[Lapangan Terbang John F. Kennedy.]
[Tanggal Februari 2010.]
Anthony sedang sibuk mengemas kini blog fotografinya.
"Ant, why here?" Liam bertanya pelik.
"Refreshing, isn't it?" Anthony menghirup latte panas.
"You're being weird out of nowhere. If you call me just to update your blog, we can go to Indie."
"Hm hm." Anthony menggeleng. "Here's fine."
"Bullshit." Liam menjeling. "The airport is already packed. Let's go."
Anthony menutup komputer ribanya dan disimpan di dalam beg. "Yeah. It's about time. I should go too."
Liam menahan kawannya apabila arah tujuan mereka bertentangan. "This way."
"It would, if I'm not going to Italy an hour from now."
"What! You kidding me." Liam mencari riak gurauan di wajah Anthony, tetapi kawannya betul-betul serius. "Why so sudden? You didn't tell us. Wait, did Sophia know about this?"
"That would be a problem, would it...?" Anthony menggaru kepala.
"What the heck man? At least call her. Tell your parent. Why... why you want to go to Italy anyway?"
"You're my best bud, Liam. We've known each other for eight... no, nine..."
"It's ten years. You can't even remember." Liam menggeleng kepala. "Cut to the chase. Tell me the reason."
"Well, the vivid dream I had when I was little that I told you. Remember?"
"Yeah. What about that?"
"I dream about it again. And... I think I know where should I go."
Liam mengosok keningnya. "Italy, seriously?"
"Precisely."
Liam menghela nafas berat. "Why you didn't tell me? I could go with you."
"Really?"
"Of course."
"Oh you're the best! I know you would say that."
"I smell filthy things." Liam berkata apabila merasakan sesuatu tidak kena.
"No, just filthy rich. You're coming with me to Italy since you eager to come." Anthony menayangkan tiket kapal terbang dan pasport Liam di tangan.
Rupanya Anthony sudah merancang untuk pergi berdua bersama Liam ke Itali. Dia cuma was-was adakah Liam akan ikut serta sebab terpaksa atau tidak. Sekarang dia telah tahu jawapannya.
"Roach, when did you steal that?"
"Oh oh, what steal? You gave it to me."
"Liar." Liam cuba merampas pasportnya tetapi dihalang Anthony. "Give me."
"Alright alright, but you already promise to accompany me. No turning back."
"What about my clothes?"
"No worry. I had pack everything for you. Laid back and enjoy the ride."
"Hah!" Liam yang menyampah merampas tiket dan pasportnya, lalu dia berjalan laju ke balai berlepas.
"Wait up!" Anthony berlari anak untuk berjalan beriringan dengan Liam.
****
Di tengah bangunan yang cantik, Antoninus melihat bayangan putih sedang menari. Sungguh anggun dengan bunyi-bunyi natural.
Semakin lama, bayangan putih itu semakin jelas menghampirinya diikuti suara gemersik memanggil, "Antoninus."
Bunyian tawa berkolaborasi dengan kicauan burung menghasilkan irama yang menenangkan.
Suara gemersik itu memanggil lagi, membuatkan Antoninus melutut. Berpusu-pusu memori pahit menerjah mindanya.
"Maafkan aku... maafkan aku..."
Gelak tawa itu berhenti, bertukar esakan yang ditahan. Bunyinya syahdu, menarik rantai jantung sesiapa saja yang mendengarnya.
Kemudian terlihat di depannya, seorang wanita terbaring dibanjiri darah pekat.
"Adriana!", Antoninus berlari dan memangku kepalanya. Dipeluk kawannya erat dengan tangan berusaha menghentikan pendarahan yang semakin teruk.
"Antoninus, aku tahu kau akan mengenali aku walau macam manapun. Berhentilah menangis. Kau sudah buat yang terbaik."
Antoninus menggeleng terdesak. "Tidak. Jangan tinggalkan aku. Kau janji untuk tunggu aku." Air matanya mengalir lebih deras. "Kau dah janji untuk tunggu aku. Tolonglah."
Adriana tersenyum. "Selamat tinggal, Antoninus."
Kata-kata itu bagai merentap terus tangkai jantungnya. Tubuh yang kaku itu dipeluk, dan teriakannya bergema di dalam bangunan itu.
****
"Hey! Ant... Anthony, wake up!" Liam menggoncang kuat badan sahabatnya.
Anthony melompat dari tempat duduknya. Nafasnya tidak teratur, esakan jelas masih tersisa. "Adriana... no I can't..."
"Sit first. Take your breath."
"No no, I can't forget it again. Her name. Her name... what?" Anthony gelisah apabila tidak dapat mengingati sesuatu yang dirasakan penting buat kesekian kali.
"Anthony!" Liam semakin risau. Tadi ketika pesawat sudah berlepas, Anthony laju tertidur di kerusinya. Baru beberapa minit, kelihatan kawannya itu berpeluh-peluh. Apa yang membimbangkan, Anthony menangis teresak-esak meminta maaf dan memanggil nama seorang perempuan.
"What's her name, Liam? What ha... wh... please... what's her name?"
"Take a breath, Ant. I can help you. Just breath.", dia cuba menenangkan. Pergelangan tangan lelaki itu digenggam erat untuk memaksanya duduk.
Liam meminta peragawati yang datang untuk memeriksa mengambil air mineral bagi menenangkan Anthony yang semakin panik.
Anthony duduk di kerusinya. Dengan bantuan Liam, dia menelan ubat deskripsi dengan beberapa teguk air mineral yang telah diserahkan peragawati tadi dan mulai tenang.
Liam simpati dengan kawannya. Dia menepuk bahu Anthony dan berusaha menenangkan lelaki yang menggigil itu.
"Liam...", Anthony memanggil perlahan.
"Yes?", Liam masih menepuk bahunya.
"I can't remember her name. I forget it again." air mata mula mengalir kembali. "I forget...", tanpa dapat meneruskan ayat, esakannya bertambah sehinggalah dia tertidur kembali.
"What happen, Ant?", Liam mengeluh. Dia membetulkan posisi kepala kawannya dan membiarkannya berehat. Setelah tiba di Itali, dia akan mengusulkan topik itu semula. Harapnya, Anthony akan lebih tenang.
Share this novel