Bab 49

Romance Completed 25593

BAB 49

Takut, sedih, iba, itu yang kurasakan kini. Kulihat tubuhnya terbaring tak berdaya. Tadi saat melihatnya berdiri di ambang pintu aku benar-benar ketakutan. Apalagi saat dia melangkah menuju tempatku dan Vian berdiri.

Dan tepat saat itu dia dihajar habis-habisan oleh Rasya dan Evan, aku tahu mereka melindungiku. Tubuhku membeku melihatnya yang hanya pasrah menerima semua pukulan Rasya dan Evan. Dan akhirnya ketika ia tersungkur lemah tanpa perlawanan apapun aku tahu dia sudah menyerah.

Dokter baru saja memeriksa lukanya, dan sampai saat ini dia belum siuman. Kini tubuhnya terbaring di atas kasur di dalam kamar tamu rumah om Dewa ini.

“Fey, istirahat biar aku yang menjaganya,” ucapan Vian di telinga menyadarkanku.

Aku pun menoleh ke arah Vian yang sejak dari tadi aku menangis menyuruh Rasya dan Evan berhenti memukuli Ryan selalu mendekapku erat.

Kuanggukkan kepala dan menuruti Vian yang menghelaku melangkah keluar kamar.

“Mbak.” Evan menghadangku ketika kami sampai di ruang tengah.

Evan dan Rasya tampak duduk di sofa dan terdiam.

“Mbakmu biar istirahat, Van, kasihan.” Vian mencegah Evan untuk mengajakku bicara.

Evan mengangguk dan mundur.

“Fey, tidurlah.” Vian menghelaku ke atas kasur ketika

kami sudah berada di dalam kamar.

“Bee, dia ...,“ ucapanku terhenti saat Vian tiba-tiba meraih wajahku dan mengecup bibirku.

Kali ini ciumannya mendominasi, ada rasa tak terima, dan keposesifan dari ciuman yang kurasakan. Setelah melumat bibirku, dia menempelkan keningnya di keningku, ”Fey... aku tak mau kehilanganmu”, bisiknya parau.

Dan entah saat dia menghelaku berbaring ke atas kasur dan memelukku erat, aku merasakan kenyamanan, membuat rasa kantukku akhirnya datang dan segera membawaku ke alam mimpi.

*****

Tidurku serasa sangat panjang malam ini, dan ketika terbangun Vian sudah memakai peci dan sarungnya dan sedang menunaikan sholat. Kulirik jam di atas nakas, hari sudah menunjukkan waktu subuh. Aku pun bangun dan beranjak mengambil air wudhu.

Ketika keluar dari kamar mandi, kulihat seperti biasa mukena sudah rapi tersedia untuk kupakai. Vian sudah menghilang dari kamar.

*****

Sehabis sholat dan berdzikir, perutku terasa lapar. Dekbaynya memang kalau pagi hari harus segera diberi asupan makanan. Kubereskan mukena dan beranjak keluar dari kamar menuju dapur. Rasya dan Evan masih belum keluar dari kamar mereka. Vian entah ke mana, biasanya dia berlari pagi mengitari taman kalau pagi begini. Kuambil cangkir dan kutuangkan air hangat ke dalamnya. Kuambil susu ibu hamil yang tersedia banyak di lemari penyimpanan. Kata Vian, untuk stock biar tak kehabisan.

Dan ketika aku menoleh ingin duduk di sofa, dengan susu hangat berada di tangan, aku dibuat terkejut dengan kehadiran Ryan yang sudah berdiri di depanku. Wajahnya penuh luka dan masih lebam, rambutnya acak-acakan tapi sudah terlihat segar. Reflek aku mundur, tapi dia menggeleng.

“Please, Line, jangan takut, aku tak akan melukaimu,” ucapnya lirih, kutatap matanya yang kini tampak menatapku sedih.

“Ma-mau teh?” ucapku gugup ke arahnya.

Dia menggelengkan kepalanya.

“Aku hanya akan pamit, dan kali ini aku benar-benar mau minta maaf telah membuatmu ketakutan maaf,” ucapnya parau dan tiba-tiba dia berlutut di depanku membuatku melangkah mundur. Bingung dengan sikapnya.

“Pukul aku, Line, pukul,” ucapnya membuatku menatapnya tak tega.

Dia tampak begitu kacau, bukan lagi Ryan yang kutemui selama ini. Tiba-tiba dia menarik tanganku dan memukulkan tangannya sendiri ke arah wajahnya membuatku terkejut.

“Mbak Aline!” Tiba-tiba Evan sudah berada di depanku dan menarik paksa tanganku yang masih digenggam Ryan.

“Jangan macam-macam ya, Mas!!!” ucap Evan mencoba melindungiku.

Ryan beranjak dari lantai.

“Maaf, aku sudah membuat kalian ketakutan denganku,“ ucapnya lalu segera berlalu dari hadapanku dan Evan.

“Mbak, ga diapa-apain kan?” Kini Evan menatapku khawatir.

“Sayang.“ Suara Vian membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya yang baru saja datang dari luar.

“Ada apa?” tanyanya dan langsung mendekat dan menarikku ke dalam pelukannya.

“Tak apa-apa,“ jawabku dan menunjuk gelas yang berisi susu hangat.

Evan membisikan sesuatu ke arah Vian membuat Vian kali ini menatapku khawatir.

“Dia melukaimu?” selidik Vian kemudian.

Tapi aku menggelengkan kepala.

“Dia memintaku memukulnya hanya itu,” jawabku.

Vian memijat pelipisnya, aku tahu Vian juga bingung menghadapi situasi ini.

“Dek ...” suara Ryan kembali mengagetkanku dan Vian.

Ryan sudah berdiri di sana dan tampak lebih rapi.

“Mas pulang, dan tak akan mengganggu kalian lagi, maaf Mas selama ini sudah bersikap egois. Kalau kalian belum mau memaafkan Mas, tak apa, tapi pulanglah, atau kalau sudah nyaman di sini, hubungi mama dan papa mereka mengkhawatirkanmu, Dek,” ucap Ryan membuat Vian melepaskan pelukannya dariku dan melangkah ke arah Ryan lalu tiba-tiba memeluk erat masnya itu.

Ryan tampak terkejut menerima pelukan Vian. Tapi sedetik kemudian dia mendekap erat Vian.

“Maafin Mas, ya, maaf,” ucapnya sambil menangis, tangisan yang langsung menular kepadaku.

Melihat dua kakak beradik yang tadinya sangat akrab, aku tahu mereka selama ini saling menjaga, saling menyayangi, dan semuanya tampak begitu damai saat melihatnya kembali berbaikan. Bukankah semuanya akan indah jika semuanya kembali seperti semula?

Evan menyentuh bahu dan menempelkan kepalanya di bahuku.

“Mbak, aku bisa merasakan kepedihan mereka. Seperti aku dan mbak Aline yang tak mungkin bisa dipisahkan karena bagaimanapun kita ini saudara yang saling membutuhkan, seperti itu juga antara Vian dan mas Ryan,” bisiknya membuatku mengangguk.

“Eh, ada apa ini kenapa saling berpelukan?” Ucapan Rasya membuatku menoleh ke arahnya yang baru saja keluar dari kamar.

Ryan dan vian sudah melepaskan pelukan mereka, tapi tangan Ryan masih merangkul bahu Vian.

“Heh, berondong cilik kau ini merusak acara kami aja, udah hust hust sono.” Evan mengibaskan tangannya mengusir Rasya.

Tapi dia segera berlari ke arahku.

“Mamiiii mau juga dipeluk?” ucapnya dan akan menyandarkan kepalanya di bahuku seperti Evan tapi tibatiba Vian sudah berlari dan mendorong Rasya.

“Sana, Sya!!! Ada tante Anita yang butuh belaianmu,” ucap Vian membuat kami tergelak tapi Rasya langsung melindungi tubuhnya dengan tangannya.

“Hueeeeee, tak mau, kak Vian kejam tega mengumpankanku ku ke tante-tante,” ucapnya dan langsung berlari ke arah kamar. Dan tawa kami pecah melihat kelakuan anak kecil itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience