11. Exorcism

Horror & Thriller Completed 8081

Dia mengajarkanku bahwasanya menjadi seorang ayah itu tidaklah mudah. Dimana peran ayah untuk anaknya harus lebih besar, bahkan jikalau sesuatu padanya aku harus mengorbankan segalanya termasuk nyawaku untuk membiarkannya agar tetap hidup di dunia ini. Begitu sebaliknya, jikalau aku gagal untuk menjaganya itu akan menjadi sebuah kesalahan terbesarku. Aku akan menyesalinya seumur hidupku, dan aku sudah pernah mengalami kegagalan itu. Untuk kali ini, aku akan mencoba lagi menjadi seorang ayah.

"Apa yang sedang kau gambar?" tanyaku."Aku sedang menggambar apa yang aku alami".

"Seperti apa?".

"Kau pasti sudah tau yah" jelasnya.

Aku melihat gambar yang sedang dibuatnya, dimana aku bisa melihat disitu ada sebuah jendela yang diluar nya terlihat ranting-ranting pohon yang bersandar di jendela itu. Dan ada seorang anak kecil sedang berdiri di depan bagian dalam jendela tersebut, dan ada seorang anak lelaki lainnya sedang berdiri tepat didepannya. Dapat kulihat juga, ada banyak bercak-bercak tangan di jendela itu.

"Hey Brayden lihat ayah sebentar" pintaku."Ada apa yah?". Aku langsung mengambil kertas gambarannya itu.

"Kau tidak harus menggambar seperti ini. Ini semua hanya akan semakin mengundangnya" jelasku.

Saat aku memegang gambaran itu, aku bisa merasakan tumpukan kertas lainnya. Aku mencoba melihatnya, dan aku menemukan semua gambarannya. Yang aku bingungkan dimana disetiap gambarannya itu, ada seorang anak laki-laki yang terlihat seumuran dengan Brayden sedang bersamanya.

"Boleh ayah bertanya sesuatu tentang gambaranmu" tanyaku lagi."Tentu saja yah" jawabnya.

"Siapa anak lelaki ini yang selalu ada di setiap gambaranmu?".

"Dia temanku yah".

"Kau tidak pernah menceritakan tentang itu pada ayah. Apakah anak itu nyata?" jelasku."Apakah aku harus memberitahumu yah?".

"Ayah hanya takut kau bermain dengan mereka yang berada di rumah ini" tuturku."Anak lelaki itu justru baik yah, dia selalu ingin bermain denganku" jelasnya.

"Ayah beritahu, kalau dia itu tidak nyata jangan pernah melakukan hubungan dengannya" tegasku."Tapi yah, dia itu" bantah Brayden.

"Cukup Brayden!. Ayah hanya tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa mu" ucapku sambil melangkah keluar.

"Anak lelaki itu adalah anakmu Luis" jelasnya.

"Apa?" tanyaku.

" Iya itu anakmu yah, dia masih berada di rumah ini" tutur Brayden.

Aku begitu terkejut saat Brayden melontarkan perkataan itu, aku seakan tidak percaya. Sudah bertahun-tahun lamanya semenjak kematian Luis, aku tidak bisa merasakan kehadirannya di rumah ini. Aku selalu ingin mendengar dan melihatnya lagi walaupun hanya untuk sekilas saja, tapi aku tidak pernah mendapatkan momen itu. Aku ingin sekali mengatakan padanya bahwa aku sangat menyesal tidak bisa menyelamatkannya saat kecelakaan itu.

"Apa dia benar-benar Luis seperti yang ada di foto ini?" tanyaku sambil mengambil foto diatas meja."Iya yah, dan dia sering bercerita tentang mu" jelas Brayden.

Aku tersenyum diselingi tawa kecil. Aku begitu bahagia ketika mendengar ucapan Brayden itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku menarik tangan Brayden dan menyuruhnya untuk duduk bersamaku diatas ranjangnya. Aku ingin mengetahui lebih banyak bagaimana kelihatannya Luis sekarang.

