar dari mana nih anak?
"Cih! Dah pinter muji, ya lo?"
Kenzi menatapku lagi. "Nggak, kok. Kak Andin emang cantik. Apa lagi pas malam pesta itu. Dedek kayak ketemu artis." Dia kembali tersenyum seraya memamerkan gigi.
Aku tertawa. "Serius lo? Gue secantik artis?"
Dia mengangguk. "Iya, Kak."
Aku merapikan rambutku lalu berkata, "cantikan mana? Sekarang apa kemarin malam?"
"Ehm, cantik dua-duanya." Kenzi lagi-lagi melarikan pandangannya pada tumpukan pakaian kami di sudut kamar.
Aku lagi-lagi tertawa. Dasar bocah! Tau apa dia tentang kecantikan cewek remaja?
"Intinya, kalo kak Andin nggak marah-marah, kayak waktu dedek nginep di rumah kakek waktu itu, kak Andin jadi cantik banget." Mata bulatnya menatapku lagi.
"Terus kalo gue cantik, kenapa?"
"Dedek suka," jawabnya cepat.
Aku melongo. Dia bilang apa tadi? Suka?
"Lo tuh masih kecil, ken- eh pipis aja masih belum lurus udah pinter ngomong suka ke cewek. Belajar aja dulu yang bener biar pinter." Aku meletakkan botol di atas nakas dan mulai berbaring lagi.
"Iya." Kenzi ikut berbaring. Posisi kami berdekatan dan hanya dibatasi bantal guling.
"Ya udah. Sekarang tidur lo." Aku membelakanginya, mencoba kembali memejamkan mata.
"Kakak udah nggak apa-apa?"
"Gue nggak apa-apa. Makasih tadi udah bangunin gue."
"Mimpinya, menakutkan banget, ya, Kak?"
Aku menoleh, membiarkan tatapan kami kembali bertemu. Sorot mata bocah di depanku terlihat sangat khawatir. Begitu khawatirkah dia? Atau, apa saja yang dia dengar dari mimpiku?
"Lo dengar apa aja dari mulut gue tadi?"
"Kakak manggil mommy, daddy, terus monster-monster gitu."
Aku menghela napas. "Its ok, gue udah nggak apa-apa. Maaf udah bikin lo nggak nyaman. Kayaknya mulai saat ini, lo bakal dengerin teriakan gue tiap malam."
Kenzi diam, sepertinya tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Ya udah, sekarang lo tidur. Besok kita harus sekolah."
"Selamat malam, Kak Andin."
"Malam." Aku berusaha memejamkan mata. Meski rasanya agak sulit untuk terlelap lagi.
"Ken," panggilku.
"Ya, Kak?" Ternyata dia belum tidur.
"Makasih dah bangunin gue malam ini. Makasih juga dah bilang gue cantik."
To Be Continued
Yuhu selamat datang november sorry ceritanya sempat ngadat. semoga suka. Ciao
Share this novel