Bab 5

Romance Completed 25593

BAB 5

“Ya bunda,“ jawabku.

Bunda lalu tersenyum ke arah nadia yang masih meminta penjelasanku ini.

‘”Nadia bantu Bunda, yuk, di dapur.”

Nadia berdiri tegap dan berlagak memberi hormat.

“Siap, Bunda Komandan,” ucapnya.

Membuat Bunda tergelak.

“Sudah, sudah, yang Ibu Komandan kan kamu, yuk ah,” ajak Bunda sambil menarik tangan Nadia.

“Line, cerita padaku nanti!“ ancamnya sebelum pergi dari kamarku.

Aku hanya tersenyum kecut. Apa yang harus kuceritakan Nad, aku juga tak tahu apa yang terjadi, batinku.

“Cieeeeee nyonya Vian, cieeee.” Suara Evan langsung membuatku mendongak ke arah pintu.

Dan benar saja, adik tengilku itu langsung memasang wajah jahilnya. Rambutnya sekarang telah berubah warna menjadi merah.

“Aishhh itu rambut apa rainbow cake sih, Van?” celetukku membuatnya celingukan .

“Mbak Aline!“ sungutnya saat menyadari rambutnya kuejek.

“Sudahlah, tuh sudah ditunggu suami tercintacepetan.” Evan menarikku dari dudukku.

Dengan susah payah akhirnya aku melangkah juga menuju ruang tamu tempat diadakan akad kilat itu.

Deg deg deg!

“Mbak, tarik napas, tahan dan hembuskan,” cerocos

Evan yang sekarang sukses menggandengku. Lagaknya sudah seperti almarhum ayah saat dulu sering menggandengku saat aku sedang bermain jadi pengantin dengan ayah dulu saat umurku baru menginjak 17 tahun.

‘Tarik, tahan, hembuskan.”

“Tarik, tahan, hembuskan.”

Evan masih terus berbisik kepadaku, kepalaku benar-benar menunduk tak berani mengedarkan pandangan.

Malu, satu kata itu yang melingkupi diriku saat ini.

“Tarik, tahan ... eh tapi jangan kentut loh, Mbak.” Suara Evan membuatku mengangkat wajah dan ingin menabok wajahnya karena merusak suasana yang telah kubangun.

“Evaaannnn,” pekikku.

Tapi tiba-tiba, tubuhku membeku. Jantungku berdetak makin tak keruan. Bahkan kurasa, wajahku sekarang bagai kepiting rebus. Tepat di depanku, berdiri dengan gagahnya, laki-laki yang baru saja membuat duniaku jungkir balik 180 derajat. Dia berdiri dengan tegapnya, memakai basofi warna putih, serasi dengan kebaya yang kukenakan. Kulihat Evan sudah terkikik geli di belakangnya. Adikku satu itu memang dasar.

“Welcome to my life, honey.” Senyum merekah di wajahnya.

“Kalian kan sudah resmi, ayo dong pelukan,” celetuk Nadia yang sukses membuatku menoleh ke arahnya.

Dia hanya menjulurkan lidahya ke arahku, sambil memegang nampan minuman. Awas ya kau, Nad, aku pepes nanti, batinku.

Tiba-tiba kurasakan keningku basah dan lembab. Demi celana dalamnya Patrick Star, dan kebodohannya, Vian mencium keningku.

“Kau cantik,“ bisiknya tepat di telingaku.

Aku benar-benar kembali membeku. Syaraf otakku benar-benar tak berkesinambungan saat ini. Bahkan saat Vian menarikku melangkah menuju kedua orang tuanya.

Aku masih merasakan kebas. Entah itu otak ataupun anggota tubuhku. Semuanya bagaikan mimpi buatku.

Semuanya berjalan begitu cepat, setelah acara sungkeman, dan juga ramah tamah kedua pihak keluarga, di sinilah aku dan Vian terdampar. Semua tamu sudah pamit pulang. Evan sedang membantu bunda di dapur dibantu beberapa saudara dan juga tetangga. Entahlah, sepertinya mereka semua telah mempersiapkan semuanya jauh-jauh hari, tanpa sepengetahuanku. Jangan membayangkan akan seperti novel-novel yang kubaca atau drama korea yang sangat-sangat drama queen itu. Sekarang posisiku sudah memakai piyama gambar cupcake kesukaanku. Setelah tadi selesai acara aku memang langsung melepas semua kebayaku. Gerah, alasanku saat bunda menatapku heran karena telah memakai piyama.

Kulirik Vian juga telah berganti memakai kaos polo putih dengan celana selutut warna hitam. Duduk di sofa depan ranjangku dan menatap laptopnya dengan serius. Tak ada acara foto-foto hanya tadi dua kali Evan memfotoku dan Vian, katanya buat dokumentasi. Semuanya memang tak seperti yang perempuan umumnya impikan. Akad nikahku ini memang benar-benar luar biasa, anehnya.

Kuletakkan susu cokelat hangat di atas meja di depan Vian. Bukan aku yang membuat, tapi ini titipan bunda tadi. Daripada terus diceramahi akhirnya aku membawanya kemari. Heran sama dua calon dokter ini, Evan dan Vian sama-sama tergila-gila dengan susu cokelat hangat.

“Sayang, sini dong,” celetuk Vian saat aku sudah

melangkah menuju kasur.

“Sayang, sayang ....” Aku menoleh galak ke arahnya.

Vian terdiam. Tapi kemudian meletakkan laptopnya di atas meja. Lalu melangkah mendekat ke arahku dengan membawa cangkir susu tadi.

“Ya sudah, wiFey saja, ya?“ ucapnya kalem.

Jantungku berdegup kencang lagi. Saat menghirup aroma tubuhnya yang khas itu.

“Terserah,” ucapku masih ketus dan segera membaringkan diriku di atas kasur empuk, kurasakan sisi sebelahku bergerak.

“Maafkan aku, ya, yang telah memaksakan ini.“

Aku jadi merasa dosa, telah membentaknya dan dingin kepadanya. Kubalikkan tubuhku, dan kutatap wajahnya yang kini tepat berada di depanku.

“Tak usah dibahas, Yan, bagaimanapun juga kau

imamku sekarang.” Aku pasrah, toh aku bisa apa?

“Makasih ya, sudah mengabulkan impianku, aku senang ... Cinta mau mengabulkannya ... padahal tadi aku sempat takut kalau Cinta menolakku,” ucapnya serius.

Kutabok lengannya membuat dia mengaduh.

‘Cinta, Cinta, kau ini ganti namaku tanpa izin.”

Vian hanya menyeringai menanggapi amarahku.Ia memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi itu. Manis, senyumnya.

“Lah terus apa? Kalau mbak, aku bukan Evan, adikmu? Tadi sayang tak boleh WiFey pun kau cemberut, kan romantis panggil Cinta saja, ya,” ucapnya. “Terserah deh,“ jawabku akhirnya. “Dari tadi jawabnya terserah terus.“ ‘Terserah,” jawabku lagi.

‘Ehm, ok jadi kalau malam ini aku ajak bercinta?”

“Terse-aiiihhhhh Viaaaaannnnnnn!!!” teriakku membuatnya tergelak.

“Ehm, tapi aku serius Cinta benar tak mau ikut aku ke Skotlandia?” tanyanya tiba-tiba membuatku menatapnya. Aku menggeleng.

“Kamu boleh menikahiku, Yan, tapi kesepakatan kita, dari awal kan aku tak mau ikut kamu, biarlah aku di sini menjaga Bunda.”

Vian menghela napas demi mendengar jawabanku.

“Tapi aku kan lama di sana selama 2 tahun, beasiswa spesialis dokter gigi di Glasgow yang sudah kudapatkan memang mengharuskanku menetap di sana selama dua tahun, makanya aku berjanji akan melangsungkan pernikahan kita secara besar-besaran setelah aku pulang dari Glasgow, tapi kalau Cinta tak ikut sama saja, percuma aku tadi menikahimu,” ucapnya dengan raut muram.

Aku kembali menghela napas.

Masih berat meninggalkan indonesia untuk dua tahun dan menetap di sana dengan suami berondongku ini yang belum aku cintai.

******

Kurasakan tepukan ringan membuatku terbangun. Kukerjap-kerjapkan mataku, masih terasa berat dan mengantuk. Tapi reflek tubuhku langsung terlonjak, jantungku berdegup kencang.

“Kau? Kau?” Ulangku menatap sosok yang kini tengah membungkuk di depanku.

Kukerjapkan mataku lagi, pening yang terasa kini karena tidur hanya beberapa jam saja. Masih teringat semalam aku baru memejamkan mata jam 2 dini hari, karena dia sosok yang sekarang membungkuk di depanku ini. Yang entah sekarang tampak sangat manis, dengan baju kokonya, peci di atas kepalanya, dan sarung yang sudah membalut tubuhnya itu.

Vian tersenyum geli melihat ekspresiku.

“Usap dulu air liurnya, Sayang,“ ucapnya yang sontak membuatku dengan cepat mengusap mulutku dengan kerah piyamaku, dan itu sontak membuat tawanya berderai.

Kutatap Vian dengan tajam.

“Tak lucu,“ dengusku kesal.

“Aih Sayang, kalau bangun tidur tambah imut ya, jadi makin cintaaaaaa deh,” celetuknya yang membuat pipiku terasa memanas.

Vian melangkah keluar dari kamar. Kupijat pelipisku, rasa kantuk sudah menguap tapi tergantikan oleh pusing yang mendera kepalaku kini. Bukan tanpa alasan semalam aku memang tak bisa tidur, padahal Vian pamit untuk ke kamar Evan katanya mengurus semua keperluannya dan beberapa hal menyangkut keberangkatannya hari ini ke Skotlandia. Entah jam berapa dia tidur, karena sampai jam 2 dini hari tadi dia juga belum menampakkan dirinya ke kamar.

Vian sudah masuk kembali dengan wajah dan rambut basah, seperti habis berwudhu.

”Sayang, sholat subuh berjamaah, ya?” ucapnya, membuatku menatap jam dinding di kamar, dan memang sudah tiba waktu subuh.

Dengan patuh aku beranjak dari kasur dan beranjak mengambil air wudhu. Sekembalinya ke kamar, aku melihat Vian sudah menyiapkan mukenaku. Lantunan adzan keluar dari bibirnya, sejuk rasanya mendengar suaranya yang begitu merdu di telingaku.

”Siap, Sayang?” tengoknya ke arahku, aku hanya mengangguk. Vian mulai berbalik dan memulai ibadah kami.

Damai rasanya, saat kucium telapak tangannya, sudah lama sekali aku tak mencium telapak tangan seseorang setelah sholat. Dulu ayah sering menjadi imam sholat dan berakhir dengan mencium tangannya.

Vian mengusap puncak kepalaku yang masih terbalut mukena. Kuberanikan diri menatap wajahnya yang terlihat sangat bersih di tengah cahaya temaram lampu kamar. Entah kenapa aku jadi merasa canggung saat ini, jantungku terasa berdegup kencang. Vian tersenyum, dan menghela napasnya.

“Masih mengantuk, Say?“ tanyanya saat melihatku masih terdiam saja sedari tadi. Aku hanya menggeleng, tapi kemudian merasakan pusing yang mendera di kepalaku.

Reflek kupijat pelipisku.

“Sayang kenapa?’ tanya Vian khawatir.

Aku menggelengkan kepalaku. ”Tak apa, hanya pusing kurang tidur,” ucapku sembari membuka mukenaku dan melipatnya. Vian juga sudah memberesi sajadah dan sarungnya.

“Sini!” Tiba-tiba Vian sudah terduduk di atas ranjang dan menepuk sisi sebelahnya. Aku menatapnya kebingungan, apa yang harus kulakukan, menurutinya atau ahh ...., kenapa jantungku serasa berdetak lebih kencang, bahkan semalam saat Vian duduk di sebelahku di atas kasur pun aku masih biasa-biasa saja, tapi kenapa pagi ini terasa berbeda.

“Sayang, sini.“ Vian menarik tanganku, dan tubuhku benar-benar menegang merasakan kontak fisik ini.

Vian mendudukkanku di sisinya, lalu tiba-tiba memijat bahuku.

“Yan?” Pekiku tertahan.

“Rileks sayang, lihat ototmu kaku begini, aku coba memijatnya ya, biar lebih lemas,” ucapnya.

Perlakuannya membuatku semakin tegang, bukan karena pusing yang menderaku, tapi karena sentuhan tangannya di tubuhku. Baru pertama kalinya ini aku disentuh seorang pria, meski Evan juga sering aku suruh untuk memijatku, tapi ini kan beda, dia ini pria asing yang jauh usianya denganku, dan kini tengah berstatus menjadi suamiku.

Kutepis tangannya yang masih memijat bahuku. ”Sudah Yan, aku tak apa-apa,” ucapku mencoba bersikap biasa lagi.

Kudengar helaan napasnya di belakangku. Dengan satu hentakan dia sudah berhasil memutar tubuhku menghadap ke arahnya. Wajahnya terlihat kecewa.

“Mbak Rosaline Prameswari ... istriku, tak bisakah kau menatapku, memberiku sedikit perhatian, hanya saat ini saja, Mbak, setelah itu aku kan pergi dari sisi mbak Mawar, selama 2 tahun, tak bisakah tatap aku kali ini saja sebagai suamimu?” ucapnya dengan wajah terluka. Kuhela napasku. Rasa pusing itu kembali mendera.

“Kau pergi jam berapa? Bisakah aku tidur sejenak, aku pusing, Yan,” ucapku.

Aku tahu, aku kejam terhadapnya, tapi untuk saat ini aku memang perlu tidur. Vian mengangguk lembut.

“Jam 10 pagi ini, tidurlah ...,” ucap Vian lalu merapikan bantal dan menyuruhku untuk berbaring. Aku hanya menurut saja, meski aku tahu Vian kecewa dengan sikapku, tapi memang bukan salahku kan kalau aku masih belum bisa menerima keadaan ini, bukankah dia yang memaksaku? Kurasakan pijatan di kepalaku saat aku mulai memejamkan mataku. Biarlah, karena aku juga menikmatinya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience