Menjelang sore, ayah, bunda dan kakek berpamitan pulang. Kami sudah membicarakan banyak hal menyangkut pernikahan dan apa saja yang harus kulakukan di rumah ini.
"Andin, ingat pesan kakek, ya. Kalian berdua yang akur, jangan suka berantem," ujar kakek seraya memasang safety belt di mobilnya.
"Iya, Kek." Aku menutup pintu mobil kakek setelah sebelumnya mencium kening pria tua itu. "Hati-hati di jalan, ya."
"Hati-hati di jalan, Kek," seru Kenzi.
Kakek tersenyum. "Pak Bagas, bu Alya, saya duluan, ya."
Pasangan suami istri itu mengangguk, lalu kakek membawa mobilnya keluar halaman. Aku menatap mobil kakek menjauh hingga tak lagi terlihat.
"Andin, baik-baik, ya sama Kenzi." Bunda mengelus puncak kepalaku.
"Iya, Bun."
Mata bunda beralih menatap Kenzi. "Dedek juga jangan suka nangis, ya. Makannya jangan pilih-pilih. Apa yang dimasakin kak Andin dimakan ya, Nak. Sekolahnya yang rajin, jangan main gadget terus." Kenzi mengangguk. Kemudian, mereka melangkah menuju mobil.
"Hati-hati, ya Ayah, Bunda," teriak bocah itu sambil melambaikan tangan.
Bunda tersenyum lalu ikut melambai. Setelah mobil mereka keluar dari halaman, aku mengajak Kenzi masuk ke dalam.
"Yok, masuk. Jangan lupa kunci pintunya."
Aku kembali menghempaskan badanku di kursi makan. Memandang betapa berantakannya meja sehabis kami makan siang. Tadinya, bunda sudah ingin membersihkannya saat kakek tiba-tiba menghentikan bunda dan menyuruhku yang membereskan semuanya.
Apa-apaan ini? Setelah jadi babysitter-nya Kenzi, apa sekarang aku jadi pembokat juga?
"Kak, kalo kakak capek biar dedek aja yang bersihin semuanya." Kenzi sudah berdiri di depanku.
"Nggak usah. Biar gue aja." Aku berdiri, mengangkut tumpukan piring kotor dan meletakkannya di wastafel.
Sembari membereskan meja, ingatanku melayang pada perkataan kakek beberapa jam lalu.
"Kakek sudah meminta seorang supir untuk mengantar jemput kalian ke sekolah."
"Aku bisa bawa mobil sendiri, Kek."
"Nggak. Kamu nggak boleh bawa mobil sendiri. Kamu belum punya SIM."
"Dalam hitungan bulan, aku akan dapat SIM, kok," kataku sewot.
Kakek bersikeras. "Pokoknya nggak boleh. Ke mana pun kalian pergi, ada mang Adi yang akan ngantarin kalian."
Aku merengut. Kalau begini, aku tidak bisa bebas pergi ke mana pun seperti dulu.
"Ingat, ya Andin. Kamu sekarang sudah punya tanggung jawab." Kakek melirik Kenzi yang sedang makan dengan lahap. "Jangan berbuat semaunya tanpa memikirkan orang lain."
"Oke." Lagi-lagi aku menyerah. "Terus, apa aku bisa punya asisten rumah tangga juga?"
Kakek menghela napas. "Nggak."
"Kenapa?" Tanpa sadar, aku meninggikan suara hingga Kenzi dan orang tuanya mengangkat wajah ke arahku.
"Kamu di sini untuk belajar mandiri. Buat apa asisten rumah tangga?"
Cih. Aku mendengkus sebal. "Ini nggak adil."
"Lagi pula, kamu kan pintar memasak, tak perlulah mempekerjakan asisten rumah tangga."
"Terus masalah pekerjaan rumah, bagaimana?"
"Ya, kamu bisa kerjakan sendiri, dong."
"What? Kek, rumah ini besar, terlalu besar malah. Aku tidak akan sanggup membersihkannya sendirian," sanggahku cepat.
"Kan kalian hanya tinggal berdua. Rumah ini tidak akan terlalu kotor. Cukup divakum tiga hari sekali. Beres." Kakek menyeruput kopinya hingga tandas.
Aku menatap kakek tak percaya.
"Oke. Anggap saja aku dan Kenzi hanya akan menghabiskan waktu di tiga tempat. Kamar tidur, ruang makan, dan kamar mandi." Aku menarik napas sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi tetap saja, aku tidak punya waktu membersihkan kolam yang segitu besarnya, taman samping yang penuh dedaunan gugur setiap harinya, belum lagi pakaian kotor kami berdua. Aku juga harus belajar kan, Kek. Belum lagi menemani Kenzi belajar."
Kakek tampaknya setuju dengan ucapanku, tapi tetap saja pada akhirnya dia tak mengizinkan aku memiliki asisten rumah tangga.
"Kita coba sebulan dulu. Jika kamu mampu melakukannya sendirian, mengapa tidak? Kamu satu-satunya harapan kakek. Suatu hari nanti, kamu akan mewarisi seluruh aset milik kakek. Jadi, belajarlah bekerja keras dari sekarang."
What? Apa barusan orang tua ini bilang? Coba sebulan dulu?
"Kek ...."
"Pokoknya kita lihat sebulan dulu. Lagi pula, urusan taman dan kolam renang biar mang Adi yang mengerjakannya. Dia kan hanya mengantar kalian ke sekolah saja. Setelah itu, dia tak punya kesibukan apapun." Kakek memutuskan perdebatan secara sepihak.
"Oke. Terserah kakek saja." Aku akhirnya mengalah. Percuma berdebat dengan kakek.
Kudorong piring makanku menjauh. Nafsu makanku sudah hilang, meski isi piringku masih tersisa banyak.
"Kamu sudah kenyang, Nak?" Bunda yang sedari tadi menyaksikan perdebatan kami akhirnya bersuara. Sementara ayah, beliau sudah pergi keluar untuk merokok.
"Sudah kok, Bu, eh Bun."
"Makanannya harus dihabiskan, Kak. Nggak boleh dibuang." Kenzi memandangku lugu. Mulutnya belepotan oleh bumbu rendang.
"Dengar, tuh. Kenzi aja tahu kalo kita nggak boleh buang makanan. Habiskan isi piring kamu." Kakek menyenggol bahuku kemudian tersenyum mengejek. Wah ngajak debat lagi, nih kayaknya.
Aku melotot menatap Kenzi. Yang ditatap malah sibuk menambahkan nasi ke dalam piringnya. Dasar bocah gembul!
Dengan malas, aku mulai menghabiskan sedikit demi sedikit makanan di piringku. Kulihat, bunda berkali-kali mencuri pandang ke arahku. Mungkin ingin memastikan jika aku tak akan membantah lagi. Meskipun pada akhirnya, aku masih menyisakan sepertiga isi piringku.
"Done. Gue udah nggak sanggup lagi buat makan." Aku menyerah.
"Gue lagi, gue lagi. Kalo ada orang tua jangan ngomong pake bahasa gaul. Nggak sopan." Kakek mendelik ke arahku.
"Iya, iya. Salah terus perasaan." Aku mulai merasa bete.
"Kak, nanti opor ayam sama rendangnya tolong dimasukkan ke kulkas, ya. Biar besok kalian bisa makan lagi."
Kupikir, yang bicara barusan adalah Kenzi, karena dia memanggilku dengan sebutan 'kak'. Tapi mengapa suaranya lembut sekali?
"Bunda manggil aku 'kak'?"
"Iya." Bunda tersenyum. "Agar kamu terbiasa bicara lebih sopan dengan orang lain."
Fiks. Aku merasa tersindir secara langsung.
"Bunda juga kalo ngomong sama dedek, pake kata dedek, kok. Iya kan, Bun?" tanya Kenzi sambil menggigit ayam gorengnya.
"Nggak usah komen, deh. Makan aja yang banyak, biar cepet gede," kataku akhirnya dengan nada jengkel.
Kenzi memilih diam, diam-diam menghabiskan isi piringnya. Di sampingku, kakek tertawa dengan keras. Memang ada yang lucu, ya?
"Ternyata kamu bisa ngelucu juga," kata bunda setelah meneguk habis isi gelasnya.
Hellooooo. Tentu saja. Aku memutar bola mataku, kesal.
"Oh ya, Kak. Ada beberapa hal yang ingin bunda kasih tahu tentang Kenzi." Bunda memperbaiki kacamatanya lalu menatapku dengan serius.
"Hmmm, o-oke."
"Pertama, Kenzi memiliki alergi terhadap kacang-kacangan. Makan sedikit saja, dia akan gatal-gatal, bahkan napasnya bisa sesak."
Sepertinya, bunda memang berniat menjadikan aku babysitter bayi besar yang kini tengah kekenyangan di tempat duduknya.
"Jadi, sebisa mungkin jangan ada kandungan kacang dalam makanannya. Biar aman, kamu nggak perlu masak makanan berat. Biar bunda aja yang nganter ke sini."
Aku mengangguk setuju. Dengan begini, setidaknya aku tak perlu sering memasak.
"Kedua, Kenzi sering masuk angin. Jadi pastikan dia tidur dengan pakaian tebal. Tak perlu hidupkan AC-nya. Apa lagi sekarang sedang musim hujan."
Aku lagi-lagi mengangguk.
"Yang ketiga, ini yang paling penting. Kamu tahu, kan dedek cengeng dan penakut? Jadi, jangan pernah menakut-nakuti dia dan memarahi dia dengan kasar. Dia akan menangis dan kamu pasti kewalahan membujuknya."
Buset! Banyak amat peraturannya. Fiks. Sekarang aku jadi babysitter si big baby ini.
"Gimana? Kamu mengerti, kan? Bunda mengatakan ini demi kelancaran hidup bersama kalian di sini."
Aku mengangguk lemah. "Ya, Bun. Aku paham."
Entah mengapa, aku merasa ini seperti wejangan mertua kepada menantunya. Atau, aku benar-benar jadi babysitter-nya Kenzi plus pembokat di rumah besar ini?
Entahlah. Nanti biar kutanya jawabannya pada rumput yang bergoyang saja.
To Be Continued
Yuhu yang ini cukup panjang ya ternyata. selamat menikmati jangan lupa like dan komennya ya Ciao
Share this novel