"Sentuh hidungmu jika kau tidak sedang berbohong pada ayah" suruhku.

Brayden menyentuh hidungnya."Aku tidak sedang berbohong yah, aku dan Luis begitu akrab sekarang. Dia selalu berusaha untuk menjagaku dari iblis menyeramkan itu" jelasnya.

Aku tersenyum lebar."Jika benar itu dia, bisakah kau bilang padanya kalau aku sangat mencintainya" pintaku."Aku akan coba bilang padanya yah".

Aku merasakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, aku merasa bahagia mendengar perkataan Brayden tadi, yang menggambarkan bahwa Luis juga turut hadir di rumah ini. Meskipun aku tidak bisa melihatnya secara langsung, aku tidak tahu mengapa yang pasti aku bisa merasakan kehadirannya.

Matahari terbenam lebih cepat dari sebelumnya. Aku menghidupkan semua lampu rumah, Emma sedang menemani Brayden menonton di kamarnya. Aku ingin sekali menceritakan semuanya yang diucapkan Brayden tadi pada Emma, namun mereka terlihat sedang serius menonton siaran kesukaan Brayden saat malam menjelang tiba.

"Emma, ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu" sahutku menghampirinya. Dia menatapku sambil memindahkan Brayden dari pangkuannya."Hal penting apa Steve?" tanyanya.

"Bisa kita bicara diluar, aku tidak ingin mengganggu Brayden yang sedang asyik menonton siaran kesukaannya" ungkapku."Tentu saja, mari kita bicarakan diluar".

Kami meninggalkan Brayden dikamarnya dengan pintu dalam keadaan terbuka. Semenjak kejadian yang terjadi belakangan ini, membuatku semakin khawatir jika terjadi sesuatu pada Brayden lagi. Pintu itu harus terbuka agar aku bisa sigap membawa Brayden keluar.

"Hal apa yang ingin kau sampaikan Steve?" tanya Emma balik. Aku memegang tangan kanan Emma dengan kedua tanganku."Aku mendengar semua ini dari Brayden, dia berkata kalau Luis ada di rumah ini" ucapku bahagia.

Emma melepaskan tangannya dari genggamanku. Dia melangkah mundur kebelakang saat aku mengatakan itu. Dia terlihat begitu terkejut dan tidak percaya akan apa yang kukatakan tadi. Dia menggelengkan kepalanya, dan mulutnya seakan-akan sedang mengatakan sesuatu.

"Itu bukan anakmu Luis, kau harus tahu itu Steve!. Dia itu iblis yang sedang bermain dengan Brayden dan mencoba mempermainkan pemikiran mu" tegas Emma."Apa?, tapi bagaimana bisa" tanyaku kebingungan.

"Aku akan menceritakan awal semula kenapa aku bisa terjatuh di dalam basemen itu" ucap Emma.

Emma mengatakan bahwa pada saat itu hanya dia dan Brayden yang berada dalam rumah. Kala itu, dia sedang menyapu lantai kamar. Dan pada saat itu juga, dia mendengar suara pintu seperti sedang dibuka paksa. Emma langsung menjatuhkan sapu yang berada di genggamannya pada awalnya, dan berlari keluar kamar.

Dia begitu terkejut saat Brayden sudah berhasil membuka pintu basemen, dia mencoba berlari menyelamatkan Brayden. Namun iblis itu berhasil masuk kedalam pikiran Brayden, sehingga membuat Brayden kehilangan akal sadarnya. Tubuhnya di kendalikan penuh oleh iblis itu, dimana sebelumnya Brayden sudah mencabut salib dari pintu dan menginjakkan kakinya di serbuk yang sudah ditabur memanjang sehingga serbuk itu terputus dari jalurnya.

Brayden langsung berlari kearah Emma, namun Emma rasanya tidak bisa menggerakkan kakinya untuk menghindar. Brayden mengarahkan tangannya seperti seseorang sedang mencekik, Emma terangkat dari lantai dimana lehernya terasa tercekik dengan hebatnya. Padahal Brayden tidak mencekiknya secara langsung. Emma sudah pasrah pada saat itu, dia tidak bisa bernafas sama sekali. Tiba-tiba Brayden mengarahkan tangannya ke arah dinding sehingga tubuh Emma terbanting keras mengenai kepalanya. Pada saat itu Emma tidak sadarkan diri lagi, dia hanya tahu sampai kejadian itu saja.

"Berarti yang memasukkan mu kedalam basemen adalah Brayden?" tanyaku memastikan."Iya Steve, aku menduga kejadiannya seperti itu. Dia menelpon ibumu dan berpura-pura tidak tahu akan kejadian sebenarnya" jelas emma.

"Kau tidak perlu takut, untuk sekarang yang didalam tubuh Brayden adalah dirinya" ucap Emma lagi."Bantu aku mengusir roh jahat dari dalam rumah ini Em" pintaku memohon.

"Aku akan membantumu Steve".

"Aku menghargai setiap bantuanmu Em".

Sesudah itu, aku dan Emma menemani Brayden menonton siaran kesukaannya sampai larut malam. Aku membaringkan Brayden di ranjang dan menyelimuti tubuhnya, sedangkan Emma mematikan televisi dan menutup jendela kamar.

"Selamat tidur anakku, jika kau butuh ayah, ayah akan ada selalu ada di seberang kamarmu" ucapku."Selamat malam yah, aku akan baik-baik saja dan mencoba untuk tidur".

"Mari Steven kita pergi, biarkan jagoan kecilmu itu beristirahat" ajak Emma."Baiklah Em, semoga mimpi indah jagoan" ucapku sambil mengecup kening Brayden.

Aku menuju kamar lalu menaiki ranjang tidurku dan menyelimuti sebagian tubuhku. Aku berfikir sejenak dan berkata dalam pikiranku bahwa aku tidak tahu siapa yang harus kupercaya, bahwa pada awalnya aku sangat bahagia ketika mendengar kabar dari Brayden bahwa Luis turut hadir dirumah ini. Aku mencoba untuk tetap terjaga malam ini, aku ingin sekali melihat Luis secara langsung. Tepat jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, aku keluar dari kamar dan mengambil kursi lalu meletakkannya tepat didepan pintu basemen itu. Aku mencoba duduk di kursi itu dan menunggu hal yang tidak pasti. Aku seperti sudah kehilangan akal sehatku, aku berfikir jika aku melakukan itu bisa mengundang Luis padaku.

"Luis ini ayah, ayah percaya kalau kau juga turut hadir di rumah ini. Berikan tanda jika kau bisa mendengar ayah" ucapku pelan.

Tidak ada tanda-tanda yang muncul setelah aku mengatakan itu. Aku tetap membiarkan semua lampu dalam keadaan mati, mungkin bisa membuatku berhubungan dengan Luis lebih dekat pikirku.

"Luis ayah tahu kau bisa mendengar suara ayah. Dan ayah bisa rasakan kalau kau berada didekat ayah sekarang" ucapku kembali.

"Luis ayah minta maaf saat itu ayah telat untuk menolongmu, ayah adalah orangtua yang bodoh. Ayah belum sempat mengucapkan permintaan maaf sebelum kau pergi meninggalkan ayah untuk selamanya" ucapku sambil menangis tertunduk.

"Tok..tok..tok" bunyi pintu basemen diketuk tiga kali dari dalam.

Aku terkejut ketika mendengar suara ketukan itu, kepalaku mengadah ke arah pintu itu. Aku terdiam seketika, aku bingung apakah itu tanda dari Luis atau yang lainnya. Jantungku berdetak lebih cepat daripada sebelumnya, suasana terasa semakin dingin. Aku berdiri dan mendekati pintu itu, aku menyandarkan telingaku ke pintu. Aku mencoba mendengarkan suara dengan seksama dibalik pintu basemen.

"Tok..tok..tok" ketukku kembali mencoba merespon tanda itu.

"Tok..tok..tok..tok..tok" ketukan itu dilakukan berulang-ulang kali dengan keras. Aku terkejut menjauhi pintu itu, kakiku gemetar dimana ketukan itu menimbulkan bunyi keributan.

"Steven jauhi pintu itu sekarang!" teriak Emma dari pintu kamarnya.

Aku menatap Emma dan mendengarkan perkataannya. Aku berlari langsung kearah kamarnya Brayden, mencoba untuk membangunkannya dan membawanya pergi dari rumah. Brayden terlihat sangat pucat ketika aku berusaha membangunkannya.

"Brayden bangun, kita harus pergi. Brayden bangun" teriakku berusaha membangunkannya sambil menampar pelan pipi kanan Brayden.

"Steven, apa yang sedang terjadi?" tanya Emma menghampiriku."Aku tidak tahu Emma, aku akan menjelaskannya nanti".

"Hey Brayden, ini ayah. Ayo bangun sayang, kita harus pergi" teriakku kembali membangunkannya.

Suara ketukan yang berasal dari pintu basemen itu masih berlanjut bahkan ketukannya semakin kuat. Sudah segala cara kulakukan untuk membangunkan Brayden dari tidurnya, namun hasilnya nihil. Emma tiba-tiba menarik baju Brayden keatas, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, banyak bercak tangan anak kecil yang sudah membiru di perut Brayden. Hatiku terhentak pada saat itu, aku tidak bisa melihat keadaan Brayden seperti ini. Emma langsung menggantikan posisiku menggendong Brayden, dia menyuruhku untuk menghidupkan mobil sekarang juga.

Aku membuka pintu keluar dan berlari kearah mobil mencoba menghidupkan mesinnya. Namun, pintu itu tertutup saat Emma mencoba membawa dirinya dan Brayden keluar dari rumah. Emma dan Brayden terkurung didalam rumah, aku berlari kembali masuk kedalam dan mencoba membuka paksa pintu. Tiba-tiba saja lampu rumah bagian depan mati, aku merogoh saku celanaku untuk mengambil ponselku. Aku menghubungi pendeta itu, dimana saat aku menghubungi pendeta itu terdengar suara teriakan Brayden dari dalam rumah.

"Halo pendeta, ini saya Steven. Aku butuh bantuan mu sekarang juga" ucapku keras."Baik Steve, saya akan segera kesana" balas pendeta itu.

Aku bersikeras mendobrak pintu depan, namun aku tidak bisa membukanya. Seluruh tenaga sudah ku kerahkan, namun tidak membuahi hasil sama sekali. Terdengar kembali suara teriakan Brayden dari dalam, aku mencoba mengelilingi rumah memastikan jikalau ada jendela atau pintu yang terbuka. Aku tidak menemukan satupun pintu atau jendela yang terbuka. Setelah dua puluh menit lamanya, ada suara mobil berhenti di depan rumah. Aku berlari menghampiri mobil tersebut di halaman depan rumah, dan aku bisa melihat dari kejauhan pendeta dan istrinya.

"Pendeta, anakku berada didalam. Bantu aku, selamatkan anak saya" ucapku terbata-bata dengan nafas tak beraturan."Kita akan menolongnya, kamu harus percaya" jawab pendeta.

"Rossie, bawakan saya salib dan alkitab. Saya akan musnahkan iblis itu" teriak pendeta pada istrinya.

Rossie memberikan segala yang dibutuhkan untuk mengusir iblis itu. Kami bertiga mencoba masuk kedalam rumah, pendeta itu mengeluarkan air dari sakunya dan dia mendoakan air tersebut lalu memercikkan nya ke gagang pintu itu. Gagang pintu itu mengeluarkan asap setelah pendeta memercikkan air yang sudah didoakannya. Lalu dengan cekatan, pendeta itu membuka pintu itu. Dan aku mencoba menghidupkan seluruh lampu rumah, namun tidak bisa. Pendeta itu langsung mengarah kearah basemen, seakan dia sudah tahu seluruh tata letak rumahku. Dia memercikkan kembali air ke gagang pintu basemen, dan langsung membukanya.

"Emma apa yang kau lakukan!" teriakku keras."Tinggalkan anak itu, kau tidak berhak menyerahkan jiwa anak itu pada iblis itu" ucap pendeta itu setelahku.

Aku betul-betul terkejut melihat semua ini, dimana kami mendapati Emma membaringkan Brayden di tengah-tengah lingkaran hitam. Dimana di luar lingkaran itu, dia letakkan lilin hingga membentuk lingkaran juga. Pada saat kami melihatnya, Emma sedang meneteskan darahnya yg mengalir dari pembuluh tangannya melingkari penuh lingkaran itu.

"Kau, tinggalkan anak itu!. Jangan harap kau bisa mengambil jiwa anak itu" teriak pendeta itu sambil mengarahkan salib kearah Emma."Apa yang akan kau lakukan pada anakku Emma, lepaskan dia!" teriakku lagi.

Rossie membuka alkitab dan membacakan isinya, sambil menuruni tangga basemen. Emma terlihat menarik-narik rambutnya, seakan dia tidak suka ketika salib dan ayat alkitab itu dibacakan. Tiba-tiba semua lilin yang melingkar di lingkaran itu mati semuanya, sehingga seluruh rumah dan basemen betul-betul gelap.

"Penerang, aku butuh alat penerang sekarang" teriak pendeta itu."Sebentar, aku sedang mencoba menghidupkannya" jawab Rossie.

"Steven?" teriak seorang wanita terdengar seperti suara ibu dari atas."Ibu?, itu ibuku. Bagaimana bisa dia ada disini?" ucapku.

Kami mendapat cahaya dari senter yang dibawa oleh Rossie dan pendeta itu. Rossie mengarahkan senter itu kearah lokasi Emma melakukan ritual tadi, namun Brayden tidak terbaring di situ lagi bahkan lingkaran hitam itu menghilang. Kami berlari menghampiri ibu dimana keadaan ibu sedang berbahaya diatas sana.

"Ahhhhhhhhhh, Steveeen" teriak ibu.

"Bruuuukk" seperti suara lemari terjatuh dari ruang keluarga.

Saat kami menghampiri suara teriakan ibu, tiba-tiba seluruh lampu rumah hidup. Aku terjatuh berlutut, air mataku mengalir di pipiku dan aku tidak bisa berteriak bahkan mengeluarkan suara sekalipun. Aku menyaksikan ibu dengan mata kepalaku sendiri sudah tidak berdaya lagi, dimana kepalanya ditimpa lemari. Darahnya mengalir membasahi seluruh lantai, rasanya ingin menyerah.

"Steven, kau harus kuat. Jangan biarkan iblis itu mengalahkan mu juga. Anakmu membutuhkanmu sekarang" ucap Rossie memelukku. Aku hanya bisa tertunduk menangisi ibu.

Pendeta itu menutupi seluruh tubuh ibu dengan kain, dia tidak ingin aku melihat ini semua. Aku tidak mengerti kenapa semua ini harus terjadi pada keluargaku, orang yang selama ini aku dan ibuku sudah percaya justru mencelakakan keluargaku.

~~

Hallo...  Halloo Hai pembaca Dad Who Is He??? ??. Wahhhhh, sudah publish cerita terbaru. Dua hari lagi akan publish part XII berikutnya yaa. Mimin akan publish part terbarunya setiap dua kali sehari, yeaaaay????

Maafin mimin yee hehe, mimin selama ini sedang membuat cerita terbaru yang akan segera publish.. bisa ditunggu ya.. stay tune terus yee.

Note : Thank you so much buat kalian yang senang membaca novel "Dad Who Is He ??" ini dan sudah menambahkan cerita ini ke reading list kalian di .

#salamhangat

support Mimin selalu?? tumpahkan di kolom komentar ya. *Comment Down Bellow*??.  So, jika banyak yang suka ceritanya, mimin janji akan teruskan kelanjutan ceritanya??.

Dukungan kalian sangat berarti buat Mimin^^/

Stay tune guyss
Love y All

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience